Sabtu, 11 Juni 2011

Tentang Shalat dan Ifan :)


Seseorang meminta pendapat kepada saya tentang AFS, karena katanya putrinya sudah lulus 2 dari 4 test seleksi Program Pertukaran Pelajar tersebut.
Saya bercerita bahwa dulu ketika saya masih bersekolah di SMA 78 Jakarta, setiap tahun rata-rata 4 orang siswa berangkat ke luar negeri mengikuti Program Pertukaran Pelajar AFS : ke Amerika, Belgia dan Australia, selama 1 tahun.
Setahu saya memang program tersebut sangat diminati meskipun sebagai konsekuensinya siswa yang terpilih akan lulus 1 tahun lebih lama dari teman-teman seangkatannya semula :)

"Apa visi dan misinya? Apakah karena program tersebut anak bisa berubah menjadi liberal?" adalah kekhawatiran yang diungkapkannya kepada saya.

Meskipun agak aneh menurut saya, mengapa dia baru memikirkan hal itu sekarang dan bukannya di awal saat putrinya pertama kali meminta izin untuk mengikuti test AFS, saya tetap menyarankan dia browsing ke Web AFS di http://www.afs.org/ untuk mencari informasi tentang visi dan misinya, dan jika perlu bisa menambahkan 2 orang teman saya di Facebook sebagai temannya seandainya ingin bertanya-tanya, karena mereka dulu pernah mengikuti program AFS ketika SMA.
Kemudian saya menyampaikan bahwa menurut saya jika kita berbicara soal kekhawatiran berubahnya ideologi atau pandangan hidup seorang anak, maka yang menjadi pengaman adalah pola didik dan asuh sejak anak kita kecil. Jika seluruh nilai-nilai yang kita tanamkan termasuk nilai-nilai agama dan budaya sudah kuat mengakar dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari anak kita, maka dengan komunikasi intensif meskipun hanya melalui internet dan telepon, serta doa tidak putus dari orangtua, insya allah anak kita akan tetap terpelihara.

Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya, dan ibadah yang nanti pertama kali ditanyakan ketika kita di hisab adalah shalat.
Jadi menurut saya pantaslah jika shalat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur utama dalam menilai berhasil atau tidaknya penanaman dasar agama, meskipun hal itu bukan satu-satunya indikator.
Sedangkan pergaulan yang baik dan sehat serta tata krama yang terjaga merupakan salah satu tolak ukur utama dalam menilai berhasil atau tidaknya penanaman dasar budaya :)
Terbukti dengan kedua orang teman saya, yang memang sejak kami SMA sudah terlihat rajin shalatnya, baik pergaulan dan tatakramanya, alhamdulillah tetap terpelihara iman, budaya dan ideologinya.
Teringat kata teman-teman saya, tantangan utamanya adalah tetap shalat di lingkungan yang sebagian besar tidak melaksanakan shalat. Tidak pernah mendengar adzan dari mesjid pula sebagai pertanda.

"Hm, shalat ya patokannya?" ujarnya.
"Ya, menurut saya itu adalah salah satu tolak ukur utama. Apakah putrimu sudah rutin mengerjakan shalat tanpa diawasi?" tanya saya.
"Belum penuh, masih suka bolong-bolong. Dia bahkan pernah bertanya kenapa orang Islam ada yang shalat ada yang nggak."
"Rasanya itu kaitannya dengan kadar Iman seseorang," saya berkata sambil tersenyum.
"Nilai pelajaran agama di rapornya 10 lho..." belanya.
"Kalau dia memang kuat di hafalan sih bisa aja lah..." ujar saya.
"Bukan hanya hafalan... Mengaji dan Tafsir juga kog..."
"Tapi kalau shalatnya masih belum penuh sedang dia sudah SMA yang tentunya sudah akil baligh, mungkin itu berarti dia belum sepenuhnya meyakini dalam hati sehingga belum mengamalkan sepenuhnya dalam perbuatan," kata saya berkata sambil berkaca pada diri sendiri ketika dulu pernah berbuat serupa.
"Saya ingin dia mengerjakan shalat karena dia merasa butuh shalat..." demikian katanya menutup percakapan kami...

Lama setelah itu, kata-kata terakhir tersebut tidak juga mau pergi dari pikiran saya.
Jujur, saya pribadi baru merasakan "butuh" shalat - bukan hanya sekedar "mengerjakan shalat" - setelah saya mengalami pasang surut dan pahit getir kehidupan.
"Mungkinkah kesadaran bahwa kita yang membutuhkan shalat terpatri dalam diri anak yang masih SMA?" batin saya.
Sungguh, pasti merupakan dambaan semua orangtua yang beragama Islam memiliki anak yang shaleh atau shalehah, yang menjalankan ibadah karena cinta kepada Allah, bukan hanya terpaksa karena disuruh orangtua.
Tapi apakah karena kita ingin anak-anak kita beribadah dengan kesadaran sendiri, kita jadi membiarkan mereka memilih untuk "tidak shalat ketika mereka sedang tidak ingin?"

Pemikiran ini membuat saya teringat akan Ifan, yang tanggal 28 Oktober 2011 ini akan berusia 11 tahun.
Di antara banyak kekurangan Ifan sebagai seorang anak, Ifan juga memiliki banyak kelebihan, salah satunya adalah kesadaran akan konsekuensi yang cukup tinggi atas aturan yang telah ditetapkan bersama.
Sikap konsekuen ini sudah mulai ditunjukkan sejak Ifan masih di TK B.

Saya ingin sedikit bercerita tentang pertama kali sikap konsekuen ini ditunjukkan, karena moment itu saya anggap cukup "bersejarah" bagi saya :)
Ketika masih duduk di bangku TK, Ifan adalah anak yang pelupa, tidak rapi dalam menyimpan barang-barang miliknya, termasuk perlengkapan sekolah. Kehilangan pensil, penghapus, penggaris dan berbagai perlengkapan lainnya menjadi hal yang biasa.
Untuk mencoba mengatasi hal ini, saya sempat mencoba metode standard reward dan punishment.
"Tidak boleh main game di komputer selama 1-3 hari", tergantung besarnya nilai kehilangan (yang tidak selalu ditentukan secara materi), adalah salah satu hukuman yang kami sepakati bersama :)

Malam itu kami sedang belajar menulis huruf sambung di kamar saya, dan Ifan sempat ragu dalam penulisan huruf "f". Saya meminta Ifan mengambil contoh huruf dari gurunya yang sudah dilaminating dan wajib tiap hari dibawa ke sekolah.
Ifan kembali dari kamarnya dengan wajah sedikit khawatir, dan sebelum Ifan berbicara saya sudah bisa menebak bahwa dia tidak berhasil menemukan panduan penulisan huruf tersebut.

"Bunda, panduannya nggak ada..."
"Oh, ya udah, kita belajar tanpa panduan aja," sahut saya santai.
Saya kembali mengajar. Tapi Ifan terus menatap saya seolah menunggu keputusan.
"Di hukum, Bunda?" akhirnya Ifan bertanya.
"Iya," sahut saya ringan.
"Nggak boleh main komputer?"
"Iya."
"Berapa hari, Bun?"
"Dua hari aja."
"Oke," kata Ifan dengan wajah pasrah dan kemudian melanjutkan pelajaran.

Merasa sedikit iba bercampur geli, saya memutuskan untuk meminta bantuan pengasuh Ifan melihat apakah panduan tersebut memang hilang atau hanya terselip di antara lembaran buku. Dan memang, ketemu :)
Secara diam-diam pengasuh memberikan panduan penulisan tersebut kepada saya.
Menjelang akhir pengajaran, ketika Ifan sedang menunduk menulis huruf di bukunya, saya perlahan-lahan meletakkan panduan tersebut di atas meja.
Ketika Ifan selesai menulis dan menengadahkan kepalanya, matanya tertumbuk pada Panduan Penulisan Huruf Sambung yang terletak manis di depannya :D

"Waaaa.... ini dia panduannya... Ifan kira hilaaaanngggg... Nggak jadi dihukum dooonnnggg...." teriak Ifan spontan dengan gembira, dengan mata berkaca-kaca :D
Saya spontan tertawa, kemudian memeluk Ifan, hingga Ifan kini ikut tertawa meskipun matanya tetap berkaca-kaca.
"Bunda bahagia Ifan menunjukkan sikap konsekuen tadi, meskipun Bunda tidak menyinggung soal hukuman, tapi Ifan yang menanyakan," saya berkata sambil mencium keningnya.

Kembali kepada "Shalat", sebagai seorang yang bisa dikatakan cukup awam dalam ilmu agama sehingga masih terus belajar baik untuk diri sendiri maupun untuk mengajari kedua putra kami, terus terang saya masih belum menemukan metode yang dengan panjang lebar menjelaskan bagaimana cara membuat anak-anak kita mencintai agama dengan seutuhnya, sehingga tercapai kesadaran shalat tanpa diminta.
Namun, karena nilai-nilai yang ditanamkan oleh mentor Paskibra 78 ketika saya SMA, cara yang saya anggap lebih mudah untuk saya adalah dengan menerapkan Disiplin Shalat sehingga menjadikan anak-anak "terbiasa" mengerjakan shalat.
Saya berharap seperti Cinta dalam Falsafah Jawa Tengah yang sering saya dengar : Witing Tresno Jalaran Soko Kulino yang artinya Cinta Tumbuh Karena Terbiasa, anak-anak kami akan terbiasa mengerjakan shalat, secara otomatis tergerak melaksanakan shalat ketika waktunya tiba, dan merasa ada sesuatu yang "hilang" jika tidak mengerjakan shalat. Jika "Telah Terbiasa" untuk shalat sudah mendasar dalam diri mereka, maka kemudian saya akan berdoa agar rasa "Telah Terbiasa" tersebut perlahan-lahan berubah menjadi "Cinta".

Untuk menanamkan Disiplin, hampir semua bidang saya rasa menggunakan metode "Pemaksaan" meskipun mungkin diterapkan secara halus dan kekeluargaan :)
Ifan mulai diajarkan gerakan shalat sejak usia 4 tahun, dan bacaan shalat secara bertahap sejak usia 5 tahun.
Akibat penerapan disiplin untuk Shalat, Ifan saat ini secara otomatis melaksanakan shalat Subuh ketika terbangun di pagi hari sekolah (herannya jika di pagi hari Sabtu, Minggu dan hari libur sekolah tetap harus disuruh dulu hehehe). Ifan juga langsung berdiri dan berangkat ke mesjid jika mendengar adzan Magrib, Isya dan shalat Jum'at. Untuk shalat Dzuhur, pada hari sekolah Ifan melaksanakannya di sekolah. Jika sedang di rumah, maka shalat Dzuhur dan Ashar, sampai saat ini Ifan masih harus selalu diingatkan :)
Lingkungan tempat Ifan berada juga sangat mempengaruhi "kebiasaan shalat" Ifan.
Kebiasaan shalat tanpa diingatkan di atas berlaku ketika Ifan berada di rumah saja. Juga jika sedang pergi ke pesta pernikahan yang diselenggarakan di sebuah mesjid bersama saya, maka Ifan bisa tiba-tiba menghilang di tengah pesta, dan kemudian bergabung kembali bersama saya dengan wajah segar sambil menunjuk dan berkata, "Bunda, kalo mau shalat disana, Ifan udah."
Namun, jika Ifan sedang berlibur di rumah sepupu atau kakek neneknya, maka Ifan masih harus selalu diingatkan untuk semua waktu shalat. Karena itu jika Ifan hendak berlibur, saya pasti menelepon kakak, mertua atau orangtua saya, meminta mereka jangan lupa mengingatkan Ifan untuk shalat jika saya tidak sempat menelepon untuk mengingatkan Ifan :)

Tahun lalu, menjelang Ifan berusia 10 tahun, saya menyampaikan kepada Ifan mengenai hadits Rasulullah tentang pendisiplinan shalat.
Saya berkata, "Ifan, nanti kalau Ifan sudah berumur 10 tahun dan tidak shalat, Bunda harus pukul Ifan lho... Jadi jangan sampai nggak shalat ya nak..."
"Sakit dong Bun, kalo di pukul... Emang Bunda tega gitu?"
"Bunda kan selama ini nggak pernah pukul Ifan... Pasti Bunda sedih kalau sampai harus pukul Ifan karena Ifan nggak shalat. Tapi ya gimana lagi, aturannya memang begitu, dan mukulnya nggak boleh ditempat yang membahayakan dan menyakitkan kog..."

Kemudian saya menyampaikan hadits di bawah ini kepada Ifan :

"Ajarilah anak kalian mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah dia jika telah mencapai sepuluh tahun dia mengabaikannya." (HR. Abu Daud No. 494 dan Tarmidzi No. 407, Sanad hadits ini sahih.)

Minggu lalu, saya tertidur saat sore hari menidurkan Fian sebelum sempat mengingatkan Ifan untuk shalat Ashar. Begitu pulasnya saya tertidur sehingga baru terbangun saat adzan Magrib berkumandang.
Karena sedang hujan, Ifan yang sedang di depan komputer tidak pergi ke mesjid seperti biasa. Tiba-tiba saya teringat untuk bertanya apakah Ifan shalat Ashar sore tadi.
"Ifan, tadi shalat Ashar nggak?"
Ifan terkejut dan menarik nafas kaget, "Wah, Ifan lupa, Bun..."
Saya menunjukkan wajah cemberut dan tatapan mata penuh teguran. Namun sebelum saya sempat berkata apa-apa, Ifan menghampiri saya sambil meminta maaf dan menyodorkan pantatnya kepada saya.
Saya sempat tertegun sesaat, kemudian ingat hadits yang pernah saya sampaikan.
"Oh iya, Ifan udah lebih 10 tahun ya, jadi harus dipukul. Maaf ya Fan, bunda terpaksa pukul Ifan... Lain kali jangan lupa lagi ya..."
Dan saya pun memukul pantatnya tidak terlalu keras sambil tersenyum.

Demikian juga pada hari Kamis, 9 Juni 2011 yang lalu.
Ketika saya baru sampai di rumah setelah pulang kerja, Ifan menyambut saya di ruang tamu seraya menyodorkan pantatnya sambil berkata, "Maaf Bunda, hari ini shalat Ifan nggak penuh lagi."
"Shalat Ashar lagi? Kenapa kali ini?"
"Iya shalat Ashar. Ifan tidur dari jam 3 sampai Magrib..."
"Oke, lain kali kalo udah jam 3 jangan tidur dulu, tahan dulu ngantuknya sebentar. Shalat Ashar dulu baru tidur, atau kalau memang udah nggak tahan ngantuknya, nyalakan weker Ifan jam 5 sore biar nggak kebablasan..."

Saya sadar perjalanan saya dan suami dalam mendidik anak-anak kami agar beribadah dengan benar masih sangatlah panjang. Shalat yang Ifan lakukan saat ini pun masih dalam tahap pembiasaan pelaksanaan.
Sikap dan gerakan shalat Ifan masih belum sepenuhnya tepat, bacaan shalat masih sering dibaca dalam hati tanpa gerakan bibir seperti seharusnya, pandangan matanya pun masih sering belum mengarah ke tempat sujud :)
Secara rutin sesekali saya mengawasi Ifan shalat dan memberikan koreksi baik ketika shalat maupun setelahnya. Namun demikian, saya juga sadar koreksi yang saya lakukan tidak akan seketika berhasil selalu Ifan terapkan.
Jadi, saya harus bersabar :D

Namun tetap, meskipun saya juga berharap Ifan dan Fian kelak melaksanakan shalat karena "Cinta", entah karena didorong oleh rasa "Butuh" maupun "Syukur", tetap rasanya saya tidak akan bisa membiarkan Ifan memilih untuk "Shalat jika sedang ingin saja" dan "Tidak shalat jika sedang tidak ingin".
Seperti Ibu saya yang bahkan hingga kini suka bertanya, "Sudah shalat, Yen?" jika Ibu melihat saya tidak bergerak dari depan komputer ketika waktu shalat tiba :D

Saya rasa Ibu saya tetap begitu karena menyadari bahwa menjadi orangtua itu tidak akan berhenti hanya karena anak-anak kita sudah menjadi dewasa dan berumahtangga :)

Jakarta, 11 Juni 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar