Jumat, 21 Oktober 2011

Do The Right Thing



Sejak kecil tentu kita sudah terbiasa dengan pengajaran mana yang benar dan mana yang salah.
Namun, untuk sebagian orang, nilai yang telah tertanam ketika kita kecil terkadang tererosi oleh perkembangan zaman dan lingkungan. 
Saya pun demikian. Pada suatu masa ketika masih kuliah saya sempat merasa jauh dari Allah, dan akibatnya, sedikit pukulan saja sudah mampu membuat saya terpuruk. 
Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya, mungkin akan bertanya, dimanakah kedua orang tua saya yang bijaksana ketika itu?
Ya, ketika itu kedua orangtua saya tinggal di lain kota karena tanggung jawab karier Papa :)

Meskipun kedua orangtua saya adalah orangtua yang luar biasa, namun bagaimanapun tidak ada manusia yang sempurna. Dan saya belajar dari ketidaksempurnaan mereka.
Kedua orangtua saya mengajarkan kepada saya tentang agama sebagai landasan, mengajarkan tanggung jawab sebagai bagian dari kewajiban dan harga diri, mengajarkan pentingnya etika dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Semua itu diajarkan dengan contoh teladan dan doktrin. Tanpa dialog, tanpa diskusi.

Pada masa ini saya mengajarkan Ifan dengan sudut pandang yang berbeda. Bahwa ibadah merupakan wujud dari rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat yang telah kita terima. Jadi seperti mendapatkan dua kali bonus : kita sudah mendapatkan kenikmatan dunia terlebih dahulu, kemudian kita bersyukur dengan cara beribadah, dan di akhir nanti kita mendapatkan bonus kedua sebagai imbalan rasa syukur kita yaitu Insya Allah berupa surga di akhirat nanti.
Sedangkan dulu, saya belajar tentang agama seperti umumnya anak-anak pada masa itu. Lebih diarahkan bahwa shalat dan ibadah lain adalah kewajiban, yang hasil akhirnya adalah surga atau neraka.
Saya tidak berkata bahwa metode tersebut salah, hanya saja ketika itu rasanya surga dan neraka sungguh jauh dari pandangan mata, sedangkan surga dunia ada depan mata :D

Mungkin sebenarnya kedua orangtua saya mau membuka diri jika diajak berdialog, namun pada masa itu umumnya hubungan antara anak dan orangtua belum seperti sekarang. Orangtua adalah orangtua, bukan teman dan sahabat. Jadi, saya kurang mendapatkan pengajaran dalam bentuk hakikat karena kami jarang membahas segala sesuatunya secara panjang lebar ketika saya remaja. 
Akibatnya, ketika lingkungan dimana saya menghabiskan sebagian besar waktu saya memiliki nilai-nilai yang berbeda, saya pun sedikit terbawa arus, melupakan nilai-nilai yang telah saya pelajari sebelumnya...

Alhamdulillah, sebelum jauh terpuruk lebih dalam, saya ditarik oleh mentor saya. Tepatnya, dalam kekosongan hidup saya saat itu, saya teringat lingkungan dimana saya selalu merasa aman dan nyaman, yaitu Paskibra 78, dan beliau menerima saya dengan tangan terbuka.
Betahun-tahun saya lalui dengan diskusi panjang, menyegarkan kembali nilai-nilai yang telah tertanam namun sempat terbenam, bahkan mulai mengupas tuntas segala permasalahan baik yang terlihat di depan mata kami maupun yang hanya terlintas di pikiran saya.
Saya mulai belajar hakikat kehidupan. Bahwa salah satu hal yang penting dalam hidup ini adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan potensi yang kita miliki bagi orang lain di sekitar kita. Bahwa sebaik-baiknya manusia adalah dia yang bermanfaat paling banyak bagi orang lain. Dan ikhlas adalah kuncinya.

Saya belajar, bahwa Do The Right Thing merupakan hal yang harus dilakukan, meskipun tidak mudah.
Doktrinnya adalah :Tidak Mudah bukan berarti Tidak Bisa.
Awalnya mungkin dibantu dengan dzikir dan doa untuk tetap menjaga hati, namun kemudian sejalan dengan waktu dan ilmu yang terus kita gali dalam rangka perbaikan diri, nilai-nilai tersebut diharapkan bisa terintegrasi dengan diri kita dan berperan sebagai alert system yang bekerja tanpa kita sadari. 

Saya belajar, bahwa lingkungan bisa saja membantu kita untuk mengontrol diri agar melakukan hal yang benar, tapi Do The Right Thing yang sebenarnya justru harus dilakukan tanpa peduli apakah ada yang melihat atau tidak. Karena saksi sesungguhnya selain Allah adalah diri kita sendiri...

Saya belajar, bahwa meskipun dengan Do The Right Thing terkadang saya harus kehilangan sesuatu yang saya anggap sangat berharga, dan meskipun mengetahui bahwa saya melakukan hal yang benar tetap tidak mengurangi kepedihan akan kehilangan yang saya rasakan, namun saya juga menyadari bahwa memiliki hak untuk melakukan sesuatu bukan berarti bahwa segala sesuatu yang saya lakukan adalah benar...

Salah seorang adik didik saya, Debby Cintya, bertahun-tahun lalu pernah mengeluh kepada saya.
"Kadang di saat hampir putus asa karena sulitnya memenuhi nilai-nilai yang ditanamkan di dalam diri saya, saya seringkali berpikir untuk apa saya bersusah-payah seperti ini, sementara teman-teman saya yang lain masih dengan nyamannya terlena. Toh standar nilai yang ada pada teman-teman saya juga sudah cukup baik. Untuk apa saya setengah mati berusaha memenuhi standar nilai yang ditularkan oleh Mas Saleh dan Mbak Yeni?"
Ketika itu saya berkata sambil tersenyum, "Jika dengan bekal kemampuan yang kamu miliki saat ini kamu bisa mencapai nilai 9, apakah kamu akan cukup puas ketika mencapai nilai 7 hanya karena teman-teman di sekelilingmu mencapai nilai 7 juga? Buatlah standar hidup sendiri, jadikan standar orang lain hanya untuk pembanding saja."

Well, nobody's perfect. Sampai saat ini, jujur saja dalam beberapa kesempatan terkadang saya juga mengikuti keinginan hati, namun ketika hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang saya miliki, maka akan hadir rasa tidak tenang di dalam diri, karena akhirnya saya menyadari, bahwa hanya dengan Do The Right Thing saya bisa mendapatkan kedamaian hati...

"Character is doing the right thing when nobody's looking. There are too many people who think that the only thing that's right is to get by, and the only thing that's wrong is to get caught." (J.C. Watts)

Jakarta, 21 Oktober 2011
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar