Jumat, 29 Juli 2011

Elegi Rinduku Untukmu...


Dalam keheningan ku tersadar akan kenyataan
betapa semua yang aku miliki hanyalah titipan
yang kapan saja bisa hilang di balik awan
menghapus angan-angan dalam lamunan
menepis kebahagiaan dalam kehidupan

Satu demi satu nikmat dan ciptaan-Mu datang dan pergi
meninggalkan kenangan pahit dan manis di dalam hati
menghadirkan elegi dan sepi di dalam diri
namun aku ikhlas menerima segala ketentuan ini
karena kusadari dalam hidup ini tidak ada yang abadi

Tawa ceria bisa berganti air mata gundah
kecantikan bisa memudar karena usia kian bertambah
kekayaan bisa hilang dalam sekejap karena musibah
cinta yang indah suatu saat bisa berpisah
kita pun suatu saat akan kembali menghadap Allah

Meski terkadang hadir rasa rindu
yang membuat hati pilu bagai disayat sembilu
ketika teringat masa indah bersamamu
penuh kasih sayang hingga akhir waktu
karena cinta begitu kuat tertancap di dalam kalbu

Ya Allah, tersungkur aku dalam sujudku
ketika menyadari banyaknya nikmat dan karunia-Mu
meski terkadang baru terpukul kesadaranku
ketika mereka hilang satu demi satu dari hidupku
namun ku yakini rencana-Mu adalah yang terbaik untukku...

Jakarta, 29 Juli 2011
Ketika terbangun di dini hari dan teringat dirimu, Putriku...
Yeni Suryasusanti

Kamis, 28 Juli 2011

Sepatah Kata "Maaf"


Ketika menjelang usia 2 tahun, sudah jelas terlihat bahwa Ahmad Balda Arifiansyah (Fian) kelak akan menjadi "Polisi" di keluarga kami :D
Naluri Fian dalam mengawasi setiap ketidakadilan yang terjadi sangat tinggi, dan faktor usianya yang masih sangat muda menjadi suatu keuntungan baginya karena kemarahan yang Fian tunjukkan setiap kali melihat ketidakadilan menurut sudut pandangnya malah terlihat menggemaskan.
Fian menjadi pembela bagi setiap orang di keluarga yang menurutnya sedang "ditindas", dan dia tidak pernah terlihat gentar untuk maju dan berdiri menjadi "tameng" kemarahan bagi orang yang dibelanya hehehe...

Sejak diperkenalkan dengan kata "maaf", Fian selalu menuntut penghentian "penindasan" diakhiri dengan penggunaan kata tersebut. Fian baru akan mundur dan berhenti ikut campur jika si "penindas" sudah meminta maaf kepada si "tertindas" :)
Namun alhamdulillah, Fian juga mau menerima penjelasan jika "penindasan" yang terjadi sebenarnya tidak seperti "yang terlihat olehnya".

Ketika suami saya sedang kehilangan kesabaran dalam mendidik Ifan, Fian maju sebagai pembela.
"Ayah, jangan mayah-mayah sama abang! Minta maap!!!" seru Fian dengan suara cadelnya sambil berkacak pinggang, seraya dengan berani mengambil tempat berdiri diantara suami saya dan Ifan.
Bahkan ketika kebetulan masuk ke kamar Ifan dan mendapati saya sedang menegur ifan atas beberapa sikapnya yang kurang baik dengan suara tegas, Fian juga bereaksi sama, "Bunda, jangan mayahin abang dong... Nanti abang nangis lho! Minta maap!" tegur Fian namun dengan nada suara yang lebih lembut jika dibandingkan dengan nada suaranya ketika menegur suami saya :D

Karena ingin Fian juga mengerti bahwa peneguran belum tentu berarti penindasan saya menjelaskan, "Fian, Bunda nggak marahin abang. Bunda hanya ngajarin abang sikap yang baik supaya abang jadi lebih baik. Jadi Bunda nggak salah dan nggak harus minta maaf."
"Oooo..... Gituuuu..." sahutnya ketika menerima penjelasan saya.

Tahun ajaran ini, Fian mulai masuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini, untuk anak usia 2 - 4 tahun) di mesjid komplek perumahan tempat kami tinggal, dengan jadwal pertemuan 3 kali dalam seminggu, ba'da Ashar.
Tujuan utamanya tentu agar Fian belajar beradaptasi dengan lingkungan pra TK, dimana dia harus belajar dan bermain bersama banyak anak lain dan belajar bertoleransi serta bertenggangrasa.
Terus terang, awalnya saya sedikit ragu Fian bisa duduk diam di dalam ruangan karena Fian termasuk anak yang sangat aktif, namun ternyata menurut pengasuhnya Fian bisa mengikuti aturan dengan cukup baik.

Namun saya juga mendapatkan laporan yang cukup menggelikan dari pengasuhnya di hari kedua Fian mengikuti kelas PAUD.

Pada minggu pertama PAUD dimulai, orangtua atau pengasuh yang mengantar masih boleh ikut menemani di dalam ruang mesjid tempat kelas PAUD diadakan.
Fian dengan antusias "sekolah" tanpa minta ditemani di kelas. Pengasuhnya hanya menunggu dan mengawasi dari luar.

Ketika itu, seorang ibu muda, terlihat "menemani" putranya di ruangan.
Mengapa kata menemani saya berikan tanda kutip?
Karena beliau secara fisik berada di ruangan tersebut, namun hati dan pikiran beliau sepertinya tidak bersama putranya. Pengasuh Fian menceritakan bahwa Ibu itu membawa notebook dan asyik bermain game di sudut ruangan.
Hal ini tentu saja mengundang rasa ingin tahu anak-anak yang mengikuti kelas PAUD. Beberapa anak berkerumun di sekitar beliau.
Fian yang tidak ingin ketingalan, ikut berjongkok di samping ibu tersebut.
Mulai terganggu dengan anak-anak yang semakin mendekat dan beberapa anak sepertinya malah ingin menyentuh notebook karena rasa ingin tahu, si Ibu mungkin secara reflek melindungi notebook-nya dengan tangan.
Apa daya, gerakan reflek tersebut mengakibatkan sikunya mengenai Fian. Fian yang sedang berjongkok di sebelahnya kontan jatuh terduduk dan hampir terjengkang.

"Ih, kog doyong-doyong Fian? Minta maap!!!" seru Fian sambil bangkit dari duduk.
Namun si Ibu diam saja, tidak bereaksi sedikitpun menghadapi kemarahan Fian.
"Min-ta ma-ap !!!" ulang Fian dengan nada lebih tegas sambil berkacak pinggang.

Kembali si Ibu tidak bereaksi.
Kejadian itu luput dari campur tangan pengajar PAUD yang mungkin tidak melihat karena posisi duduk si Ibu berada di sudut ruangan di dekat pintu keluar. Pengasuh Fian yang melihat kejadian tersebut dari luar mesjid segera mendatangi Fian.

"Kenapa, Fian?" selidik pengasuhnya.
"Ini Mbak Ti, masa Fian di doyong pake siku sampai jatuh!"
Pengasuh Fian menegur Ibu tersebut secara baik-baik, dan akhirnya beliau meminta maaf kepada Fian :D

Saya mendapat laporan bahwa pada hari belajar berikutnya Ibu tersebut tidak lagi membawa notebook, bahkan bersikap sangat ramah kepada Fian :)

Mengucapkan kata "maaf" memang gampang-gampang susah. Gampang untuk yang terbiasa, susah bagi yang tidak terbiasa.
Belum lagi jika diucapkan secara lisan, maka nada suara yang digunakan bahkan ekspresi wajah juga ikut berperan.
Jika kata maaf diucapkan dengan nada tinggi apalagi disambung dengan gerutuan seperti "Iya, maaf deh, saya salah, emang saya nggak pernah bener ya!" maka kata "maaf" yang seharusnya diikuti dengan "penyesalan" bukan dengan "kemarahan" menjadi kehilangan makna.
Jika kata maaf diucapkan dengan nada datar seperti "Oke, maaf ya..." maka kata "maaf" yang seharusnya diikuti dengan "instropeksi diri" bukan dengan sikap "tidak perduli" menjadi tidak berarti.

Saya menyadari merupakan tugas saya dan suami untuk memberikan pengertian agar kelak Fian bisa memahami, bahwa kita memang bisa memaksakan keluarnya "pengakuan bersalah", sekedar "pengucapan kata maaf" bahkan "tindakan koreksi atas kesalahan yang telah terlanjur terjadi" dari diri seseorang.
Namun kita tidak akan pernah bisa memaksakan munculnya "rasa penyesalan" dan "tekad untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang" dari orang tersebut.
Karena hal tersebut hanya bisa datang dari dalam diri sendiri...
Karena dibutuhkan jiwa yang besar dan hati yang bersih agar seseorang bisa mengucapkan kata "Maaf" yang tulus dan berarti karena betul-betul berasal dari rasa penyesalan dan instrospeksi, serta diikuti dengan perbaikan diri agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi...

Jelang Ramadhan, saya menghaturkan "Maaf" dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam, jika selama ini tulisan saya ada yang tanpa sengaja menyakiti atau membuat teman-teman yang membaca merasa tidak nyaman... :)

Jakarta, 28 Juli 2010
Yeni Suryasusanti

Kamis, 14 Juli 2011

Mencintaimu...



Mencintaimu bukanlah sebuah pilihan
melainkan anugrah terindah pemberian Tuhan
karena cinta yang aku rasakan bukanlah permainan
maka ia terus bertahan
meski berada di bilik hati yang rentan

Mencintaimu adalah rasa yang indah
meski hari-hari kita tak selalu cerah
mungkin karena cinta adalah fitrah
maka dengan izin Allah
ia mampu menenangkan hati yang gelisah

Mencintaimu adalah sebuah karunia
karena ia mampu membangkitkan semangat sepenuh jiwa
dan membuat hari-hari menjadi penuh warna
terkadang berwarna merah muda
meski pernah juga berwarna hitam bagai jelaga

Mencintaimu berarti belajar menjadi bijaksana
agar cinta kepadamu tidak melebihi cinta kepada sang pencipta
karena walaupun mungkin terkadang cinta berkabut duka
tetap saja ia seolah-olah selalu ingin menjadi raja
ia menggetarkan raga, mempesona jiwa dan membuat hati mendamba 

Mencintaimu berarti memanjatkan untaian doa
karena cinta sejati tidaklah didasari nafsu semata
dan keikhlasan hati adalah kuncinya
Semoga Allah selalu hapuskan setiap kecewa
dan menggantikannya dengan rasa bahagia

Jakarta, 14 Juli 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 12 Juli 2011

Ketika Buah Hati Ingin Belajar Mandiri...


Sebenarnya kata "mandiri" terlalu "hebat" untuk menggambarkan maksud saya, namun terus terang saya belum menemukan kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan cerita tentang kemandirian yang saya maksud hehehe...

Cerita ini saya awali dengan nostalgia pengalaman saya sebagai seorang anak yang beberapa kali harus pindah kota mengikuti Papa yang bekerja sebagai PNS, sehingga tidak asing dengan travelling dan cukup terlatih beradaptasi karena terbiasa memulai pertemanan baru sebagai anak baru di sekolah yang baru.
Saya juga sangat beruntung memiliki orangtua yang dengan bijaksana melepaskan saya ketika saya ingin "belajar mandiri"...

