Senin, 30 Mei 2011

Stiker di Belakang Kendaraan



Setiap orang yang mengaku warga Jakarta pasti sudah akrab dengan yang namanya kemacetan dan lampu merah yang berdurasi lama :)
Menunggu lampu merah berganti menjadi hijau biasanya merupakan saat yang sangat membosankan, kecuali di perempatan yang ada TV besar di salah satu sudutnya.
Awalnya terkadang saya mencoba mengatasi kebosanan dengan iseng mengamati stiker-stiker yang menempel pada berbagai kendaraan : truk, bus antarkota, kopaja, metromini, mobil bahkan motor. Hal ini kemudian menjadi suatu kebiasaan yang ternyata menimbulkan keasyikan tersendiri bagi saya :)
Pikiran saya jadi melayang membayangkan karakter pemilik kendaraan, bahkan terkadang jadi ikut berpikir akan makna yang tersembunyi dibalik kata-kata yang tercetak diatas stiker yang menempel pada kendaraan tersebut.

"Doa Ibu" adalah tulisan yang umum saya temukan pada truk, bus antarkota, metromini dan kopaja. Saya membayangkan pemiliknya sangat percaya bahwa ridha orangtua terutama ibu adalah ridha Allah :)

"Demi Kau dan si Buah Hati" adalah tulisan yang pernah saya baca di kaca belakang sebuah metromini.
Saya membayangkan pemiliknya adalah orang yang sangat mencintai keluarganya, dan terpaksa menjalankan pekerjaan ini karena sebenarnya bercita-cita lebih tinggi. Atau... dia penggemar lagu Pance Pondaag seperti Papa dan Ibu saya heheheh...

Stiker bertuliskan "Nabrak Gue Pelet" pernah saya baca di belakang sebuah motor.
Saya membayangkan pemiliknya kurang percaya diri, suka mengintimidasi, tidak percaya pada hukum dan tidak percaya sepenuhnya pada kekuasaan Allah sampai merasa perlu menggunakan pelet sebagai ancaman hukuman hehehe...

Stiker almamater perguruan tinggi terkenal baik di dalam dan luar negeri biasa menempel pada mobil pribadi.
Saya membayangkan pemiliknya, salah seorang atau semua anaknya memang berkuliah disana. Atau mungkin tidak ada satupun dari mereka yang kuliah di sana, namun mereka menitip membeli pada teman atau kerabat dan menempel stiker tersebut untuk memotivasi diri agar suatu saat bisa berkuliah di sana :D

Stiker "Harley Davidson" anehnya menempel pada banyak kaca belakang mobil pribadi, bukan motor seperti yang seharusnya menurut saya secara itu merk motor hehehe...
Yang ada dalam pikiran saya sama sepeti bayangan akan stiker almamater : pemiliknya benar memiliki dan ikut club Harley Davidson, atau memasang stiker hanya untuk gaya dan motivasi karena motor dengan merk itu adalah impian baginya :)

Stiker club motor selain Harley Davidson dan Stiker club mobil yang menempel pada kendaraan entah kenapa langsung membuat saya percaya bahwa pemiliknya memang tergabung dengan club tersebut.

Saya juga percaya setiap penempelan stiker yang tidak umum ditemukan pada kendaraan punya sejarah tersendiri.
Sedikit bercerita tentang asal muasal stiker logo Milys (Miling List Yamaha Scorpio) yang besar sekali dan menempel di kaca belakang mobil keluarga kami, penempelan tersebut diawali karena suami melihat stiker Harley Davidson di banyak mobil pribadi, dan kebetulan salah seorang pemiliknya diketahui suami memang tidak memiliki motor Harley Davidson :)
Suami saya berkata, "Ayah mau buat cutting sticker logo Milys ah... Emang Harley doang yang bisa bikin..."
Jadi, stiker pada kendaraan juga bisa melambangkan kecintaan pada organisasi yang diikuti.
Sayangnya NCC (Natural Cooking Club) belum membuat stiker yang bisa saya sandingkan dengan stiker Innova Community milik suami saya hehehe...

Pernah juga baca perang stiker antar pemilik jenis motor.
"Hari Gini Oper Gigi, Cape Dech!!" di tempel di sebuah motor matic.
"Hari Gini Gak Ada Gigi, Udah Kayak Engkong Gue" dan "WARNING!! LAKI-LAKI pake MATIC?? Apa nggak sekalian aja pake LIPSTIC?!?!" di tempel di sebuah motor manual.
Membaca stiker seperti ini saya membayangkan pemiliknya mungkin adalah orang yang mudah terprovokasi dan kurang bisa menghargai perbedaan selera atau pilihan orang lain. Kenapa juga sebagai konsumen malah ikutan perang pemasaran antar produsen? Bukankah setiap orang bebas menentukan pilihan sendiri tanpa perlu dihakimi?

"Caution: Milik Muslim, Haram Dicuri" pernah saya baca menempel di sebuah motor. Saya langsung nyengir, dan membayangkan si pemilik adalah seorang Muslim, dan memberi peringatan dengan cara yang cukup santun sambil mengingatkan ada Allah yang Maha Melihat. Tapi memangnya kalo motor Non Muslim jadi halal dicuri gitu? Nggak juga kan heheheh...

Ada juga stiker yang kreatif : "Daripada Mengejar Syahwat, Lebih Baik Mengejar Akhwat" juga berhasil membuat saya tersenyum. Saya membayangkan pemiliknya adalah seorang pemuda yang menginginkan Istri Shalehah sebagai pasangan hidupnya. Tapi saya ragu, apakah Akhwat bersedia di kejar, karena rasanya kalau Akhwat itu bersedianya di lamar :D

"Danger: Pemilik Motor Ini Mudah Terbakar Emosinya" dan "Warning: Nyenggol...!!! Benjol...!!!" pernah saya baca di beberapa motor.
Saya membayangkan kedua pemilik motor ini adalah orang yang bertemperamen tinggi. Namun saya juga membayangkan pemilik motor yang menempel stiker pertama lebih berpendidikan - entah secara pendidikan formal, secara akhlak atau keduanya - daripada pemilik motor yang menempel stiker kedua karena menggunakan bahasa yang lebih elegan :D

Stiker "Caution: Baru Tobat, Jangan Diajak Maksiat" pernah saya baca baik di mobil pribadi maupun di motor.
Saya membayangkan pemiliknya mungkin berusaha keras untuk istiqamah setelah hijrah, hingga secara tidak sadar memberitahu dunia bahwa dulu dia suka berbuat maksiat :D

"Caution: Jgn Pake HP Smbl Nytr Gblk!" pernah saya baca di sebuah motor.
Saya langsung membayangkan seseorang yang suka merasa pintar sendiri dan sering menggunakan bahasa yang tidak santun dalam mengkritik atau mengajari. Terbayang oleh saya jika pemiliknya sudah berkeluarga dan memiliki anak, mungkin dia akan mengajari anak-anaknya dengan bahasa yang kasar jika mereka berbuat salah...

Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan "Ber2 satu tujuan, ber3 kena tilang" pada stiker sebuah motor.
Saya langsung tersenyum-senyum, membayangkan pemiliknya mungkin pernah ditilang oleh polisi karena bertiga saat berkendara motor, atau mungkin sering ditumpangi oleh rekan kerja yang kebetulan tinggal di dekat rumah :D
Saat sedang tersenyum-senyum membayangkan tiba-tiba senyum saya menghilang saat saya berpikir, "Makna stikernya kog seperti etika dalam rumah tangga ya?"
Sepasang suami istri memang selayaknya memiliki satu tujuan. Jika ada orang ketiga memang biasanya akan kena "tilang" bahkan "sidang", entah oleh pasangan hidup, maupun oleh keluarga bahkan hakim di pengadilan agama...

"Life is fragile. Handle with prayer." pernah saya baca di kaca belakang sebuah mobil, merupakan pelesetan dari stiker "Fragile. Handle with Care." yang biasa di tempel pada kardus barang yang mudah rusak jika terbanting dan stiker "Be Strong! Stop crying! Rise again like a starfish!" membuat saya sempat merenung.
Stiker pertama membuat saya berpikir bahwa kehati-hatian dalam menjalani kehidupan terkadang memang belum cukup. Kita selalu membutuhkan campur tangan Allah dalam menjalani hidup kita, apa pun bentuknya, dan doa adalah kuncinya.
Stiker kedua membuat saya menyadari bahwa cinta Allah untuk semua makhluknya termasuk manusia.
Meskipun tidak seluruh anggota tubuh manusia bisa tumbuh kembali (hati manusia diciptakan Allah bisa utuh kembali meskipun dipotong hingga 70%-nya) seperti bintang laut ketika terpotong sebuah sudutnya, namun ibarat pulihnya bintang laut, Allah memberikan semangat dan ketangguhan kepada manusia untuk bangkit dan pulih dari kegagalan dan luka yang dideritanya :)

Kembali kepada stiker-stiker yang menempel pada belakang kendaraan, yang cukup sering saya manfaatkan menjadi pengalih rasa bosan, jika mungkin ingin saya berterima kasih kepada penempelnya, baik yang kata-kata dalam stikernya berkenan di hati maupun yang membuat saya mengerenyitkan dahi :)
Karena meskipun menurut saya kata-kata pada stiker mencerminkan kepribadian pemiliknya, stiker yang sempat terbaca oleh saya di setiap perjalanan menembus Jakarta membuat saya ikut melakukan introspeksi diri bahkan menjadi bahan renungan dan pelajaran setiap hari...

Jakarta, 30 Mei 2011
Yeni Suryasusanti

Rabu, 25 Mei 2011

Ketika Ifan & Fian Belajar Berkonflik...

Ifan & Fian, sedang akur hehehe...

Sudah hampir setahun ini masa-masa tenang saya karena memiliki kedua putra yang selalu saling menyayangi dan tidak pernah berantem lewat sudah. Sejak Fian menginjak usia 2 tahun, Ifan dan Fian memasuki fase belajar berkonflik :)

Jujur, terkadang dalam beberapa kesempatan saya sampai merasa sakit kepala menghadapi konflik diantara mereka hingga tanpa saya sadari saya sudah bersuara keras kepada keduanya :(
Bagaimana tidak, hampir segala hal dijadikan bahan berantem : pilihan acara TV, pilihan tontonan DVD, pilihan jenis roti jika kebetulan dibelikan berbeda rasa, rebutan main DS dan Wii, Fian yang ikutan belajar mengaji dan belajar pelajaran sekolah jika guru privat mengaji dan les Ifan datang, rebutan tempat duduk di meja makan, jika di mobil Fian yang selalu ingin duduk bersama Ifan di baris paling belakang, sedangkan Ifan ingin Fian di depan bersama saya agar tidak terbebani tanggung jawab menjaga Fian yang memang tidak pernah bisa diam, dst.
Meskipun usia mereka terpaut hingga 8 tahun, ternyata tetap saja konflik terjadi.

Karena pernah mengalami masa saat Ifan sangat menyayangi Fian, awalnya saya sempat kaget melihat perubahan yang terjadi.
"Kog Ifan sekarang nggak sayang lagi sama adek sih bang?" pernah saya reflek bertanya saat melihat raut muka tidak suka yang demikian kental di wajah Ifan dalam suatu konflik.
"Ifan sayang nggak sih sebenarnya sama adek?" ulang saya saat melihat Ifan hanya diam.
"Sayang sih bun, tapi Fian-nya..." sahut Ifan sambil bersungut-sungut.

Masih belum bisa ikhlas dengan perubahan ini, saya sempat mencoba menerapkan beberapa metode bagi keduanya untuk mencoba menghilangkan konflik diantara mereka.
Sebut saja reward and punishment, meminta Ifan lebih sering memeluk Fian, menasehati lebih sering, bahkan terkadang memarahi, semuanya hanya berhasil sesaat, tidak permanen. Konflik tetap saja ada, terutama saat saya tidak berada di rumah.
Secara psikologis saya sempat merasa terbebani, merasa gagal karena tidak berhasil mengembalikan Ifan dan Fian menjadi kakak adik yang selalu saling mencintai, tanpa konflik, seperti sebelumnya.

Kemudian saya mendapatkan informasi sebuah buku yang judulnya menarik minat saya dari Web Percikan Iman (http://www.percikaniman.org/). Saya memutuskan untuk membeli buku yang berjudul "Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shaleh?", ditulis oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari dengan kata pengantar oleh Dr. Aam Amiruddin, M.Si, diterbitkan oleh Khazanah Intelektual.


Setelah membaca buku diatas, Alhamdulillah beban psikologis yang sempat saya rasakan berkurang, bahkan mulai hilang.
Sebenarnya bukan karena buku tersebut berisi sebuah teori baru, justru secara teori memang saya sudah pernah mengetahui bahwa ada masa-masa dimana anak-anak selalu bermusuhan, baik dengan orangtuanya maupun dengan saudara. Namun, yang berhasil mengatasi beban psikologis saya adalah ternyata ada hikmah dibalik setiap konflik pada anak dan ajakan kepada orang tua untuk belajar "bersahabat dengan konflik" jika saatnya tiba.

Berikut saya kutipkan sedikit tulisannya :

Ayah dan Bunda, hampir semua anak yang pernah memiliki saudara pasti pernah merasakan konflik. Konflik ini bentuknya bisa macam-macam, ada yang hanya berbeda pendapat, rebutan barang, makanan, mainan, hingga ada yang melibatkan fisik. Jadi, hampir tidak ada satu pun anak yang bebas dari pengalaman konflik (berantem). Asumsinya, berantem itu seperti sengaja diciptakan Tuhan untuk tujuan baik.

