Kamis, 08 September 2011

Push to the Limit



Pagi hari tanggal 6 September 2011 saya belajar - lagi. Kali ini dari kejadian hampir pingsannya seorang penumpang busway di dekat saya.
Seorang pria muda, membawa ransel di punggungnya, rapi, seperti seorang eksekutif muda, secara tiba-tiba terjatuh berlutut di lantai busway. Penumpang yang duduk di depannya kebetulan seorang pria muda juga - yang sebelumnya sedang asyik dengan Blackberrynya - segera memberikan tempat duduknya. Melihat wajah yang pucat dan berkeringat sebesar jagung, saya menyodorkan minyak angin aromatherapy yang memang selalu ada di tas saya kepada penumpang wanita di sebelahnya. Ketika diberikan ke tangannya, pria yang hampir pingsan itu tetap tertunduk kepalanya, badannya yang setengah membungkuk di sangga dengan kedua tangga yang jemarinya saling mengait di pangkuannya.
Akhirnya penumpang wanita di sebelahnya mengambil kembali minyak angin aromatherapy tersebut, membuka tutupnya dan mengoleskannya ke telapak tangan si pria yang hampir pingsan, kemudian mengembalikannya kepada saya.

Entah memang tidak pernah mengetahui fungsinya atau sudah tidak bisa berpikir lagi saking hampir kehilangan kesadarannya, dia tidak menghirup cairan minyak angin aromatherapy ke hidungnya seperti yang seharusnya dilakukan, malah menggosoknya ke pangkal antara ibu jari dan telunjuk tempat syaraf yang biasa di tekan untuk menyadarkan orang pingsan. Dia tetap tertunduk.

Karena kebetulan sudah hampir sampai di halte tujuan saya, saya mengambil minyak angin aromatherapy, kembali membuka tutupnya, kali ini mengoleskannya ke punggung tangan pria itu sambil berkata, "Didekatkan ke hidung, mas, di hirup aromanya..." kemudian saya bergerak menuju pintu keluar.
Setelah melihat dia melakukan instruksi yang saya sampaikan, saya pun segera menyampaikan kepada kondektur busway  - yang mengucapkan terima kasih setelahnya - mengenai kondisi penumpang pria tersebut lalu turun dari busway di halte dekat kantor saya.

Apa yang saya pelajari kali ini?
Tidak lain mengenai "Push to the Limit".

Saya, adik-adik Paskibra 78, dan rasanya banyak orang lain juga yang pernah mengalami pelatihan sejenis, selama ini diajarkan untuk berusaha semaksimal mungkin, diminta untuk "push ourself to the limit".
"Kamu belum pingsan kan?" adalah kalimat yang tak jarang diucapkan ketika pelatihan fisik.
Saya sendiri menyadari hal itu sejalan dengan ajaran Islam untuk berikhtiar semaksimal mungkin.
Hanya saja, terkadang saya - dan mungkin teman-teman lain juga - lupa menetapkan batasan yang tepat. Lupa mengingatkan diri sendiri bahwa batas kemampuan pada masa pelatihan seharusnya berbeda dengan ketika kita sudah terjun ke dunia nyata.

Ketika dalam pelatihan, kita diawasi oleh mentor-mentor dan kakak-kakak yang siap sedia melindungi kita ketika kita sampai pada batas kemampuan kita. Jika kita pingsan, ada yang bertanggungjawab mengurus, jika stress ada yang membantu menenangkan.
Seharusnya masa pelatihan kita gunakan untuk mengenali batas kemampuan kita, terutama mengenali tanda-tanda yang muncul ketika kita sudah hampir sampai di akhir batas kemampuan kita.

Belajar dari kejadian pagi itu dan kembali mengingat petuah mentor Paskibra 78 saya, batas kemampuan yang dimaksud adalah batasan ketika kita masih memiliki kendali atas tubuh dan pikiran kita. Bukan ketika meskipun kita masih bernyawa, namun tidak lagi memiliki kendali atas tubuh atau pikiran kita, seperti pria yang pingsan tersebut, yang bahkan sudah tidak sanggup mengucapkan terima kasih atas bantuan pria yang membangunkannya dari posisi berlutut di lantai busway ke tempat duduk.

Jika si pria itu menentukan batas kemampuan yang tepat, tentu dia akan keluar dari busway di salah satu halte ketika dia mulai merasa tidak nyaman, beristirahat sejenak, mungkin minum sedikit, baru kemudian melanjutkan perjalanan naik busway berikutnya. Atau dia bisa keluar dari halte busway dan pulang dengan naik taksi. Toh dalam kondisi sakit seperti itu dia juga tidak akan bisa bekerja :)

Saya mendapati, kesalahan penentuan batas kemampuan ini seringkali terjadi akibat penilaian diri yang (terlalu) tinggi, adanya terselip perasaan sombong, munculnya perasaan "tanggung" atau "tertantang", atau ketika kita baru saja lulus dari pelatihan karena terbiasa ada orang lain yang bisa kita andalkan untuk menjaga kita ketika hal buruk terjadi.

Dulu, ketika migrain masih sering menyerang saya akibat pertumbuhan gigi bungsu yang tidak benar posisinya, saya selalu berusaha "push myself to the limit" dengan tetap memaksakan diri bekerja saat awal gejala migrain menyerang.
"Toh saya belum tumbang," demikian pikir saya.
Akibatnya, ketika migrain telah menyerang saya lebih parah, saya memerlukan waktu 3 hari istirahat di tempat tidur untuk pulih kembali.

Belajar dari hal itu, saya menyadari bahwa saya mungkin keliru menentukan batas kemampuan saya. Saya pun berusaha mengenali ciri-ciri gejala awal migrain yang menyerang saya. Rasa berat pada mata dan kening, rasa urat yang tertarik di tengkuk, dan rasa kebas di bagian kiri belakang kepala saya.
Setelah gigi bungsu saya di cabut, migrain jadi jarang menyerang saya. Namun, karena sudah mengenali ciri-cirinya, setiap kali awal gejala migrain menyerang (biasanya ketika anak-anak sakit demam karena saya otomatis terbangun setiap jam untuk memegang kening mereka), maka sebelum gejala awal tersebut kemudian menjadi semakin parah saya akan terlebih dahulu mengajukan izin untuk beristirahat 1 hari saja.
Ini jauh lebih efektif bagi semua, karena saya hanya perlu beristirahat 1 hari dan saya tidak terlalu tersiksa rasa sakit, daripada memaksa saya "push to the limit" yang keliru batasannya, dan akibatnya harus beristirahat lebih lama (bisa sampai 3 hari), dan lebih menderita pula :)

Masalahnya lagi, menentukan batas kemampuan atas kendali tubuh masih lebih mudah. Jauh lebih sulit mendeteksi batas kemampuan kendali kita atas pikiran. Penentuan batasan yang keliru ini pun akibatnya jauh lebih buruk : stress yang bisa mengakibatkan stroke, atau minimal pelampiasan emosi kepada orang-orang tercinta yang berada di sekitar kita :(
Namun, seperti gejala awal migrain saya, kita masih bisa mencoba mengenali tanda-tanda mulai lepasnya kendali kita atas pikiran kita, sehingga kita bisa segera berhenti sejenak untuk beristirahat atau meminta bantuan agar terhindar dari stress berat yang bisa berakibat fatal :)

Ada satu ungkapan adik Paskibra 78, Debby Cintya, yang menjadi kalimat favorit saya setiap ujian datang mendera :
“Everything that doesn’t kill you will make you stronger, smarter, and mentally richer”.
Namun, dengan pelajaran yang saya dapatkan pagi itu, saya harus mengingatkan diri saya bahwa hal itu sebaiknya berlaku jika saya menetapkan batasan yang tepat untuk menghadapi semuanya sendiri tanpa bimbingan orang lain. Karena jika saya menetapkan batasan yang salah, bisa jadi saya mengorbankan diri orang lain - yang kebetulan berada di dekat saya dan kemungkinan besar orang yang saya cintai - dalam proses pendewasaan diri saya...

Untuk mengakui dimana tepatnya batas kemampuan kita memang membutuhkan pengamatan yang jeli, hati yang bersih dan penilaian yang bijak, karena batasan itu belum tentu sama setiap kalinya, akibat banyaknya variabel yang menjadi bahan pertimbangannya.
Belum lagi keyakinan bahwa dengan latihan yang terus menerus, kita bisa meningkatkan batas kemampuan kita.

Namun bagaimanapun juga, dengan pelajaran yang saya dapatkan di pagi tanggal 6 September 2011 itu, saya harus mengingatkan diri saya sendiri untuk menentukan "batas kemampuan" dengan tepat dan menjalani "pelatihan untuk meningkatkan batas kemampuan saya" dengan penuh pertimbangan agar tidak mengakibatkan kesulitan dan menjadi beban bagi orang-orang tercinta di sekeliling saya...

Jakarta, 8 September 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar