Rabu, 26 Januari 2011

Cinta Seorang Ibu


Dalam minggu ini, sudah dua kali saya menerima kiriman makanan dari ibu teman kerja saya. Lho? Kog bisa? Begini ceritanya...

Hari pertama :
"Mbak, ini ada cireng dari Ibu untuk mbak."
"Lho? Ibu kamu yang ngasih? Dalam rangka apa nih?"
"Waktu aku pulang kerja dengan muka kusut, ibuku tanya ada masalah apa. Aku ceritain semuanya masalah di kantor, dan cerita kalau mbak Yeni yang bantu aku selesaikan masalahnya..."

Hari kedua :
"Mbak, kemarin Ibu nanya apa mbak makan siang di kantor atau keluar. Aku cerita mbak bawa makan siang dari rumah. Ini ibu bawain mbak pepes jamur..."
"Wah... 2 hari berturut-turut... kog Ibu jadi repot-repot sih?"
"Nggak tau mbak, maunya gitu... soalnya tadi malam ibu ngobrol lagi sama aku, dan aku cerita kalo mbak Yeni yang selalu bantu aku kalo aku ada masalah dengan kerjaan..."

Kejadian ini membuat saya tercenung.
Selama ini Insya Allah saya tidak pernah melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan. Saya bekerja dengan baik karena mencintai pekerjaan saya, saya membantu teman-teman kerja karena kebetulan saya mengerti dan bisa membantu. Tapi kali ini, mendapatkan hadiah dari seorang Ibu yang belum pernah saya kenal, hanya karena saya membantu anaknya, membuat saya terharu karena jelasnya gambaran cinta seorang Ibu.

Salah seorang rekan kerja saya akhir bulan ini juga akan mengundurkan diri dari perusahaan, karena tekanan dari pekerjaan membuat dia harus memilih antara pekerjaan atau keluarga. Dan akhirnya dia memilih keluarga, memilih mengurus putra putrinya. Itu juga menggambarkan dengan jelas cinta seorang Ibu.

Meskipun dalam beberapa kesempatan saya melihat beberapa profil ibu muda yang lebih mementingkan diri sendiri daripada keluarga, menganggap kewajiban orang tua hanya sebatas pemenuhan materi saja, menyerahkan pengasuhan putra putri sepenuhnya ditangan baby sitter dan pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada guru sekolah, guru les dan guru agama/mengaji, alhamdulillah, disekeliling saya masih banyak ibu-ibu yang memiliki cinta kasih dan menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.

Cinta Ibu, rasanya tidak dapat diukur besarnya.
Dulu, waktu Ibu saya bercerita bahwa demikian cintanya seorang ibu kepada anaknya sampai kalau ada 1 nyamuk yang menggigit akan dikejar saking tidak relanya, saya sempat kurang percaya dan membatin sendiri, "ah, masa iya sih... kog berlebihan banget..."
Ternyata, sekarang setelah menjadi seorang Ibu, saya mengalami sendiri memburu seekor nyamuk dan dengan gemas membunuhnya hanya karena menggigit putra saya yang sedang tidur siang :D

Kejadian ini juga mengingatkan saya akan Ibu saya. Seorang Ibu yang luar biasa, yang sungguh patut menyandang gelar "Supermom".
Ibu selalu ada untuk menengahi setiap pertikaian antar saudara, menangani WC yang mampet karena ada yang bandel membuang pembalut di WC, merawat kami ketika sakit, membuat masakan kesukaan kami, menghadapi kenakalan saya, meredam emosi Papa... Pokoknya semua urusan rumah beres jika ada Ibu.

Ibu tidak hanya berperan di rumah. 
Ibu juga seorang guru SLTA yang pensiun dengan pangkat IV A. Beberapa kali beliau menolak di angkat menjadi kepala sekolah hanya karena khawatir tidak mendapatkan keleluasaan untuk "ikut suami" jika Papa pindah tugas. Memang, kami beberapa kali pindah kota mengikuti Papa yang pindah jabatan. 
Di Dharma Wanita, Ibu mengajarkan bagaimana berorganisasi dengan baik, dan menengahi konflik yang terkadang terjadi di dalam organisasi.
Dimasa tua Ibu saat ini, Ibu mengajarkan tentang bagaimana mengelola keuangan dan membuat laporannya di Koperasi Pensiunan RRI Bandung, serta mengajar fiqih Islam di pengajian komplek...

Namun ditengah kesibukan beliau hingga saat ini, Ibu tidak pernah lupa untuk mengajari ketiga putrinya tentang nilai-nilai kehidupan, bagaimana menjadi seorang wanita yang baik dengan mengajarkan kewajiban dan tanggung jawab jika menjadi seorang istri dan ibu, mengenai peran kami di keluarga, baik sebagai pendamping suami maupun sebagai pendidik putra-putri kami.
Ibu selalu meyakinkan saya bahwa wanita tetap bisa bekerja dan berkarya di luar rumah, dengan catatan wanita itu harus bisa mengatur waktu dan memanage rumah dengan bijaksana.

Ibu dan Papa pindah ke Lembang setelah Papa pensiun. Meskipun beda kota, cinta Ibu tetap bisa saya rasakan. Ibu yang mendoakan saya di tanah suci saat umroh, mendoakan agar saya - putri bungsunya yang dulu paling sering berpakaian ketat - diberikan oleh Allah hidayah untuk menutup aurat... dan alhamdulillah doa Ibu di ijabah Allah hanya dalam waktu beberapa bulan setelah beliau kembali ke tanah air.
Terkadang Ibu menelepon saya hanya untuk ngobrol, entah soal pekerjaan saya, atau bercerita tentang kakak dan keponakan saya yang tinggal di lain kota.
Setiap kali Ibu mengetahui bahwa saya menghadapi cobaan hidup, Ibu akan mengirim sms, "Nen, kalau lagi mau curhat, sms aja ibu, nanti ibu yang telepon...". 
Dan saat mendengar putra saya sakit, terkadang beliau datang ke Jakarta, "Biar Ibu bantu jaga jadi Neni tetap bisa masuk kerja," kata Ibu saya bijaksana.

Semua cerita diatas tentang Ibu teman saya, rekan kerja saya yang juga seorang Ibu dan terutama tentang Ibu saya, mengingatkan saya bahwa saya menjadi seperti sekarang karena cinta seorang Ibu. Cinta Ibu saya, yang diwujudkan beliau dengan mengurus, mendidik dan memperhatikan kami semua... Cinta kasih tanpa pamrih sepanjang masa...

Seperti lagu yang sering saya nyanyikan saat masih di TK

"Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia..."

I love you, Mom ! 
Semoga Allah masih memberi saya kesempatan dan kemampuan untuk berbakti dan membalas cinta Ibu. Amin...


Jakarta, 8 Mei 2009
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar