Selasa, 28 Juni 2011

Mari Kita Bicara...


Mari kita bicara tentang kerinduan
tentang kerinduanku menatap laut diantara tetes air hujan
tentang kerinduanku mendengar suara angin mendesah
tentang kerinduanku mencium aroma tanah basah
tentang kerinduanku duduk dalam diam di sisimu
dengan rasa sepenuh dada yang membuat lidahku kelu 

Mari kita bicara tentang kenangan
yang terkadang terlalu indah untuk dilupakan
tentang terangnya sinar bintang
yang menyinari langit kelam hingga benderang
tentang tenangnya air mengalir
yang melarutkan gundah hingga ke hilir

Mari kita bicara tentang kenyataan
meskipun terkadang tak semanis angan-angan
tentang kesabaran seluas angkasa
yang mampu mengubah benci menjadi cinta
tentang keikhlasan sedalam samudera
yang membuat prahara tak menjadi bencana

Mari kita bicara tentang cinta sejati
yang kau tunjukkan meskipun tanpa proklamasi
tentang hati yang penuh kasih sayang
meskipun tanpa kata yang membuat raga jadi melayang
tentang janji di hadapan Ilahi
untuk memelihara cinta agar selalu bersemi

Jakarta, 28 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 25 Juni 2011

Leader, Follower & Problem Solver


Ternyata, anak-anak bisa dibilang miniatur dari orang tuanya :)

Pada tahun 2009 saya pernah menulis Tinjauan Buku My Stupid Boss http://yenisuryasusanti.blogspot.com/2011/01/tinjauan-buku-my-stupid-boss.html karena saat itu kami memiliki seorang atasan yang "unik" :D
Keunikan atasan kami itu sempat saya ceritakan pada Debby Cintya, adik didik Paskibra 78 yang secara rutin menyambangi saya di rumah ketika dia cuti dari site office tempat dia bekerja di Kalimantan.
Masalah yang sering saya hadapi dengan atasan yang "unik" tersebut adalah "larangan" dari beliau untuk menggunakan cara tertentu dalam penyelesaian kasus pekerjaan, namun tidak disertai dengan anjuran cara lain untuk penyelesaiannya.

"Larangannya itu tidak menyelesaikan masalah saya. Saya butuh solusi, bukan hanya batasan," omel saya sendiri saat bercerita, dan ketika itu Debby tertawa terbahak-bahak.

Bertahun-tahun sebelumnya, ketika saya kuliah semester 1, saya mengikuti pemilihan dan seleksi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa di kampus STIE Perbanas Jakarta. Test akhir yang kami ikuti adalah psikotest.
Berdasarkan hasil test tulis dan wawancara yang dilakukan oleh Psikolog, saya tidak termasuk dalam kategori Leader, melainkan termasuk dalam kategori Problem Solver.
Ketika itu saya berpikir, pantas selama ini saya tidak pernah menjadi "Ketua" dalam setiap organisasi yang saya ikuti, dan terbukti selama 3 periode di BPM saya tetap pada posisi Sekretaris heheheheh...

Kembali pada kantor tempat saya bekerja, sebelum atasan yang "unik" itu bergabung dengan kami di kantor, saya pernah memiliki atasan yang luar biasa.
Seorang atasan wanita yang selalu memiliki jawaban atas setiap pertanyaan dan masalah yang saya ajukan. Saat itu rasanya biasa saja, namun ternyata memang seperti itulah sifat manusia, baru merasakan sesuatu itu sangat berharga ketika kehilangan.
Atasan kami resign, dan berganti dengan atasan yang memiliki kepribadian yang "unik" tersebut.
Ketika itulah saya baru menyadari, bahwa seorang Leader idealnya juga merupakan seorang Problem Solver :)

Sifat saya yang selalu berusaha mendapatkan solusi dari kendala saya hadapi, ternyata menurun kepada anak-anak kami. Dan itu belum lama saya sadari.

Awalnya ketika Fian mulai ingin melakukan segalanya sendiri, dengan segala keterbatasannya saat ini.
Fian ingin menyetel DVD, namun letaknya tinggi. Fian selalu meminta gendong agar bisa mencapai tempat DVD.
Mungkin karena ingin lebih sederhana, Yanti (pengasuh Fian) langsung mengambil DVD yang Fian inginkan dan memasukkan ke player.
Namun Fian marah. Ternyata dia ingin melakukannya sendiri :)
Suatu ketika, Fian melihat saya mengambil kursi plastik dan memanjatnya untuk mengambil perlengkapan di lemari dapur yang paling atas.
Dan dia pun mendapatkan inspirasi pertamanya :D
Ketika Fian ingin menyetel DVD, menyalakan tombol lampu, mengambil kunci mobil dan barang-barang yang letaknya tinggi, dia mengambil kursi plastik tersebut dan mulai memanjatnya.
Khawatir kursi yang ringan itu terguling, Yanti melarang Fian memanjat. Fian kembali marah.
Saya memperhatikan hal itu, mengambil kursi besi kecil yang lebih berat dan stabil, dan membantu Fian belajar memanjat dengan stabil. Setelah berhasil, Fian memasukkan sendiri DVD ke player dan duduk menonton sambil tersenyum puas.
Saya berkata, "Fian, kalau mau manjat, ambil kursi yang ini aja ya..."
Fian pun mengangguk tanda mengerti :)

Kali lain, Fian meloncat-loncat di atas spring bed. Yanti melarang karena khawatir Fian terpental ke dinding atau ke lantai.
Mulai memahami karakter Fian yang tidak mau dilarang, saya berdiri di samping tempat tidur, memegang kedua sisi badannya di bawah ketiak selama Fian meloncat, dan sesekali memanfaatkan daya pegas spring bed dengan melambungkan Fian lebih tinggi.
Fian pun tertawa gembira karena bisa meloncat, saya pun tenang karena Fian aman dalam pegangan saya :)

Suatu hari suami saya melihat Fian memanjat dan bertanya kenapa Fian tidak dilarang, suami saya khawatir Fian terjatuh.
Saya bercerita tentang peralihan penggunaan kursi plastik ke kursi besi, dan berkata bahwa melarang Fian tidak memecahkan masalah yang Fian hadapi. Fian merasa perlu memanjat, kita khawatir dia jatuh. Jadi mengapa kita tidak mencari jalan tengahnya saja, membiarkan dia memanjat tetapi dengan aman?
Dan ketika itulah saya menyadari alasan kemarahan Fian jika dilarang melakukan sesuatu tanpa alternatif solusi yang diperbolehkan :)

Lain lagi dengan Ifan.

Ketika masih TK, saya mendapati Ifan mencoret-coret dinding dengan pensil.
Padahal di rumah sudah ada white board lengkap dengan spidolnya, juga buku gambar lengkap dengan crayon dan pensil warna.
Saya berkata, "Ayo, Ifan, sekarang bantu Bunda menghapus dinding dari coretan Ifan."
Dan satu batang penghapus habis untuk menghapus coretan tersebut heheheh...
Saya tidak memarahi Ifan karena mencoret dinding. Saya mengerti bahwa itu adalah salah satu caranya untuk mengekspresikan kebutuhannya bereksplorasi. Tetapi saya juga membutuhkan dinding rumah yang bersih.
Jadi sebagai jalan tengahnya, saya menyampaikan bahwa Ifan boleh mencoret dinding, tetapi harus menghapusnya lagi setelah itu.
Ternyata Ifan merasakan lelah dan membosankannya menghapus coretan, dan sejak saat itu tidak pernah lagi mencoret dinding, melainkan di white board atau di kertas :D

Pada suatu malam, setelah selesai mengerjakan PR dan makan malam, Ifan meminta izin untuk main komputer.
Melihat jam dan mendapati saat itu sudah pukul 20.45 WIB dan tinggal 15 menit lagi jam tidur Ifan, suami saya pada awalnya melarang. Ifan pun merajuk, cemberut, dan berlari masuk ke kamarnya sambil membanting pintu :)
Saya dan suami saat itu masih bersama di meja makan. Saya kemudian bertanya alasan larangan tersebut.
Suami saya menjelaskan, "Kan tanggung Bun, main juga hanya bisa 15 menit. Ifan kan biasanya kalo main komputer nggak bisa sebentar..."
"Bagaimana kalau Ifan diperbolehkan main komputer, tapi hanya 15 menit? Dengan begitu Ifan mendapatkan keinginannya bermain komputer, tapi nggak melanggar waktu tidurnya?"
"Terserah Bunda deh..."
"Jangan terserah Bunda dong, ini hanya usul. Kalo ayah setuju, ayah yang harus sampaikan ke Ifan..."
Suami saya kemudian mendatangi Ifan di kamarnya, dan menyampaikan bahwa Ifan boleh main komputer sebentar sampai waktu tidurnya tiba. Ifan meloncat gembira sambil berteriak, "Makasih ayahhhhh!!!" dan bermain komputer hanya selama 15 menit hingga waktu tidurnya tiba :D

Ya, ternyata anak-anak itu tidak ubahnya seperti orang dewasa. Mereka membutuhkan solusi dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Terkadang mungkin masalah tersebut terlihat kecil bahkan bukan merupakan masalah bagi kita sehingga kita mengabaikannya, namun ternyata solusi atas "masalah kecil" tersebut besar artinya bagi anak-anak kita.

Mungkin tidak semua anak-anak kita ditakdirkan untuk menjadi seorang Leader. Bagaimanapun dunia juga membutuhkan peran lain, bukan hanya pemimpin. Karena jika semua orang menjadi Leader dan tidak ada yang mau menjadi Follower, kehidupan juga tidak akan bisa berjalan.
Namun, dengan mempersiapkan mereka menjadi seorang Problem Solver - apa pun peran yang mereka jalani nanti entah itu Leader ataupun Follower - Insya Allah sama artinya kita mempersiapkan mereka untuk mengatasi segala permasalahan yang mereka hadapi di masa depan :)

Jakarta, 25 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 18 Juni 2011

Fokus Kehidupan Fian dan Ifan :)


Memiliki 2 orang putra yang terpaut jauh usianya, membuat saya mulai belajar mengenai pergeseran fokus seiring dengan bertambahnya usia.

Fian, saat ini berusia 3 th, memandang kehidupan dengan fokus kejadian sehari-hari di sekitarnya. Keluarga adalah pusat perhatiannya.
Sungguh membuat terharu dan terkadang lucu, Fian bereaksi terhadap setiap kejadian yang mengganggu atau salah baginya.

"Ayah, minta maaf sama bunda!" kata Fian dengan tegas sambil melotot ketika melihat saya meringis karena kaki saya tanpa sengaja terinjak oleh suami :D
"Kog 'Nen'? Bukan 'Nen'... Bundaaaaa....." protesnya saat Ibu memanggil saya dengan nama kecil saya - 'Neni' :)
"Kog 'Papa'? Bukan 'Papa'.... Akiiiii....." Fian juga protes saat saya memanggil papa saya 'Papa' bukan dengan panggilan 'Aki' seperti cucu-cucunya heheheh...

Suatu hari ketika saya sedang haid, saya mengalami kram perut ketika pulang kerja. Saya duduk di tempat tidur, sambil sedikit meringis dan memijit-mijit perut saya.
"Bunda kenapa? Sakit peyut ya?" tanya Fian.
"Iya, nak..." sahut saya.
"Oh... bentar ya Bunda, Fian ambil kiranti duyu!" dan Fian pun berlari ke kulkas dan membawakan saya sebotol kiranti :D
Sungguh luar biasa, semua tidak ada yang lolos dari pengamatannya. Dengan memperhatikan kebiasaan saya membeli kiranti pada saat belanja bulanan dan iklan di TV Fian langsung menghubungkan kiranti dan sakit perut hehehe...

Hal-hal praktis yang kita ajarkan pun langsung mereka kerjakan secara otomatis, tanpa perlu disuruh lagi.
Ketika Fian menumpahkan air di lantai, Fian akan berlari mengambil keset handuk sambil berkata, "Bentar ya bunda, Fian pel dulu biar nggak jatuh!"

Setiap kali melihat kecoa dan di ruangan itu ada saya, maka Fian akan berkata,
"Bentar ya Bunda, Fian ambil sapu lidi dulu!"
Kemudian Fian akan mengusir kecoa tersebut. Setelah kecoa kabur, Fian berkata dengan bangga,
"Udah Bunda, udah Fian usir kecoanya!"
Pernah setelah Fian mengusir kecoa, saya berkata, "Fian, mama (kakak saya) bilang, dirumah mama juga banyak kecoa..." 
Reaksi Fian, "Oh, oke Fian telepon mama dulu ya Bunda..."
"Lho, kenapa, kog langsung mau telepon mama?"
"Soalnya Bun, mama itu kan takut kecoa... Fian mau bilang nanti Fian usir kecoanyaaaaa..." heheheheh.....

Ketika sedang menelpon kakak saya dan membicarakan soal "Pengusiran Kecoa", saya yang memang sedang batuk, mulai terbatuk-batuk.
Kakak saya bertanya, "Siapa yang batuk, Fian?"Fian menjawab, "Bunda,"
Lalu Fian tiba-tiba berkata, "Bentar ya ma, Fian mau ambil minum untuk Bunda duyu. Bunda batuk tuh..." kemudian menyerahkan gagang telepon kepada saya yang seketika tertegun.
"Ini Bunda, minum," kata Fian.
Duh, terharuuuuuu......... Saya tahu Fian begitu karena melihat saya melakukan hal serupa disaat Ifan dan Fian batuk :)

Ifan, saat ini usianya menjelang 11 tahun.
Dulu persis sama seperti Fian perhatiannya pada keluarga terutama saya :)
Namun seiring dengan bertambahnya usia dan hal baru yang dilihat dan dipelajarinya, perlahan-lahan fokusnya bertambah. Bukan tidak lagi mengutamakan keluarga, namun mulai memiliki banyak fokus, bukan hanya keluarga.
Sekolah, teman-teman seusianya baik teman sekolah maupun sepupunya, buku cerita, game di facebook, TV, dan masih banyak lagi.
Hal-hal kecil yang terjadi dalam lingkup keluarga terkadang luput dari perhatiannya seperti saat saya sekedar batuk, mungkin karena hal itu menjadi "biasa" baginya. Namun, jika saya terlihat sakit dan tidak bangkit dari tempat tidur, baru lah Ifan bereaksi, memberi perhatian dan bertanya :)
Karena fokus yang mulai tersebar inilah, terkadang Ifan harus "diingatkan lagi" untuk hal-hal praktis yang sebenarnya sudah diajarkan sejak kecil, seperti mengelap lantai jika menumpahkan air, mengucapkan terima kasih jika mendapat bantuan sekecil apapun, langsung bertanya ada apa jika adik menangis dan mematikan lampu dan AC kamarnya jika tidak digunakan.

Pertambahan usia, biasanya berbanding lurus dengan pertambahan pengetahuan, karena semakin banyak kita menemukan hal-hal baru.
Saya sekarang akhirnya semakin menyadari, beratnya amanah yang diberikan Allah kepada seluruh orangtua.
Usia 10 tahun dan remaja, sepertinya sungguh merupakan critikal point dari seorang anak dalam fokus hidupnya.
Saya tidak boleh bosan menginspirasi, mengarahkan dan melatih Ifan untuk tetap memfokuskan pikirannya pada keluarga diantara fokus-fokus baru hidupnya.
Semoga dengan latihan-latihan kecil dalam memperhatikan keluarga, kelak jika Ifan dewasa diantara fokus-fokus hidupnya : agama, karir dan lain sebagainya, Ifan akan tetap memiliki perhatian pada keluarga yang dibuktikan dengan sikap dan cinta.

Bukan hanya kata-kata kosong tanpa makna : "Keluarga adalah Fokus hidup saya" namun kenyataannya hal itu hanya berlaku secara materi saja karena kehadiran, perhatian dan cintanya tidak pernah dirasakan oleh seluruh anggota keluarga...

Jakarta, 18 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Jumat, 17 Juni 2011

Nilai Akademik vs Nilai Kehidupan



Hari ini adalah hari pengambilan rapor SD Bhakti YKKP Jakarta Barat.
Ifan sudah berangkat ke sekolah sejak pagi, karena ingin menonton acara performance teman-temannya.
Waktu saya bertanya, "Kira2 naik kelas nggak Fan?"
Ifan hanya tersenyum sambil mengangkat bahu... dia terlihat jauh lebih gembira, jauh lebih tenang dibandingkan saat pembagian rapor semester lalu :)

Semester lalu, ada nilai Ifan yang dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Cerita awalnya ada disini:

Antara Pengajar dan Pendidik : Ketika Saya Harus Memilih Peran...

Makanya ketika pembagian rapor semester lalu, Ifan terlihat agak lesu (meskipun tetap menampilkan sikap cuek juga hehehe...), karena sejak awal bersekolah saya sudah mengajari Ifan bahwa "Rapor hanyalah rangkuman dari hasil selama 1 semester, yang dilihat dari hasil latihan, uji kompetensi, ujian tengah semester dan ujian akhir semester."

Sejak awal semester ini, Ifan, Kak Tri (Guru Privat yang mengajar Ifan sejak bulan November 2010) dan Saya bekerja sama untuk memperbaiki nilai Ifan agar bisa naik kelas. Kebijakan di SD Bhakti, jika ada 3 nilai rapor yang di bawah KKM, maka siswa tidak akan bisa naik kelas. Masalahnya, nilai KKM yang ditetapkan cukup tinggi menurut saya, meskipun saya juga memahami, standard tinggi yang diterapkan semata-mata agar lulusan dari SD Bhakti memiliki kualifikasi yang unggul dan bisa diterima di SMP yang unggulan pula :)

Alhamdulillah, kerja sama ini membuahkan hasil yang baik, jauh lebih baik dari semester lalu. Hasil rapor tadi, semua nilai Ifan berhasil jauh melewati KKM (dengan nilai rata-rata 80,4) meskipun secara peringkat Ifan masih di tengah-tengah, tapi juga jauh meningkat dibanding semester lalu Ifan di kumpulan peringkat bawah :D

Tadi pagi saya sempat membuat status tentang anak-anak dan pembagian rapor:

"Sebenarnya, rapor hanyalah hasil akhir perjuangan selama 6 bulan. Tapi kenapa mayoritas anak2 justru takut pada hari pengambilan rapor ya? Bukannya seharusnya khawatir saat menjalani prosesnya selama 6 bulan? hehehhe..."

Beberapa teman ada yang ikut berkomentar, tapi ada dua komentar teman saya yang membuat saya menyadari mengapa ketakutan itu terjadi.

"Karena paradigma ortu di indonesia masih sama dari dulu sampe sekarang mba, yaitu tolak ukur kecerdasan anak dilihat dari hasil nilai2 mereka yg notabene nilai akademik. Kalo nilai raport anak kurang memuaskan, pasti reaksi hampir smua ortu sama---> yaitu: Marah, mereka bilang malu sama teman2 mama, teman2 papa, dsb...jadi jangan salahkan anak yang merasa dieksekusi saat pembagian raport, perasaan takut saat terima raport jauh mengalahi saat proses ujian berlangsung. Jadi mungkin qta sbg ortu harus mulai memperbaiki paradigma tentang nilai2 akademik anak, karena tingkat kecerdasan masing2 anak bukan melulu dari segi akademik, banyak para cendikia yg ngga excellent dlm akademiknya saat usia sekolah tapi mencapai kondisi maksimum saat usia produktif mereka, mereka bisa menghasilkan, menciptakan, mendedikasikan kemampuan mereka secara optimal....CMIIW" demikian kata teman saya, Dian Eka.

"Budaya bangsa kita, tidak diajarkan untuk menghargai proses melainkan hasil akhirnya.. :P" demikian komentar lain dari teman saya, Andreas Eko Widiarto.

Ternyata yang menyebabkan anak-anak takut menghadapi pembagian hasil (apapun bentuknya) mayoritas adalah kemarahan orangtua. Juga betapa ternyata Indonesia telah ikut menganut "Management by Objective" yang demikian kental sehingga melupakan bahwa proses juga berperan penting.

Dan hal ini membuat saya teringat percakapan Ifan dan temannya (laki-laki) pada hari pengambilan rapor semester lalu di bulan Desember 2010 saat kami makan nasi goreng di depan sekolah setelah mengambil rapor Ifan.

"Fan, gimana rapornya?" tanya temannya.
"Ada yang dibawah KKM. Kamu?" sahut Ifan.
"Sama dong..."
Diam sejenak, kemudian temannya kembali bertanya.
"Kamu dimarahin nggak sama mama-mu?"
"Nggak tuh, aku dipeluk, terus hanya dinasehatin aja supaya belajar lebih sungguh-sungguh dan lebih rajin, nggak dimarahin, nggak dihukum. Bunda-ku kan baik..." ujar Ifan sambil tetap makan nasi gorengnya.
"Wah... enak banget kamu... kalau aku habis dimarahin mamaku..." cerita temannya.

Saya mendengarkan dalam diam. Dan seketika itu juga merasa bahagia bercampur rasa terharu karena dinilai baik oleh Ifan dan bersyukur kepada Allah karena yang ada dalam pikiran saya saat menerima rapor Ifan yang nilainya kurang memuaskan adalah, "Seorang anak yang menerima hasil yang kurang baik juga sudah cukup terpukul. Kemarahan orangtua - apalagi di depan orang banyak - hanya membuat anak menjadi lebih terpuruk. Toh saya sudah bisa membaca hal ini akan terjadi ketika saya menerima hasil latihan dan uji kompetensi Ifan dan diantaranya ada yang dibawah KKM. Kemarahan atas hasil itu percuma. Proses lah yang harus kami perbaiki." 

Banyak saya baca, generasi masa kini adalah anak-anak yang memiliki rasa persaingan yang tinggi, namun kurang memiliki rasa percaya diri dan kejujuran pada diri sendiri, sehingga terkadang demi mendapatkan nilai yang tinggi mereka bersedia menghalalkan segala cara bahkan yang tidak logis sekalipun. Contoh nyata, banyak siswa yang mendatangi Ponari hanya untuk merendam pensil yang akan digunakan untuk mengerjakan UAN :(

Yah, menurut saya, untuk mengatasi masalah ini kita - para orangtua - yang terutama harus melakukan introspeksi diri...

Jakarta, 17 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Kamis, 16 Juni 2011

Doa untuk Fian :)


Ahmad Balda Arifiansyah,
Hari ini tepat 3 tahun usiamu
Doa Bunda menyertaimu

Semoga sesuai namamu : Ahmad,
kau terpuji dalam sifat dan tingkah laku

Semoga sesuai namamu : Balda,
kemakmuran menyertai hidupmu
kau tempuh cara halal untuk memperolehnya
kau gunakan untuk menambah keimanan dan pembelaanmu pada Agama
serta membebaskan kemiskinan dari sesama

Semoga sesuai namamu : Arifiansyah,
kau menjadi pemimpin yang bijaksana lagi gagah perkasa
pemisah kebenaran dan kebathilan di dunia
baik itu di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan masyarakat sekitar kita

Namun terutama doa Bunda,
kau menjadi seorang manusia yang lembut hati dan penuh cinta
kepada keluarga, sanak saudara, tetangga dan semua yang bernyawa
dan diatas segalanya kepada Allah dan Rasul-Nya...

Jakarta, 16 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 14 Juni 2011

[Sharing Puisi] Cerita Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya


Hari ini di group Millenial Learning Center, saya mendapatkan posting puisi ini, yang sungguh mengetuk nurani.
Membacanya saya seketika teringat jasa Ibu yang tidak mungkin bisa terbalas. Terutama karena saya sama seperti tokoh dalam puisi ini - Lia - yang lahir sungsang dari rahim ibunda. Bedanya, Ibunda Lia dibantu kelahirannya dengan bedah caecar, sedangkan Ibu saya berjuang melahirkan saya dengan persalinan secara normal. Bayangkan beratnya perjuangan beliau untuk melahirkan saya ke dunia...

Pernah saya membaca ucapan Umar bin Khattab RA, "Ajarkan sastra kepada anak-anak kalian. Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani."
Well, saya memang pernah merasa menjadi orang yang penakut, mungkin juga pengecut pada suatu masa di masa lalu. Meskipun saat ini saya masih belum merasa menjadi orang yang "pemberani", namun memang sastra dan seni, entah itu prosa, lirik lagu ataupun puisi, seringkali menggugah kesadaran dalam diri.

Puisi ini membuat saya merasa tersindir, betapa mudah saya ikut-ikutan suatu tradisi tanpa berusaha menganalisa apakah hal itu ada manfaatnya atau tidak, dan apakah dengan ikut melaksanakan tradisi itu berarti saya telah menyerupai kaum tertentu.
Padahal jelas Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya". (HR. Abu Daud No. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)

Alhamdulillah, puisi ini saya baca disaat yang tepat, menjelang ulang tahun putra bungsu saya yang ke 3 th, Ahmad Balda Arifiansyah.
Kebetulan saat ini di keluarga besar kami memang masih membudaya acara tiup lilin untuk merayakannya, dilakukan setelah doa bersama... Meskipun lilin ditiup hanya untuk acara suka-suka, bahkan diulang-ulang sesuai siapapun yang meminta...

Sungguh mengubah sebuah tradisi memang tidaklah mudah, tetapi sebenarnya juga tidak terlalu susah, jika niat dalam hati sudah kuat ingin melakukan hijrah.
Kita hanya perlu menggantikan tradisi lama dengan yang baru, dan sekedar penjelasan mengapa perubahan ini perlu...
Untuk acara ulang tahun Fian - dan Ifan - tahun ini dan seterusnya, semoga nasi kuning yang dibuat dengan penuh cinta dan dibungkus doa - tanpa tiup lilin - cukup sebagai perayaannya :)

Anyway, puisi yang sangat panjang ini saya posting disini sebagai pengingat diri, dan siapa tahu jika teman-teman membaca puisi ini juga bisa terketuk nurani...

Bapak Taufik Ismail, terima kasih untuk puisi yang penuh hikmah ini :)

Jakarta, 14 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya

1

Seminggu lalu
datanglah undangan
untuk kami anak-anak penghuni panti asuhan
diantarkan seorang ibu
dan anak gadisnya.

Sekolahnya kira-kira di SMA
mereka naik Corolla biru
dari pakaian, cara bicara dan perilaku
kelihatan tamu ini orang gedongan
golongan yang hidup lebih dari kecukupan.

Mereka mengundang
anak-anak panti asuhan
untuk ikut acara ulang tahun
Rebo jam tujuh malam.

Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan
berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama
jalan kaki bersama, karena jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja.

Rombongan disilakan masuk dengan ramah
dan anak-anak berusaha duduk di belakang-belakang saja
tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu lainnya
para remaja belasan tahun
mereka sehat-sehat, harum-harum
berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya
saya berjuang melawan sifat minder saya
duduk di tengah ruang tamu yang luas.

Di atas karpet bersila, pegal dan canggung
di antara jajaran barang antik dan macam-macam perabotan
di bawah lampu kristal bergelantungan.

Tapi alangkah aku jadi heran
tidak ada acara potong kue dan tiup lilin
tidak ada tepuk tangan mengiringi
lagu Hepi-Bisde-Tuyu
Hepi-Bisde-Tuyu.

2

Lalu seorang remaja membaca
Surah Luqman dengan suara amat merdunya
dan suaranya berubah jadi untaian mutiara
yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya.

Kemudian
Lia yang berulang tahun
berpidato sangat mengharukan
dalam acara seperti ini
bukan saya yang jadi pusat perhatian
diperingati atau dihargai

tapi mama
ya, mama kita
ibunda kita
dan
ayahanda.
Ibunda dan ayahanda
pusat perhatian kita.

Hari ini, enam belas tahun yang lalu
mama melahirkan saya
posisi saya sungsang
saya terlalu besar
jadi mama harus sectio caesaria 

mama dibedah,
berdarah-darah
seluruh keluarga khawatir dan berdoa
di luar ruang operasi
duduk menanti berita
dalam kecemasan luar biasa
tapi alhamdulillah
kelahiran selamat
walaupun mama sangat menderita

Sekarang ini, enam belas tahun kemudian
ulang tahun saya dirayakan
saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian
harus mama yang jadi pusat perhatian
mama. Bukan saya
saya pikir, tidak logis saya minta kado
harus mama yang diberi kado

Anak gadis itu berhenti sebentar
dia sangat terharu
kemudian dia mengambil sebuah bungkusan
kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga.

Mama
terima kasih mama, terima kasih
mama telah melahirkan
saya dengan susah payah
mama menyabung nyawa
berdarah-darah.

Persis
malam ini, 16 tahun yang lalu
terimalah rasa terima kasih ananda
tidak seberapa harganya.

Mamanya berdiri
terpukau pada kata-kata anak
gadisnya
terharu pada jalan pikirannya
yang dia tak sangka-sangka
dia langsung memeluk anaknya
terguguk-guguk menangis
keduanya tersedu-sedu
hadirin menitikkan air mata pula
suasana mencekam terasa
dan hening agak lama

3

Kemudian kakak pembawa acara berkata
para hadirin yang mulia
ini memang kejutan bagi kita
karena dengan tahun yang lalu
acara ini berbeda
Lia tidak mau tiup lilin jadi acara
karena ditemukannya di ensiklopedia

Manusia di Zaman Batu di Eropah
percaya pada kekuatan
nyala lilin, begitu tahayulnya
bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan
memedi begitu katanya
termasuk si jundai, setan, hantu, kuntilanak dan
gendruwo.

Dan itu berlanjut ke zaman Romawi kuno
lalu dikarang lagi
berikutnya superstisi
yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya
semua mati.

Maka akan terkabul
apa yang jadi cita-cita di dalam hati.

Lia tidak mau acara ulang tahunnya 
oleh tahayul jadi bernoda
acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman
purbakala.

Katanya: “Kok tiupan nyala 16 lilin 
bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya.

Sesudah kerja keras saya
saya tidak mau dibodoh-bodohi tahayul
walaupun itu datangnya dari
barat atau pun timur juga.

Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka
minta kado dari papa dan mama
minta kado dari keluarga dan
kawan-kawan saya.

Saya tidak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua
burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika
dalam acara ulang tahun kita
begitu katanya.

Sesudah bertangis-tangisan
dengan ibunya
berkatalah yang berulang tahun itu

Hadiah paling saya
harapkan dari kalian
adalah doa bersama
sesudah hamdalah dan
salawat
karena saya ingin jadi anak yang baik laku
jadi perhiasan di leher ibuku
jadi penyenang hati ayahku
rukun dengan kakak-kakak dan
adik-adikku
bertegur-sapa dengan semua tetangga
dan kelak ketika dewasa
berguna bagi Indonesia.

4

Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu
lihatlah bersama kawan-kawannya
disilakan makan bersama-sama
dengarlah kisah kesannya.

Kini, dalam acara makan kunikmati nasi
beras Rajalele yang putih gurih
dendeng tipis balado, ikan emas panggang
dan udang goreng, besar dan gemuk-gemuk
belum pernah aku memegang udang sebesar itu.

Di asrama ikan asin dan tempe
seperti nyanyian yang nyaris abadi
kadang-kadang makan pun cuma sekali sehari.

Ketika kulayangkan
pandangku ke depan
kulihat tuan rumah yang baik hati itu
bapak dan ibu itu
berdiri bersama Lia anak gadisnya
berbicara amat mesranya.

Kubayangkan ayahku almarhum
mungkin seusia dengan bapak ini
beliau meninggal ketika umurku setahun.

Kubayangkan ibuku almarhumah
wafat ketika aku kelas enam SD
mungkin seusia pula dengan ibu itu.

Tidak pernah aku merayakan ulang tahunku
Tidak pernah.

Semoga sorga firdaus jua
Bagi ibu bapakku

Panas
mengembang di atas pipiku
tak tertahan
titik air mataku.

Taufik Ismail,
1980, 2007