Ya, saya ingin mengatakan kepada semua orang bahwa awalnya konflik itu bagi anak adalah baik. Semua anak pasti akan mengalaminya. Sehebat apa pun orangtua mendidik anak, mereka tidak bisa menghindarkan anak-anaknya dari konflik. Konflik bagi orang dewasa memang tidak baik, tetapi bagi anak, terutama anak-anak usia 12 tahun ke bawah, konflik adalah kebutuhan. Bahkan, seorang pakar tumbuh kembang menganggap anak yang tak pernah bertengkar justru tidak normal. Nah, karena sebuah kebutuhan, pengalaman konflik pada anak-anak akan terus berulang. Meskipun sebagian orangtua tidak menyukainya.

Dari satu pengalaman hidup di masa kecil inilah anak-anak akan (seharusnya) mendapatkan bekal untuk menghadapi konflik hidup di masa depan. Tidak ada satu manusia pun yang terbebas dari konflik. Oleh karena itu, konflik pada anak seperti sengaja diciptakan Tuhan agar mereka dapat belajar cara mengendalikan konflik di masa depan. Ada di antara kita yang memiliki kompetensi hebat di bidang pekerjaan yang digeluti, tetapi karena tidak bisa menghadapi konflik, kita menjadi tak nyaman berlama-lama di tempat kerja.

Konflik pada awalnya adalah baik bagi anak. Konflik berubah menjadi tidak baik saat orangtua tidak bisa mengelola konflik tersebut. Apalagi, jika saat terjadi konflik, orangtua yang selalu menyelesaikan masalah. Akhirnya, anak tidak belajar apa pun dari pengalaman konflik yang mereka alami.

Buku ini menghimbau para orang tua untuk lebih santai menghadapi konflik, tanpa menyurutkan usaha memupuk kebiasaan saling mencintai antara kakak dan adik.
Saya mengikuti anjuran tersebut, dan merasa jauh lebih mudah mengendalikan emosi saat menghadapi konflik antara Ifan dan Fian. Dalam beberapa kesempatan saya bahkan merasa tetap santai dan bisa menghadapi konflik mereka dengan bercanda.

Dalam buku ini orangtua diajak untuk membantu anak belajar mengelola konflik dengan baik, karena konflik adalah sarana yang diciptakan Tuhan untuk anak belajar, yaitu belajar mengelola kehidupan.
Cara-cara yang disampaikan pun cukup memberikan pencerahan. Orang tua diajak untuk bersahabat dengan konflik, melibatkan anak dalam penyelesaian konflik, membuat aturan yang jelas, menetapkan batasan dalam syarat melindungi yang lemah, memfokuskan pikiran anak pada untuk terus saling mencintai dan terus melatih anak-anak bermusyawarah saat mereka mendapati perbedaan dan melatih mereka mengambil keputusan atas perselisihan yang mereka buat.
Alhamdulillah, membaca buku ini semakin membuka wawasan saya tentang pengasuhan anak-anak :)

Beberapa malam yang lalu, seperti biasa konflik terjadi.
Kali ini terjadi pada saat Ifan selesai bermain game "Cooking Mama 2" (game tentang cara memasak mulai dari proses awal memotong hingga seni menyajikan makanan di piring) di DS, Fian meminjam DS untuk juga bermain game yang sama.
Ifan yang sudah berusia hampir 11 th bisa saya kategorikan cukup jago bermain game ini di seluruh fase game, sedangkan Fian untuk anak usia 3 th menurut saya cukup mahir juga, tapi hanya di fase sederhana seperti mengikuti garis untuk memotong dan mengiris bahan, namun untuk yg membutuhkan proses seperti memasak masih belum mengerti.
Malam itu saya sedang menerapkan reward "izin lebih lama bermain facebook di weekend ini jika bisa sayang adik" (biasanya saya meminta Ifan hanya bermain sekitar 1 - 1 1/2 jam, kemudian istirahat dulu, selang beberapa jam baru boleh main lagi, dengan tujuan utama menjaga kesehatan mata).
Saat Fian mengambil DS di meja, Ifan - mungkin karena ingat reward yang dijanjikan jika bisa sayang pada Fian - tidak langsung merebut DS dari tangan Fian, tapi berkata sambil melirik saya, "Ya... Fian nggak usah main deh..."
Saya dengan santai bertanya, "Memang kenapa, Bang?"
"Habis, nanti rekor Ifan terhapus..."

Oh... Ternyata di balik setiap konflik tersembunyi berbagai hal, salah satunya kekhawatiran. Jadi konflik bukan selalu berarti adanya penyakit hati :)

Saya berkata pada Ifan, "Menurut bunda, Ifan tuh jago banget main cooking mama. Buktinya sering dapat nilai 100. Gimana kalo menurut Ifan? Apakah Ifan jago?"
Ifan segera menyahut dengan nada yakin, "Iya."
Saya bertanya lagi, "Jadi apa yang harus dikhawatirkan?"

Ifan terdiam, terlihat sedikit bingung.
Saya berkata sambil tersenyum, "Fan, orang yang jago itu tidak perlu merasa khawatir rekornya terhapus. Ifan akan selalu bisa membuat rekor baru kapan saja Ifan mau. Rekor itu hanya untuk kebanggaan sementara sampai ada yang mengalahkan rekor Ifan kan? Jadi nggak terlalu penting dong selama Ifan yakin Ifan bisa dan memang Ifan mampu untuk selalu membuat rekor baru..."

Ifan terdiam, terlihat berpikir, lalu ikut tersenyum... dan membiarkan Fian bermain DS... :)

Saya menyadari, perjuangan saya untuk belajar bersahabat dengan konflik masih panjang, karena masa kebutuhan anak-anak untuk belajar berkonflik ini juga masih cukup lama. Namun sejak saat itu, saya belajar mengingatkan diri sendiri akan hikmah dari konflik yang terjadi setiap kemampuan saya bersabar mulai menipis, agar kemarahan saya tidak menjadi penyebab kegagalan Ifan dan Fian belajar mengelola konflik :)

Jakarta, 25 Mei 2011
Yeni Suryasusanti

Senin, 23 Mei 2011

Simple Pancake, Simple Love :)


Di suatu sore tanggal 22 Maret 2011...

Sore-sore hari minggu agak mendung, si ayah nyeletuk, "Pengen ngunyah deh..."
Ifan yang baru bangun tidur pun menyahut, "Iya, lapar nih bun..."
Terbiasa stock tepung muffin untuk snack kepepet buat Ifan, tanpa berpikir saya langsung bertanya, "Mau muffin?"
"Mau!!" teriak Ifan sang penggemar muffin :D

Saya masuk dapur, dan mendapati stock tepung muffin andalan ternyata habis :(
Tepung terigu kemasan yang biasa ada pun pas kebetulan habis ! (Duh memalukan heheheheh...)
Buka kulkas, ada telur, ada es krim campina, ada sirup maple. Ide sederhana pun muncul di kepala saya...

"Fan, tepung muffin habis..." lapor saya.
"Yaaaaaa...." seru Ifan kecewa.
"Tapi ada es krim dan sirup maple. Kalo bunda bikin pancake mau nggak?"
"Wah, mau mauuu..." kali ini bukan hanya ifan yang menyahut, tapi si ayah ikutan juga :D

Akhirnya suruh si mbak ke warung dekat rumah, beli terigu curah juga nggak apa-apa deh heheheh...
Bikin deh pancake... asli simple, tanpa bahan aditif sama sekali seperti Baking Powder dan Soda Kue.
Efek lembut pancake di dapat dari pengocokan putih telur yg terpisah dari pengadukan adonan :)

Simple Pancake

Bahan :

100 gr tepung terigu
250 ml susu cair (saya pakai susu bubuk yg dicairkan)
1 butir telur, pisahkan putih dan kuningnya
sedikit garam
margarin utk olesan

Topping :

Es Krim
Sirup Maple

Cara membuat :
  1. Aduk tepung terigu, garam, kuning telur dan susu dengan whisk sampai rata
  2. Kocok putih telur sampai kaku
  3. Masukkan adonan tepung ke adonan putih telur, aduk rata
  4. Panaskan teflon diameter paling kecil (yang untuk bikin telor ceplok), oles dengan margarin, kecilkan api
  5. Tuang adonan sekitar 2,5 sendok sayur, tutup sebentar
  6. Balik jika adonan sudah ada sedikit berpori dan sedikit mengeras pinggirnya
Hasil : Pas 7 Pancake 

Penyajian :
Taruh pancake di piring, beri ice cream 1 scope, kucuri dg sirup maple

Notes :
Jika ingin bisa ditambahkan 1 sdm gula (utk hasil pancake sedikit manis) & mentega cair (utk hasil pancake lebih lembab/legit). Kalau saya sih lebih menyarankan yg plain biar nggak eneg karena sudah manis di topping :)
Oya, katanya, kalau pake buttermilk pancake akan lebih lembut lagi. Kalau nggak punya buttermilk, bisa dengan mensubstitusi susu dengan plain yogurt atau si susu dikucuri air lemon dan biarkan sampai menggumpal.
Tapi kalau malas ribet, cara pemisahan putih dan kuning telur diatas udah jadi lembut kog pancake-nya :D
Tambahan : kalo males ribet balikin pancake di teflon kecil itu (takut bentuknya nggak cantik kalo nggak lihai hihihihi), siapkan 1 teflon lagi yang agak besar di kompor sebelah, langsung balikkan pancake ke teflon satunya :D

Nikmat disajikan hangat-hangat... jadi saya sarankan buatnya jangan banyak-banyak... yang sedang-sedang itu memang paling pas, nggak berebut, nggak berlebih :)
Makanya nggak sempat di foto jadi pakai foto dari web punchstock... karena langsung ludes begitu disajikan di meja makan : 2 untuk ayah, 2 untuk Ifan, 1 untuk saya, 1 untuk Fian, 1 untuk si mbak heheheheh...

Ah... ternyata meskipun dengan bahan yang sangat minim, jika dilakukan pada waktu yang tepat, dengan spontan dan penuh cinta, maka hasil masakan tetap mendapat sambutan yang luar biasa :)

Saya rasa, demikian pula dengan hubungan antar anggota keluarga.
Perhatian-perhatian kecil yang sangat sederhana, yang diberikan pada saat yang tepat, dilakukan dengan spontan dan penuh cinta, ternyata mampu menjadi penghangat hubungan keluarga :D

Jakarta, 23 Mei 2011
Yeni Suryasusanti

Jumat, 20 Mei 2011

Sebuah Renungan dari Kata "Kehilangan"


Ketika sebuah kalimat terucap, "Saya mengalami kehilangan nih..."
Seringkali tanggapan pertama atas kalimat tersebut adalah munculnya raut wajah prihatin, dan baru kemudian diikuti dengan kalimat susulan, "Kehilangan apa?"

Kehilangan. Hanya sepatah kata biasa, namun sering kemunculannya disambut dengan prasangka.
Selama ini lebih sering disetarakan dengan kesedihan bahkan kerugian, dan terkadang katanya diikuti dengan kerinduan atau kekecewaan yang mendalam.

Lima tahun yang lalu saya merasakan pilunya hati 'kehilangan' putri tercinta. Meskipun akhirnya mendapatkan putra pengganti yang luar biasa, ternyata tetap belum mampu menepis kerinduan yang terkadang datang mendera.
2 hari yang lalu seorang keponakan menangis 'kehilangan' kucingnya, yang akhirnya kemarin ditemukan terkurung di rumah tetangga. Meskipun hanya seekor binatang peliharaan saja, tapi ternyata 'kehilangan'nya mampu menimbulkan rasa sedih yang demikian nyata.
Berjuta orang pernah mengalami 'kehilangan' tempat tinggal akibat bencana. Meskipun telah mendapatkan bantuan dana dan akhirnya bisa kembali membangun rumah untuk keluarga, namun ternyata tetap tidak cukup untuk menghapuskan trauma.
Beberapa sahabat pernah merasakan 'kehilangan' cinta dari belahan jiwa karena munculnya godaan orang ketiga. Meskipun Allah tetap mempersatukan mereka dalam ikatan keluarga, namun ternyata kata maaf tidak semudah itu bisa memupus luka.
Kita semua pasti pernah 'kehilangan' kesehatan pada suatu masa, dan saat itu mungkin tak putus berdoa untuk kesembuhan raga. Namun ketika kesehatan kita kembali seperti sediakala, kita terkadang lupa untuk bersyukur kepada-Nya dengan melakukan pola makan dan hidup yang sehat demi menjaga kesehatan kita...

Ya, 'kehilangan' seringkali kita analogikan sebagai penyebab penderitaan.
Padahal menurut arti kata, kehilangan hanyalah merupakan perubahan dari 'ada' menjadi 'tiada'.

Jadi sebenarnya bisa juga disetarakan dengan kebahagiaan bahkan keberuntungan, yang seharusnya diikuti rasa syukur yang demikian mendalam.

Ketika dikelilingi sahabat dalam duka, saya 'kehilangan' rasa sepi.
Ketika si kucing kembali, keponakan saya 'kehilangan' rasa sedih.
Ketika terjadi bencana, kita 'kehilangan' kesombongan kita.
Ketika kekuatan cinta diuji, kita 'kehilangan' kesulitan untuk khusyu beribadah dan berdoa kepada Ilahi.
Ketika sakit mendera dan kita menjalaninya dengan ridha, Insya Allah kita 'kehilangan' serpihan dosa...

Ah, terkadang mungkin kita sendiri yang membuat kebahagiaan seperti enggan untuk datang. Mungkin salah satunya karena kita lebih sering berprasangka buruk bahkan memberikan label negatif pada sekedar kata 'kehilangan'...
Sehingga kapanpun kata 'kehilangan' terdengar, kita langsung merasa bahwa kebahagiaan juga akan bubar...
Padahal jika kita mau melihat dengan lebih jeli, setiap 'kehilangan' yang kita alami sebenarnya bisa jadi membawa kebahagiaan untuk diri. Entah di masa kini, ataupun nanti...
Karena sesungguhnya kebahagiaan itu ada di setiap hati yang selalu bersyukur atas segala ketentuan Ilahi...

Renungan menjelang tidur tadi malam,
Jakarta, 20 Mei 2011
Yeni Suryasusanti

Minggu, 15 Mei 2011

Kata - Kata Pilihan :)



Suatu malam menjelang tidur di kediaman kami...

Bismikallahumma ahya wa bismika amuut... 
Artinya: Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati. (HR. Bukhari dan Muslim)
Amin...
Mau baca ayat kursi?
Mau...
Dan saya akan membacakan ayat kursi sementara Fian mengikuti setiap ujungnya heheheh...
Selamat bobo, Fian...
Selamat bobo, Bunda...
Mimpi yang indah ya...
Iya, Bunda...
Bunda sayang sekali sama Fian...
Fian juga sayang sama Bunda...
Mau di cium?
Mau...
Dan saya akan mencium kening dan kedua pipinya :)

Demikian ritual sebelum tidur yang setiap malam saya dan Fian lakukan. Demikian juga dengan Ifan, namun jika dengan Ifan maka ayat kursi akan Ifan baca sendiri karena akibat ritual seperti ini Ifan sudah hafal ayat kursi sejak usia 4 th.
Kemudian saya akan memeluk Fian, dan Fian akan mempermainkan telinga saya sambil terus menatap mata saya hingga dia tertidur.
Biasanya saya akan berkata, "Pejamkan mata, Fian..." 
Dan Fian pun akan memejamkan matanya rapat-rapat :)

Namun, malam itu sebelum saya sempat menyuruh Fian memejamkan mata, suami saya masuk ke kamar dan melihat mata Fian masih terbuka menatap saya dengan sorot mata sayu tanda sudah mulai mengantuk.
Suami saya berkata, "Tutup matanya, Fian..."
"Duh, pasti kacau nih jadinya..." dalam hati saya berkomentar sambil menunggu reaksi Fian.
Daaaaannnnn......... benar. Fian menutupkan tangan kirinya ke mata dan membukanya kembali sambil berkata gembira, "Ciluuuukkkk.... Baaaaaa!!!!" :D
Dan acara tidur pun tertunda hingga hampir 2 jam karena akhirnya Fian ingin kembali bercanda...

***

Suatu malam di akhir bulan setelah pulang kerja di kediaman seorang teman...

Seorang suami menunjukkan mukena cantik yang baru dibelinya.
"Dik, aku baru beli mukena untuk Ibu. Bagus nggak?"
Sang istri melihat mukena, kemudian dengan nada tinggi langsung bertanya, "Kog Mama (Ibu sang Istri) nggak dibeliin???"
Daaaaannnnn......... sejak saat itu sang suami selalu membelikan hadiah untuk keluarganya tanpa sepengetahuan istrinya karena malas menghadapi ketidaknyamanan yang mengiringinya...

***

Kata-kata yang kita pilih tanpa kita sadari mewakili pribadi kita. Baik itu kata-kata yang keluar setelah melewati proses pemikiran panjang, apalagi kata-kata spontan yang keluar tanpa melewati berbagai pertimbangan.

Sejak SMP dan mengenal kata "Cinta" permainan kata-kata mewarnai hari-hari saya. Entah berapa banyak puisi dan cerita yang tidak pernah dipublikasikan tertulis dan kini entah dimana :D
Saya menjadi orang yang spesifik dengan kata-kata. Dan hal ini - mungkin secara genetis - sepertinya menurun kepada Fian.
Kata "pejam mata" dan "tutup mata" yang memiliki hasil akhir yang sama yaitu "tidak bisa melihat", berbeda bagi kami berdua karena prosesnya berbeda. "Pejam mata" prosesnya kelopak mata yang menutup, "tutup mata" prosesnya ditutup oleh sesuatu baik itu tangan atau kain :)
Suami saya, rasanya mewakili umumnya para pria, berpikir praktis dan spontan, belum menyadari perbedaan yang akan terjadi akibat dari pemilihan kata-kata yang kurang tepat hingga ketika melihat reaksi Fian yang diluar dugaannya langsung tertawa terbahak-bahak kemudian meminta maaf kepada saya karena sudah merusak ritual sebelum tidur (candaan "tutup mata" ini berlangsung hingga beberapa minggu heheheh).

Teman pria saya diatas, mewakili umumnya para pria yang kurang sensitif, berbicara langsung kepada sang istri tanpa prolog apa pun, menyampaikan niat yang baik telah membeli hadiah bagi Ibu yang sudah sangat berjasa baginya.
Istri teman saya, mungkin mewakili umumnya para wanita yang terkadang memiliki rasa iri dan kurang puas, ingin semua adil antara keluarga suami dan keluarga istri :)

Jika teman saya memilih menyampaikan niatnya sebelum membeli hadiah, dengan kata-kata yang berbeda, mungkin akan seperti ini percakapannya :
"Dik, abang kan baru gajian. Abang ingin membeli mukena untuk Ibu ya?"
"Kog untuk Ibu aja, Bang. Untuk Mama nggak?"
"Boleh juga, kalau begitu untuk kita beli untuk Mama dulu deh, untuk Ibu bulan depannya lagi aja ya, biar nggak terlalu banyak ngurangi uang belanja untuk rumah..."

Atau mungkin, jika sang istri lebih bijak, menanggapi kata-kata suaminya dia akan berkata :
"Wah.... bagus banget Bang. Ibu pasti senang. Mama juga pasti senang nih kalo abang beliin..."

Dengan pilihan kata yang berbeda dan tentu saja hasil yang juga berbeda, sang istri menyampaikan hal yang sama : "Mama dibeliin juga dong, jangan hanya Ibu yang dibeliin..."
Dan akibatnya sang suami tidak perlu sembunyi-sembunyi jika ingin memberi hadiah kepada keluarganya :)

Kata-kata yang kita pilih juga akan menghasilkan efek yang berbeda jika dilontarkan pada type orang yang berbeda.
Contoh nyata, kata-kata berbau seksis yang dilontarkan oleh seorang pria kepada 3 tipe wanita yang bukan muhrimnya akan menghasilkan reaksi yang berbeda :
Wanita pertama, yang memiliki harga diri yang tinggi dan menjunjung tinggi norma agama, akan merasa dilecehkan dan dengan tegas menyampaikan peringatannya.
Wanita kedua, yang terbiasa dengan pergaulan antar pria dan wanita sampai batas tertentu, akan merasa biasa saja dan dengan mudah mengabaikannya.
Wanita ketiga, yang mungkin sedang butuh sanjungan atau perhatian, akan merasa tersanjung dan mungkin malah menikmatinya.

Di bawah ini saya kutipkan beberapa hadist yang saya temukan tentang pilihan kata-kata :

“Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)

“Bahawasanya perkataan Rasulullah SAW itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud)

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diredhai Allah SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah SWT keredhaan-NYA bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah  SWT mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadis hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

“Aku jamin rumah di dasar syurga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah syurga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak syurga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud)

“Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih)

“Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Kata-kata yang keluar dari dalam diri kita bukanlah seperti kata-kata yang kita tuliskan dengan komputer, tinggal tekan tombol "delete" maka tulisan tersebut akan terhapus dengan sempurna, seolah tidak pernah ada.
Kata-kata yang keluar dari dalam diri kita ibarat tulisan yang ditulis dengan pulpen atau pensil yang ditekan dengan keras. Bisa dihapus, namun tidak sempurna karena seringkali meninggalkan bekas.

Saya pribadi masih terus belajar agar senantiasa mengeluarkan kata-kata yang benar dan baik dalam segala situasi. Yang paling sulit adalah ketika dalam keadaan lelah, apalagi dalam keadaan marah, dan saya belajar dari setiap kesalahan pemilihan kata-kata yang saya lakukan :)
Namun, jika diawali dengan niat yang bersih dan terus berlatih semaksimal kemampuan kita, semoga kelak kita akan terbiasa mengeluarkan kata-kata pilihan yang benar dan baik, yang terdengar nyaman di telinga orang-orang disekeliling kita, apa pun situasinya. Insya Allah, Amin... :)

Jakarta, 15 Mei 2011
Yeni Suryasusanti