Ketika saya berusia 4,5 tahun, saya masuk TK "0 Kecil" - demikian kami dulu menyebutnya - dengan usia yang setahun lebih muda dari seharusnya karena saya kesepian di rumah sedangkan kedua kakak saya sudah bersekolah :D
Merasa "sudah besar", Ibu pernah bercerita bahwa saya hanya bersedia diantar dan ditunggui pada minggu-minggu pertama sekolah. Setelahnya, saya tidak mau ditunggui bahkan diantar. Kebetulan jarak sekolah dan rumah kami memang tidak jauh, seingat saya hanya sekitar 100 - 200 m berjalan kaki. Dan tentu saja, ketika itu rasa aman masih biasa kita rasakan karena kejahatan seputar penculikan dan pelecehan anak tidak semarak yang terjadi pada masa kini.

Pengalaman yang masih saya ingat dengan jelas adalah ketika nenek buyut saya sedang berkunjung dan menginap di kediaman kami saat itu (di kota Pontianak, Kalimantan Barat).
Karena keinginan nenek, Ibu meminta saya mengizinkan nenek untuk mengantarkan saya ke sekolah.
Malas ribut dengan Ibu jika saya mentah-mentah menolak, saya mengizinkan nenek mengantar saya, namun begitu sampai separuh jalan, saya menyuruh nenek untuk pulang dan berkata bahwa saya malu diantar ke sekolah karena sudah besar. Ketika itu usia saya 5 tahun :D

Selain itu, masa kecil saya diwarnai dengan kesan betapa menyenangkan perjalanan liburan mengunjungi keluarga di lain kota. Saya akrab dengan para sepupu baik yang langsung maupun yang tidak langsung, karena Papa dan Ibu terkadang membawa kami untuk liburan dalam rangka silaturrahmi :)

Pada waktu liburan kelulusan SD (saat itu kami tinggal di Palembang), saya meminta perjalanan pertama saya tanpa didampingi orangtua : perjalanan Palembang - Dumai dan Pekanbaru untuk mengunjungi sepupu jauh saya dari keluarga Ibu.
Saya masih ingat Ibu dan Papa bertanya, "Neni berani pergi sendiri?"
Saya menjawab, "Berani kog... Kan naik pesawat aja, diantar dan dijemput pula."
Ketika itu saya naik penerbangan Pelita rute Palembang - Dumai, dan berencana pergi ke Pekanbaru bersama Oom dan sepupu saya untuk mengunjungi keluarga lain disana. Kebetulan salah seorang Oom saya bekerja di maskapai Pelita di Bandara Dumai.

Jika dipikir saat ini, saya sangat menghargai bagaimana papa dan Ibu saya bisa tetap terlihat tenang melepaskan putri bungsu mereka yang baru berusia 11 tahun melakukan perjalanan sendiri, sedangkan kakak-kakak saya - seingat saya - tidak pernah meminta hal serupa :D

Saya ingat Ibu menitipkan saya pada Pilot dan Pramugari, dan berpesan agar saya jangan turun dari pesawat tanpa didampingi. Namun ternyata saya memang tidak perlu khawatir, karena sebagai petugas Oom saya bisa langsung menjemput saya ke tangga pesawat hehehe...
Tetap saja, perjalanan pertama itu sangat berkesan, karena saya merasa dipercaya sebagai seorang anak, meskipun anak bungsu yang selama ini sering dianggap anak bawang hehehe...
Perjalanan itu mengawali hobby saya travelling sendiri dan menjalin pertemanan dengan orang sama sekali belum pernah saya temui :)

Liburan kenaikan kelas 2 SMA (ketika itu kami sudah tinggal di Jakarta), saya kembali meminta travelling sendiri dan diizinkan berangkat ke Yogyakarta naik kereta api untuk mengunjungi salah seorang sahabat saya yang kebetulan ayahnya adalah teman Papa saya juga. Saya diantar ke stasiun Gambir dan dijemput di stasiun Yogyakarta. Liburan itu kembali menjadi pengalaman yang menarik bagi saya :)

Ketika saya kelas 2 SMA, di awal semester genap, Papa dipindahtugaskan ke Jayapura, Papua (saat itu Irian Jaya).
Ibu  yang bekerja sebagai guru harus menunggu kenaikan kelas baru bisa pindah "ikut suami", sedangkan kami tidak ada yang ikut pindah karena kakak pertama saya sudah kuliah, kakak kedua saya sudah mau tamat SMA, sedangkan saya tanggung untuk ikut pindah karena sudah mau naik kelas 3 SMA.
Sungguh suatu puncak kebahagiaan bagi saya ketika Papa menawarkan saya berlibur ke Jayapura ketika kenaikan kelas, perjalanan sendiri dengan kapal laut Umsini selama 7 hari. Sementara Ibu masih di Jakarta karena mengurus pendaftaran kuliah dan mencari kost untuk kakak kedua saya.
Saya rasa, ketika itulah kecintaan saya pada laut bermula :)
7 hari di laut tidak membuat saya bosan. Saya menghabiskan waktu dengan bersosialisasi baik dengan penumpang maupun crew kapal, menatap laut dari pinggir pagar kapal, atau sekedar membaca Kho Ping Hoo di Kabin jika cuaca sedang tidak bersahabat :D
Kapal bersandar di setiap pelabuhan (Surabaya, Makassar, Manado, Ternate dan Biak) selama 2 - 5 jam sehingga saya dan teman-teman baru saya sempat berjalan-jalan sebentar di seputar pelabuhan.
Ketika kapal tiba ditujuan, kami semua sudah seperti teman lama rasanya heheheh...

Saya ingat, ketika mendengar saya akan berangkat naik kapal laut selama 7 hari tanpa didampingi, Oom saya menelepon Papa, marah.
Saya kebetulan ada di ruangan itu, dan sampai sekarang kata-kata Papa sangat membekas di benak saya, "Ketiga anak saya perempuan semua. Saya harus bisa mengajarkan mereka untuk mandiri karena saya tidak akan bisa selalu mendampingi mereka setiap saat."

Setelah itu Oom saya meminta berbicara dengan saya, berusaha menakut-nakuti agar saya menyurutkan niat berangkat sendiri.
"Nanti bahaya kalau kapal tenggelam, nanti diganggu orang", dst... gertak Oom saya.
Dengan agak nyeleneh saya jawab, "Uwa, kalau memang udah ajal mah dimana aja bisa meninggal. Naik mobil dan kereta api bisa tabrakan, naik pesawat bisa jatuh. Baca bismillah aja Uwa, didoain aja Insya Allah Neni baik-baik aja..."
"Huh, kamu dan Papamu sama aja," gerutu Oom saya, dan kata-kata itu bagi saya merupakan pujian tertinggi karena bagi saya Papa sangat luar biasa :D

Berpuluh-puluh tahun kemudian saya mengingat semua pengalaman saya belajar mandiri, dan saya kembali bersyukur sedalam-dalamnya karena memiliki orangtua seperti Papa dan Ibu saya.
Karena pernah merasa betapa besar arti kepercayaan mereka bagi saya dulu, saya juga belajar melepaskan Ifan yang ingin belajar mandiri.

Ketika Ifan naik kelas TK B, terinspirasi dari lagu yang dinyanyikan oleh Happy Holly Kids - serial TV Anak yang cukup nge-top saat itu - yang syairnya :

"Aku anak yang berani
Pergi sekolah sendiri
Walau tanpa mama papa
Aku tetap tidak takut
Sebab aku anak yang berani..."

Ifan meminta diizinkan untuk sekolah tanpa diantar pengasuh dan ditunggui. Sebelum itu, Ifan berangkat sekolah naik ojek langganan bersama pengasuhnya.
Ingat betapa hal itu merupakan hal yang mendebarkan sekaligus membanggakan, saya berkata, "Oke. Bunda senang Ifan mau belajar mandiri. Tapi bunda minta waktu 1 minggu untuk mempersiapkan segalanya."

Saya menceritakan kepada Kepala Sekolah dan Guru mengenai keinginan Ifan belajar mandiri dan meminta dukungan dan pengawasan dari seluruh aparat sekolah.
Saya meminta komitmen dan mendoktrin ojek langganan yang sudah cukup lama saya kenal - yang rumahnya juga masih termasuk dekat karena berada di pinggir komplek perumahan tempat kami tinggal, mengenalkan ojek langganan tersebut kepada seluruh guru, penjaga sekolah dan satpam dengan pesan agar jangan mengizinkan Ifan dijemput oleh  orang lain selain sang ojek langganan. Ifan pun tidak luput dari pesan-pesan sponsor, seperti jangan lupa pamit dulu kepada Guru sebelum pulang agar bisa diawasi siapa yang menjemput, dan melaporkan kepada Guru jika bukan ojek langganan yang mencoba menjemput. Dan Ifan pun memulai pengalaman mandirinya yang pertama :)

Ketika masuk SD, Ifan kembali bersekolah didampingi pengasuh karena anak-anak yang ramai pulang sekolah terlihat tidak terlalu terawasi. Saya tidak berani menggunakan ojek langganan karena pengawasan yang kurang ketat. Baru setelah Ifan kelas 3 akhirnya saya memutuskan menggunakan jasa Antar Pulang Sekolah yang memang dikelola oleh Yayasan Pendiri Sekolah :)

Liburan kenaikan kelas tahun ini, akhirnya Ifan (yang tahun ini akan berusia 11 tahun) mengukir sejarah travelingnya sendiri :)
Seperti yang sudah sering dilakukannya tanpa saya dan suami, Ifan berangkat berlibur ke Lembang dan Bandung ke rumah orangtua dan kakak saya.
Papa dan Ibu saya mengunjungi kami di Jakarta, dan Ifan ikut mereka saat pulang ke Lembang dan berlibur di Bandung selama seminggu. Masalahnya, liburan kali ini Papa dan Ibu saya tidak bisa mengantarkan Ifan hingga sampai di Jakarta kembali karena ada acara yang harus dihadiri, sedangkan saya dan suami ingin Ifan sudah berada di Jakarta pada tanggal 29 Juni 2011  karena kami akan berangkat ke Lampung pada tanggal 1 Juli 2011 untuk acara pernikahan keluarga suami.
Jika Ifan ingin tetap ke Bandung, maka Ifan harus berani pulang sendiri.
"Ifan berani pulang naik X-Trans sendiri?" tanya saya memastikan.
"Berani kog," jawab Ifan mantap.
Cara Ifan menjawab mengingatkan saya akan diri saya sendiri dulu :)

Akhirnya, alhamdulillah Ifan selamat sampai di Jakarta. Ibu dan Papa saya menitipkan Ifan kepada supir X-Trans seperti dulu Ibu menitipkan saya kepada Pilot dan Pramugari :D
Ifan pun bercerita dengan bangga bahwa dia sudah berani pulang sendiri dari Bandung hehehe....

Jadi jika ada yang bertanya kepada saya, "Kapan  saat yang tepat untuk melepaskan anak belajar mandiri?" dan "Bagaimana kita tahu bahwa mereka sudah siap?"
Maka seperti dalam film Finding Nemo saya akan menjawab, "Ketika mereka meminta," dan "Mereka yang tahu bahwa mereka sudah siap".

Jangan menghalangi kemandirian buah hati kita dengan alasan khawatir. Tugas kita sebagai orangtua adalah mempersiapkan jaring pengaman - bukan kurungan - semaksimal mungkin, kemudian berdoa dan menyerahkan penjagaan anak-anak kita ke tangan pemilik sejatinya : Allah Swt...

Jakarta, 12 Juli 2011
Yeni Suryasusanti