Sabtu, 26 Februari 2011

Ibu dan Keikhlasan


Ketika keikhlasan menjadi seorang "Ibu" sudah didapat
Ketika itu pula kita bisa merasa bahagia meskipun penat
Saat tangan-tangan mungil memeluk tubuh kita erat-erat
Dan melihat mereka mendoakan kita seusai shalat
Ya Allah, semoga peran "Ibu" bisa menjadi bekal untuk akhirat :)

Saat ini mungkin banyak diantara teman-teman yang sudah menjadi seorang Ibu. Mengingat beratnya kehamilan, sulitnya melahirkan, dan merasakan betapa nikmatnya mengurus buah hati.
Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan beberapa teman yang memiliki Ibu yang usianya sudah kian senja, terkadang timbul sedikit kesulitan membagi perhatian antara Ibu, suami dan anak.
"Setiap orang tua itu biasanya kembali bersifat menjadi anak kecil," pernah saya mendengar seorang bijak berkata.
Mengamati beberapa wanita yang mulai berusia senja, akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa semua kembali kepada keikhlasan seseorang ketika menjadi seorang Ibu, keikhlasan yang ternyata harus terus menerus diasah hingga kita tua kelak, bukan hanya ketika kita menjadi seorang "Ibu muda".

Ada beberapa teman yang pernah bercerita kepada saya mengenai Ibunya yang selalu menyebut beratnya kehamilan, sulitnya melahirkan dan banyaknya waktu dan uang yang telah dihabiskan untuk membesarkan anak-anaknya ketika sang Ibu kecewa karena teman saya kurang memberi perhatian ditengah kesibukannya mengurus keluarga.
Intinya : Ibu sudah mengerjakan tugas Ibu untuk mengurusmu dengan penuh cinta hingga dewasa, kini giliran Ibu yang harus kamu urus dengan penuh cinta ketika tua.

Saya tidak berkata sang Ibu benar atau salah, karena setiap "Ibu" memiliki karakter yang berbeda.
Namun ada cerita dan percakapan dengan Ibu saya yang tidak akan pernah terlupa. Percakapan yg hingga kini jika sedang teringat selalu membuat mata saya berkaca-kaca. Membuat saya menghela nafas panjang dan belajar lebih banyak tentang keikhlasan yang nyata... Membuat saya bersyukur memiliki Ibu yang luar biasa...

Ibu saya adalah seorang wanita yang sederhana. Beliau lebih suka bersedekah dan menabung ketika sebenarnya beliau bisa saja memiliki kemewahan dunia, agar beliau memiliki investasi akhirat dan dana di saat tua sehingga tidak perlu membebani anak-anaknya.
Ibu dan Papa saat ini tinggal di sebuah rumah mungil di Lembang, menikmati masa pensiun mereka.
Namun karena kesederhanaan di masa muda, mereka mampu menyisihkan dana untuk membeli sebuah rumah kedua yang terletak di sebelah rumah kakak tertua saya, yang halaman depannya terhubung dengan pintu pagar kecil. Rumah persiapan untuk masa tua, demikian Ibu menyebutnya.
"Nanti kalau Ibu dan Papa sudah tua atau saat salah satu dari kami sudah meninggal dunia, saat kami sudah tidak bisa mengurus diri sendiri lagi, baru kami akan pindah kesana supaya ada yang mengawasi tanpa perlu jauh-jauh ke Lembang," demikian Ibu berkata.
Ibu dan Papa memilih membeli rumah untuk masa tua, bukan memilih ikut dengan salah seorang dari kami saja agar tidak menimbulkan konflik dengan rumah tangga kami, mungkin karena Ibu belajar dari kerumitan menyelaraskan beberapa kepentingan anggota keluarga ketika Nenek tinggal di rumah kami di masa tuanya :)

Dengan ringan Ibu bercerita tentang permintaan Ibu kepada kakak tertua saya.
"Yat, nanti kalo Ibu sudah tua dan sudah tidak bisa mengurus diri sendiri, Yati carikan Ibu baby sitter aja... Jadi setiap pagi nanti Ibu sudah dimandikan dan jalan-jalan keliling komplek dengan kursi roda... Jadi Yati bisa tenang mengurus keluarga, Ibu tinggal diawasi saja pengurusannya..." cerita Ibu kepada saya.
"Sudah fitrahnya seorang Ibu mengurus anaknya. Ketika anaknya menjadi seorang Ibu, sang anak juga akan mengurus anaknya, bukan Ibunya... dan memang begitu alur kehidupannya. Ibu ikhlas, agar kalian tidak berdosa. Ibu selalu mendoakan kebahagiaan kalian bertiga... Kan cinta Ibu sepanjang jalan, cinta anak sepanjang penggalan..." Ibu berkata sambil tersenyum.

Subhanallah... mata saya langsung berkaca-kaca...
Ya Allah, betapa mulianya hati Ibu saya... betapa tinggi keikhlasan beliau...
Di saat masih banyak orang tua disekeliling kita menuntut diprioritaskan dan diurus oleh anaknya karena dulu pernah memberikan prioritas yang serupa, Ibu dengan keikhlasan yang luar biasa justru meminta kami lebih memprioritaskan pengurusan keluarga yang menjadi kewajiban kami pula. Ibu hanya meminta pengawasan dengan penuh cinta, bukan menuntut kami mengurus Ibu sepenuhnya seperti beliau mengurus kami di masa kecil kami bertiga.

Alhamdulillah ya Allah...
Terima kasih telah kau berikan kepada saya Ibu yang luar biasa... Ibu yang telah membuat saya belajar makna tertinggi tentang keikhlasan menjadi seorang ibu...

Ketika keikhlasan dari seorang Ibu sudah didapat
Ketika itu pula kita bisa merasa bahagia meskipun penat
Saat jemari lembut mengusap kepala kita memberi nikmat
Dan mengetahui beliau selalu mendoakan kebahagiaan kita seusai shalat
Ya Allah, semoga peran "Anak" pun bisa menjadi bekal untuk akhirat :)

Jakarta, 26 Februari 2011
Yeni Suryasusanti

Jumat, 18 Februari 2011

Saya Ingin Jatuh Cinta...

Baru saja membaca status seorang teman :
"Meski ku rapuh dlm langkah kadang tak setia kepada-Mu... Namun cinta dalam jiwa hanyalah kepada-Mu..."

Tiba-tiba saja jemari seolah bergerak sendiri memberikan komentar :
"Jika cinta hanya diucapkan dengan kata2 tanpa bukti nyata, itu namanya bukan cinta neng heheheheh..."

Dan setelahnya baru saya tersadar betapa tajamnya kata-kata saya... betapa kata-kata itu mengiris hati saya sendiri... betapa kata-kata itu akhirnya memaksa saya untuk berintrospeksi...

Ya Allah, Ya Rasullullah,
Cintakah namanya jika lidah saya belum dilembabkan oleh dzikir dan shalawat di setiap desahan nafas untuk memuja-Mu?
Cintakah namanya jika shalat fardhu masih sering saya kerjakan di akhir waktu?
Cintakah namanya jika shalat sunnah belum saya jalankan dengan sepenuh rindu?
Cintakah namanya jika dalam perjalanan saya lebih sering memilih mendengarkan mp3 lagu daripada mendengarkan mp3 firman-Mu?
Cintakah namanya jika langkah kaki ini masih terasa berat untuk mendatangi majelis-majelis ilmu?
Cintakah namanya jika saya tidak langsung tersungkur di hadapan-Mu setiap kali menyadari telah berbuat sesuatu yang mengecewakan-Mu?

Ya Allah, Ya Rasullullah,
Ampunkanlah diri ini jika mengaku cinta namun tidak memperlihatkan bukti nyata
Ampunkanlah diri ini jika mengaku rindu namun setiap adzan tiba tidak segera berlari menghadap-Mu
Ampunkanlah diri ini jika mengaku mendamba namun lebih sering meluangkan waktu untuk dunia

Ya Allah Maha Pemberi Berkah, Ya Rasullullah Kekasih Allah...
Betapa ingin saya jatuh cinta pada-Mu sepenuh rindu
Melebihi cinta kepada seluruh makhluk-Mu
Cinta yang nyata bukan hanya sekedar kata-kata
Cinta yang terbukti bukan hanya sekedar janji
Cinta yang hakiki karena Engkau selalu ada di hati...

Jakarta, 17 Februari 2011
Dalam Derai Air Mata,
Yeni Suryasusanti

Minggu, 13 Februari 2011

Profesional Worker vs Profesional Parents and Partners



Kemarin, saat browsing ke blog seseorang yang bisa dikategorikan sebagai salah seorang motivator favorit saya, Bp. Isa Alamsyah di http://www.isaalamsyah.com/, saya sedikit tercenung saat membaca cerita seorang Guru TK yg sangat profesional di tempat kerja sehingga sangat disukai murid-muridnya karena terkenal sabar dan telaten jika menghadapi anak-anak, selalu tersenyum sekalipun anak-anak nakal dan mengganggu sang guru. Tetapi berlawanan dengan di tempat kerja, di rumah sang guru sama sekali jauh dari wanita ramah. Ia sering kali marah kepada anak-anaknya yang juga masih kecil sebagaimana anak-anak TK di sekolah. Jika anaknya nakal ia menegurnya kasar. Jika anaknya mengganggu ia dengan kasar mengabaikan.
Sang suami memperhatikan hal tersebut, dan akhirnya kehilangan kesabaran dan mengeluarkan ultimatumnya,
"Berapa sih kamu di gaji di TK? Kamu kok bisa ramah benar kalau di TK? Begini saja, saya gaji kamu sebagaimana kamu digaji di TK, tapi kamu harus seramah kamu ketika menjadi guru TK di sana?"

Cerita di atas membuat saya berkaca.
Memang saya tidak melakukan hal "separah" Guru TK tersebut. Namun jujur rasanya saya juga belum memaksimalkan sikap profesional saya sebagai seorang pasangan hidup dan seorang ibu.
Mengutip istilah Bp. Isa Alamsyah, "No Excuse" sebenarnya jika saya berpikir "Jelas di kantor lebih mudah bersikap profesional secara kita hanya fokus ke satu bidang : Pekerjaan. Kalau di rumah kan kita membagi peran : sebagai ibu, sebagai pasangan hidup, belum lagi sebagai pribadi yang juga harus diperhatikan kesejahteraan jiwanya."
Sedangkan jika mengutip istilah mentor paskibra saya, "Itu adalah barrier yang kamu ciptakan sendiri."
Kemarin saat saya membuat hal ini menjadi sebuah status, ada seorang teman yang menulis komentar "Untuk bersabar memerlukan kelapangan hati yg besar... Tapi semua itu ada batasnya..."

Batas Kesabaran. Sangat sering saya mendengar tentang hal ini, biasanya terutama dari sahabat wanita.
Dulu, saya pun sering mengucapkan kata yang sama.
Namun, melewati introspeksi panjang akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi dengan mudah menggunakan kata tersebut. Karena sebenarnya kesabaran itu tidak ada batasnya, namun yang ada batasnya adalah kemampuan manusia untuk bersabar. Apalagi kenyataannya setiap kali saya menyatakan kata tersebut di awal sebuah perjuangan atas perubahan maupun masalah hidup saya, maka akhirnya saya menilai bahwa kemampuan saya untuk bersabar tidak semaksimal yang seharusnya. Mungkin karena saya sudah terlanjur menetapkan batas atau target sebuah kesabaran sebelum saya berusaha maksimal.
Well, toh sabar bukan berarti tidak boleh marah kan? Akhirnya bagi saya sabar identik dengan pengendalian diri, menentukan kapan dan bagaimana cara marah yang tepat dan efektif. Biarlah kata "Batas Kesabaran Saya" muncul dengan sendirinya di akhir perjuangan kalaupun memang harus muncul :)

Di kantor, saya memang berusaha menjadi seorang Profesional Worker.
Saya berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan atasan, rekan kerja satu divisi dan antar divisi - meskipun untuk antar divisi hal ini diwarnai dengan sedikit ledakan-ledakan emosi umumnya akibat konfik standard Finance vs Marketing heheheh....
Saya bisa mengendalikan diri menghadapi client yang banyak tuntutan, yang terkadang bawel dan menyebalkan :D
Saya selalu haus ilmu sehingga masih menyempatkan diri mencaritahu bagaimana meningkatkan kemampuan saya di bidang pekerjaan.
Saat saya mencoba menganalisa mengapa saya berusaha menjadi seorang profesional worker, jawabannya adalah "Saya mencintai pekerjaan saya, apalagi saya menerima bayaran atas tenaga saya bekerja."

Namun mengapa lebih sulit untuk menjadi Profesional Parents dan Profesional Partners?
Meskipun saya juga berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan suami dan anak-anak , namun lebih sulit untuk mengendalikan diri menghadapi pasangan dan anak yang terkadang juga bawel danbanyak tuntutan terutama disaat kebutuhan diri saya sebagai pribadi juga berteriak minta didahulukan.
Bukankah saya juga mencintai peran saya sebagai ibu dan istri?
Apalagi jika saya analisa dengan lebih jujur, bukankah saya juga mendapat bayaran bahkan pinjaman awal dari Allah untuk menjalani peran saya sebagai pribadi, pasangan hidup dan seorang ibu?
Saya diberi oksigen gratis untuk hidup, pinjaman anggota tubuh untuk mengurus semuanya, pinjaman otak untuk membantu mengatasi masalah di keluarga, pinjaman hati untuk menyayangi dan terutama saya menerima bayaran berupa investasi untuk di akhirat nanti.

Jadi, jika saya bisa merasa malu kepada atasan saya seandainya saya tidak bekerja dengan profesional, seharusnya saya merasa lebih malu kepada Allah jika saya tidak berusaha maksimal menjadi seorang Profesional Parent dan Profesional Partner.

Untuk itulah tulisan ini saya buat. Untuk mengingatkan diri saya sendiri.
Agar "Manusia adalah tempat salah dan lupa" tidak saya jadikan alasan secara terus menerus untuk menunda belajar dan berusaha menjadi seorang profesional parent dan partner.
Insya Allah setiap saya membaca tulisan ini lagi, usaha yang semula kendur, komitmen yang mungkin mulai terlupakan, akan terpacu kembali...
Tulisan ini saya harap berfungsi layaknya agenda bagi seorang yang pelupa :)

Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan doa,
Ya Allah, berilah bimbingan, kekuatan dan kemudahan kepada kami agar kami bisa menjadi profesional sejati di setiap bidang hidup kami. Menjadi umat-Mu yang profesional, menjadi pasangan hidup yang profesional, menjadi orang tua yang profesional, menjadi tetangga, kerabat, dan sahabat yang profesional, dan menjadi pekerja yang profesional.

Bismillaahirrahmaanirrahiim... semoga kita bisa :)

Jakarta, 13 Februari 2011
Yeni Suryasusanti

Kamis, 10 Februari 2011

Ketika Jari Cedera : Renungan Tentang Indahnya Kasih Sayang, Persahabatan & Berbagi Beban :)


Di kamar, saya memiliki sebuah lemari kecil dengan 4 pintu bersusun.
Rak paling atas saya gunakan untuk tempat meletakkan perawatan wajah dan tubuh seperti bedak, lipstik, body lotion, deodoran dan parfum. Rak kedua saya gunakan untuk penyimpanan jilbab persegi. Rak ketiga saya gunakan untuk penyimpanan jilbab instant (bergo), manset dan ciput. Sedangkan rak terakhir untuk sajadah dan mukena.

Seperti umumnya furniture yang terbuat dari kayu press, kekuatannya tentu juga terbatas.
Pintu rak ketiga pernah pecah kayunya di bagian engsel atasnya karena ditarik buka tutup oleh Fian - putra bungsu saya yang usianya hampir 3 th - yang senang mendengar suara "klik... klik" :)
Terbiasa menyiasati barang-barang rusak yang belum waktunya diganti, saya menempelkan kembali potongan kayu tersebut dengan menggunakan lakban bening sehingga pintu tersebut kembali bisa berfungsi :D
Namun, karena Fian masih terus "bersemangat" mendengar bunyi-bunyian menarik... kembali pintu rak ketiga tersebut pecah lagi, kali ini di bagian engsel bawahnya hehehhe...
Nah, kesalahan saya disini adalah, saya menunda untuk memperbaikinya hingga beberapa lama, karena toh pintu rak tersebut masih bisa ditutup. Hanya saja, saat akan membuka harus hati-hati agar tidak terlepas dari engselnya.

Senin malam yang lalu, seperti biasa saat saya sudah tiba di rumah, Fian sulit dilepaskan dari seputaran tubuh saya. Dia memeluk, merangkak masuk diantara kaki saya, berjalan bahkan berlari memutari tubuh saya sambil berteriak-teriak, "Bunda udah puyang!! Bunda udah puyang!!" heheheh...
Saat saya berdiri di depan lemari kecil saya, ketika kapas sudah di tangan dan saya hendak membersihkan wajah, Fian melanjutkan hobbynya menarik dan menutup pintu rak ketiga untuk mendengarkan bunyinya... dan terjadilah musibah kecil yang cukup menyakitkan : Pintu rak terlepas dari engselnya dan menimpa jari telunjuk kaki kiri saya persis diatas buku jarinya :((

Kontan saya menjerit, bahkan sampai langsung terguling di lantai.
Ya Allah... saya pernah juga mengalami kaki tertimpa, tapi ternyata jika hanya 1 jari saja yang tertimpa rasa sakitnya sungguh luar biasa...
Air mata keluar dengan sendirinya dan saya mengerang, "Ya Allah... Ya Allah..." sambil meringkuk.
Fian kaget, langsung berjongkok di samping saya.
"Bunda cakit ya? Ketimpa gaya-gaya Fian ya? Cakit peyut ya? Maafin Fian ya Bunda..." katanya beruntun karena melihat saya meringkuk dengan tangan diatas perut.
Hahahaha.... duh saat itu saya sempat terpikir mungkin gini ya kalo dokter salah diagnosa... karena pasiennya salah menampilkan gejala... yang sakit kaki saya tapi kog ya tangan saya di perut...
Setengah tertawa setengah menangis, saya bilang, "Kaki bunda yang sakit Fian..."

Tanpa saya minta, Fian berlari keluar memanggil suami saya.
"Ayaaahhhh.... Ayaaaahhh.... Ayah dimana ciiihhhhh???"
Suami saya muncul dari teras, "Fian panggil ayah? Ada apa?"
"Itu Bunda cakiittt.... Ayah obatin duyuuuuu...." teriak Fian sambil kembali berlari ke kamar saya.

Saya di papah suami ke tempat tidur. Jari saya yang lebam dioleskan entah apa oleh suami saya. Fian ikut naik ke tempat tidur, meniup jari kaki saya, kemudian mencium dan memeluk saya.
Saat hendak menemani Fian tidur, kaki saya masih cenat cenut luar biasa hingga saya mengerang. Mata Fian terbuka kembali dan berkata, "Masih cakit ya Bunda?"
Saya hanya mengangguk.
Fian kembali turun dari tempat tidur mencari suami saya, "Ayaaahhh..... itu Bunda macih cakiiittt.... Obatin biar cembuh dooongggg...."
Duh Fian... Saya jadi terharu...

Hari Selasa pagi, saya tetap ke kantor seperti biasa, diantar suami. Karena waktu di rumah saya masih bisa jalan meski sedikit terpincang-pincang, saya tetap mengenakan sepatu. Saya pikir, "Ah, kan sepatu saya lembut ini, bukan hak tinggi pula..."
Ternyata, begitu sampai di kantor, jari saya sakit luar biasa jika digunakan untuk berjalan. Duh, mana saya tidak punya stock sendal di kantor...
Atasan saya melihat hal tersebut, langsung menawarkan sendalnya, yang alhamdulillah ukuran kakinya sama dengan saya. Dan benar, setelah memakai sendal yang depannya terbuka dan jari saya bisa bebas bergerak, sakitnya terasa jauh lebih ringan :)

Selesai shalat zuhur, jari kaki saya semakin cenat cenut... akhirnya saya mendatangi teman GA untuk meminta balsem.
Kembali ke meja saya, dengan tanpa kaus kaki, teman-teman melihat jari telunjuk kaki kiri saya yang kini hitam.
Ana, seorang teman accounting - yang katanya dulu suka di urut ayahnya karena jatuh - berkata, "Mbak, itu jarinya harus di urut... biar nggak jadi darah mati..."
Akhirnya Ana yang mengurut jari telunjuk kaki saya dengan balsem, dan mengajari saya bagaimana cara mengurut yang benar yaitu dari ujung jari ke arah atas agar peredaran darah saya lancar kembali... duh, sampai melintir-melintir saya menahan sakitnya hehhehe...
Namun setelahnya, alhamdulillah... warna hitam di jari telunjuk kaki saya berganti menjadi merah lebam, dan sakitnya sungguh jauh berkurang :)

Lesson learnt dari kejadian ini adalah :
  1. Jangan menunda pekerjaan. Jika saya langsung memperbaiki pintu rak yang rusak, tentu tidak akan terjadi musibah kecil ini :)
  2. Jika sedang sakit dan mau berobat, tunjukkan gejala sakit yang tepat agar tidak ada kemungkinan salah diagnosa dan salah pemberian obat. Jangan seperti saya yang memegang perut pada saat kaki yang sakit sehingga Fian salah duga saya sakit perut :D
  3. Ajari dengan contoh. Saat saya cerita kejadiannya kepada teman, ada yang bertanya bagaimana cara mendidik Fian menjadi anak yang perhatian saat saya sakit. Saya berkata : hanya dengan melakukan hal serupa, yaitu menyayangi dan memperhatikan Fian ketika dia sehat maupun sakit. Alhamdulillah, ternyata saat saya sakit, Fian memberi kasih sayang sama :)
  4. Pikiran yang sakit ibarat Jari Kaki yang sakit. Saat jari saya sakit dan saya memaksa tetap mengenakan sepatu, sakit yang saya rasakan sungguh luar biasa. Namun saat saya mengenakan sendal, sakitnya sangat jauh berkurang. Sama dengan pikiran yang sakit. Jika kita sedang ada masalah, jangan mengurung dan menutup diri, karena kita justru akan semakin stress. Buka diri, bahkan jika mungkin bantulah orang lain. Insya Allah masalah kita tidak akan terasa terlalu berat lagi meskipun belum selesai :)
  5. Ternyata benar pepatah orang dulu, "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing." Jika kena hanya 1 jari memang pasti lebih berat sakitnya, karena beban pintu rak terasa berat akibat ditumpu pada 1 jari saja. Sedangkan jika seluruh kaki yang kena mungkin cedera akan lebih ringan karena beban pintu rak akan terbagi dengan jari-jari lainnya. Juga memiliki atasan dan teman-teman yang baik sungguh meringankan penderitaan saya :D
  6. Terakhir, penyembuhan itu membutuhkan proses, dan terkadang proses pengobatannya menyakitkan. Meskipun demikian, memutuskan menjalani proses pengobatan meskipun menyakitkan ternyata mempercepat proses penyembuhan. Sama dengan diri kita. Untuk berubah menjadi lebih baik perlu waktu, terkadang melewati ujian yang menyakitkan. Tapi semua itu pasti akan terasa berharga ketika kita sampai diujung penantian, saat semua amal kita diperhitungkan :)
Saat ini, saya masih mengenakan sendal ke kantor. Tapi sakit dan memar di jari kaki saya sudah sangat jauh berkurang, karena rutin saya urut dengan zambuk, sehingga kini hanya tinggal warna kemerahan di atas buku jari di bawah kuku saja...
Alhamdulillah, tak putus saya bersyukur pada Allah telah dianugrahi keluarga, atasan dan teman-teman yang juga perhatian dan penuh kasih sayang... :)

Jakarta, 10 Februari 2011
Yeni Suryasusanti

Selasa, 08 Februari 2011

Fian Potong Rambut : Sebuah Renungan Tentang Cara Mengajak Kepada Kebaikan

Mau pintar?? Ya belajar....

Pernah lihat iklan suplemen otak yang kalimatnya seperti tulisan diatas?
Rasa terima kasih jika mungkin saya ingin sampaikan kepada tim kreatif pembuat iklan tersebut karena telah mengilhami saya untuk satu penyelesaian problem di rumah heheheh...

Begini ceritanya...

"Fian, potong rambut yuk, udah panjang tuh rambutnya," ajak suami saya pada suatu hari.
"Tidak mau, ayah!" jawaban Fian jelas sekali :D

Fian sejak kecil memang tidak suka dipotong rambutnya. Beberapa kali potong rambut selalu diiringi dengan tangisan :(
Dalam rangka mencoba membujuk Fian, suami saya mengajak Fian saat suami dan Ifan akan potong rambut di barber shop langganan.
Fian ikut dengan suka cita. Tetapi saat diajak potong rambut, terjadilah dialog seperti diatas.

Hal ini terjadi berulang kali. Hingga terakhir Fian menolak tegas sekali :D
"Fian, potong rambut yuk, udah panjang tuh rambutnya," ajak suami saya.
"Tidak mau, ayah!" kata Fian.
"Ayo dong Fian, potong rambut, biar ganteng..." suami saya tetap berusaha :D
"Tidak mau, ayah!" ulang Fian dengan lebih tegas.
"Fian, kayak abang tuh potong rambut... keren kan?" keukeuh suami saya mencoba heheheh...
"Tidak mau, ayah! Cukup!!" tegas Fian sambil mengangkat jari telunjuk kanannya pada suami saya.
Jari telunjuk yang terangkat dan nada mengucapkan kata "Cukup" persis sama dengan cara saya jika sedang memarahi Fian :D
Demikian cerita pengasuh kepada saya ketika saya pulang dari kantor.

Saat Fian ikut mengantar saya ke kantor bersama suami pada suatu pagi, saya mencoba membuktikan kebenaran cerita pengasuhnya...
"Fian, rambutnya udah panjang nih... potong rambut mau?" tanya saya menjajaki.
"Tidak mau, Bunda," sahut Fian tegas sekali.
Oh... ternyata benar... heheheh...

Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat iklan diatas. Dan secara spontan saya bertanya,
"Fian mau ganteng?"
"Mau, Bunda!" sahut Fian segera.
"Kalau mau ganteng, ya potong rambut... Mau?" tanya saya sambil lalu.
"Mau!! Yuk, potong rambut!" ajak Fian antusias hehehehe.....

Dan akhirnya Fian berhasil diajak potong rambut, hanya dengan permainan kata-kata...
"Fian potong rambut yuk biar ganteng" ditolaknya mentah-mentah, namun "Fian mau ganteng? Yuk potong rambut!" langsung diterima dengan antusias.


Lama setelah kejadian tersebut, saya sempat merenung.
Ternyata mungkin anak dan kita pada umumnya terkadang sudah lelah dengan perintah bahkan sekedar ajakan yang disampaikan secara langsung. Mungkin karena merasa di dikte, merasa tidak diberikan otoritas penuh atas tindakan kita.
Namun, jika kita diminta untuk memutuskan sendiri, mungkin kita akan melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran meskipun tidak diminta :)

Sama dengan sulitnya dengan mengajak orang untuk sebuah kebaikan.
"Ayo shalat, ayo zakat, ayo berbuat baik... biar masuk surga..." ternyata sulit untuk diterima oleh beberapa type orang.
Bahkan terkadang yang terjadi adalah kita yang mengajak akan diledek, "Baik pak ustadz, baik bu ustadzah..." bahkan dikomentari "sok suci" :)

Dari renungan keberhasilan mengajak Fian potong rambut membuat saya berpikir bahwa mungkin untuk beberapa type orang - bahkan mungkin juga saya pada suatu kondisi tertentu - sama seperti Fian, perlu ajakan secara tidak langsung.
Ajakan yang tidak membuat kita merasa di desak, di dikte dan di gurui karena terkadang sebenarnya kita sudah tahu manfaat ajakan tersebut.
Namun terkadang kita hanya perlu ajakan yang memberikan kita ruang untuk memutuskan dan memikirkan sendiri keinginan kita dan konsekuensinya...

Mau dicintai Allah, Rasulullah dan Insya Allah masuk surga? Yuk jalankan Perintah Allah dan Sunnah Rasulullah :)

Jakarta, 24 Januari 2011
Yeni Suryasusanti

Fian dan Dispenser

Sejak usia 7 bulan, sudah terlihat bahwa Fian akan tumbuh menjadi anak yang aktif, ingin tahu dan banyak bicara. Meskipun selama ini alhamdulillah untuk hal yang berbahaya Fian masih bisa diberi penjelasan, namun tetap saja beberapa kecelakaan ringan terjadi seperti terjatuh karena tersandung kaki sendiri atau terbentur kaca bening di kantor saya hehehe...

Sabtu 2 minggu yang lalu, 8 Januari 2011, terjadi kecelakaan di ruang makan keluarga kami.
Pagi itu suami saya sudah berangkat untuk mengikuti sebuah workshop. Saya sedang sarapan di meja makan, pengasuh fian juga duduk di kursi meja makan sambil mengawasi Fian yg berdiri sambil turun naik memanjat galon aqua yg penuh isinya untuk memandang keluar jendela di belakang kursi yang saya duduki, dan sesekali menarik kursi makan di sebelah saya.
Entah bagaimana kejadian awalnya, tiba-tiba Fian menjerit menangis sambil berlari kemudian berpegangan ke sandaran kursi saya.
Melihat saya tidak bisa bergerak memundurkan kursi karena ada Fian di belakang saya, pengasuh berlari untuk memeluk Fian, dan menjerit, "Bundaaaa.... air panassss!!!"
Masya Allah... ternyata punggung Fian menekan keran air panas dispenser yang lokasinya tidak jauh dari jendela :((

Reflek, pengasuh Fian menjauhkan Fian dari belakang kursi saya dan membuka piyama dan kaus dalam Fian sekaligus, mengakibatkan sebagian kulit dengan diameter sekitar 2,5 cm tercabut.
Fian menjerit menangis, "Bundaaa..... panasssss.........." sambil dengan reflek menggapaikan tangannya ke punggung dan mengakibatkan kulit kembali tercabut di tempat lain di punggungnya.
Sedangkan saya, begitu berhasil membebaskan diri dari kursi, segera mengangkat Fian ke kamar mandi sambil berteriak, "Yanti, ambil es batu dan Nutrimoist di kotak obat!!!"

Saya menyiram punggung Fian dengan air dingin beberapa kali, kemudian mengeringkan tubuh bagian depan dan membungkus tubuhnya dari pinggang ke bawah dengan handuk dan membiarkan punggungnya terbuka.
Segera saya menelungkupkan Fian yang masih menangis "Panas bundaaaa..." dipangkuan saya, dan mengusapkan es batu di kulit sekitar luka yang terbuka. Setelah kulitnya terasa dingin, baru saya keringkan dan mengolesnya denganNutrimoist. Pengasuh Fian melihat sambil menangis dan membantu mengipasi punggung Fian setiap kali Fian berkata punggungnya panas...
Tak lama Fian reda tangisnya dan minta dipeluk saya saja, belum mau turun dari pangkuan saya.
Kulit Fian terkelupas, dan saya tahu bahwa saya harus membawanya ke rumah sakit, khawatir terjadi infeksi.

Menyadari saat itu hujan dan tidak mungkin saya membawa Fian naik ojek agar bisa cepat ditangani - seperti saat saya membawa almarhumah Nada yang kejang dulu - saya akhirnya menghubungi handphone suami...
"Ayah udah dimana?"
"Udah sampai di tempat workshop di Pluit, Bun. Kenapa?"
"Punggung Fian kena air panas dari dispenser, kulitnya ada yang tercabut, Yah... Harus dibawa ke rumah sakit..."
"Astaghfirullah... Ayah pulang sekarang," kata suami saya singkat dan langsung menutup telepon.

Sementara menunggu suami pulang, saya ganti baju dengan tetap sambil menggendong Fian kerena Fian tidak mau digendong pengasuhnya.
Bingung saat akan mengenakan jilbab, saya akhirnya mencoba mengalihkan perhatian Fian dari sakitnya.
"Fian, Bunda mau pakai jilbab dulu. Fian duduk di tempat tidur ya... Fian mau body lotion?"
"Mau, Bun..."
Dan Fian terlupa dengan punggungnya yg terkelupas, dan asyik mengoleskan body lotion bayi di tangan dan kakinya :)
Fian pun saya pakaikan celana panjang piyama dan jaket yang dipakai terbalik sehingga punggungnya tetap terbuka.
Kemudian saya menghubungi Dr. Attila Dewanti, dokter Fian sejak lahir. Karena Dr. Attila sedang praktek di rumahnya di Jl. Tulodong, susternya yang mengangkat hpnya. Saya menceritakan kejadian pagi ini, dan Dr. Attila menyarankan agar Fian di bawa ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina), ke Dr. Poengky yang sudah terbiasa menangani luka bakar.

Saat suami saya pulang, Fian sudah bisa berkata tanpa menangis, "Ayah... Fian tayik-tayik kurci cambil mundur-mundur... trus kena aing panas dipencer punggung Fian..."
Menimbang RSPP yang letaknya agak jauh dari rumah, akhirnya Fian dibawa ke UGD RS. Harapan Kita yang merupakan RS tempat Ifan, Nada dan Fian lahir, yang lokasinya hanya 10-15 menit dari rumah.

Di UGD, awalnya Fian sempat tidak mau berbaring tengkurap di tempat tidur.
Tapi setelah saya bilang, "Fian harus tengkurap, kayak tadi waktu Bunda kasih es batu di rumah... Bunda disini di samping Fian sambil peluk Fian ya..." Fian pun bersedia berbaring tengkurap.
Suster menyiapkan botol seperti botol infus yang berisi NaCl dan menyiramkannya ke punggung Fian. Kelihatannya NaCl memberikan efek mendinginkan dan mengebalkan kulit karena Fian sama sekali tidak menangis saat suster membersihkan kulit punggungnya yang terbakar air panas dengan digosok-gosok cotton bud sambil tetap menuangkan NaCl.
Lalu, Dokter mengoleskan salep Mebo (yang ternyata saat ini sudah menggantikan kedudukan "Burnazin" yang dulu biasa disarankan dokter RS Harapan Kita untuk mengobati luka bakar grade 2), kemudian menutup luka tersebut dengan Bactigras dan perban. Pesan Dokter UGD, selama 3 hari luka tersebut tidak boleh kena air. Perban diganti cukup 1 kali sehari, tidak perlu dibersihkan, cukup oles salep Mebo kembali, tutup dengan Bactigras dan perban lagi.
Pada hari ke-4 perban dipesankan agar dibuka saja. Setelah diberi antibiotik untuk menghindari infeksi, Fian pun diperbolehkan pulang.

Pada hari Senin pagi, saat mengganti perban sebelum berangkat kerja, saya melihat luka Fian yang kulitnya terbuka masih ada bagian yang basah. Karena ragu jika besoknya sudah tidak pakai perban untuk menutup dengan kondisi luka yang masih agak basah, khawatir malah makin parah jika bergesekan dengan baju, saya pun mengirimkan sms untuk konsultasi ke Dr. Attila, menanyakan apakah boleh perban tetap ditutup sementara hingga luka cukup kering, atau apakah beliau ada waktu utk bertemu malam ini di tempat prakteknya di Jl. Tulodong.
Dr. Attila setuju untuk bertemu terlebih dahulu karena beliau tidak bisa memberikan advice tanpa melihat luka Fian.

Senin malam, Fian pun dibawa ke Dr. Attila. Setelah melihat kondisi luka Fian yang ada kulit terbuka dan ada pula kulit mati yang menempel berkerut di punggungnya, Dr. Attila menyarankan Fian dibawa malam itu juga ke UGD RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina), dan membekali kami dengan Surat Rujukan untuk Dr. Poengky.
"Biar Dokter UGD RSPP melihat lukanya dan menghubungi Dr. Poengky melalui telepon. Jika dianggap parah, biasanya Dr. Poengky mau datang. Atau, jika tidak terlalu parah menurut mereka, Dr. Poengky akan memberikan instruksi via telepon tindakan apa yang harus dilakukan," demikian penjelasan Dr. Attila.

Kami sampai di UGD RSPP sekitar Pk. 21.30 WIB.
Alhamdulillah, kami dilayani dengan sangat baik. Atas instruksi Dr. Poengky, kulit mati di punggung fian dibuka dengan menggunakan pinset (duh, anakku dikuliti secara harfiah didepanku...)
Tanpa bermaksud memuji anak sendiri, saya sungguh kagum dengan ketahanan Fian :)
Sebelum kulitnya dikupas dengan pinset, pada Fian yang tengkurap saya berkata, "Fian, tahan ya... ini akan sakit..." sambil memegang erat kedua tangannya, sementara suami memegangi pahanya erat-erat.
Saat kulitnya dikupas, Fian menggeliat-geliat menahan sakit sambil berkata, "Fian ta'an, Bunda... Fian ta'an, Bunda..." hingga setengah jalan pengerjaan tersebut.
Namun, bagaimanapun Fian tetaplah anak berusia 2 tahun 7 bulan... Lewat setengah pengerjaan, Fian menyerah, merengek, "Bunda... udah dong... Oom... udah dong... sakit niiiihhhhh...." dan Fian pun menangis...
Duh, serasa dirobek-robek hati saya mendengar tangisnya, tapi saya tetap berkata, "Sabar ya Fian... sebentar lagi selesai..." terus mengulang kalimat itu sambil mencium kepalanya dengan tetap memegang erat kedua tangannya...

Alhamdulillah, pengulitan kulit mati Fian akhirnya selesai, menyisakan kulit yang sudah terkupas yang memanjang sekitar 3 x 10 cm, memanjang miring dari dekat bahu hingga hampir mencapai pinggang...
Dokter UGD RSPP mengoleskan salep Mebo juga (hm, kalo rumah sakit spesialis luka bakar udah pakai ini juga berarti memang ini yg saat ini paling bagus sepertinya ya...), kemudian tanpa ditutup Bactigras langsung menutupnya dengan perban, dan menempelkan "plastik" seperti laminating di punggung Fian, sehingga perban pun aman tak bergeser :)

Pesan yang sama kembali disampaikan, "luka tidak boleh kena air dulu" dan Dokter UGD memberikan laporan untuk kami bawa ke Dr. Poengky pada hari Kamis, 13 Januari 2011.
Disampaikan juga oleh Dokter UGD RSPP mengapa kulit mati harus dibuka, yaitu agar salep bisa terserap masuk ke dalam kulit sehingga tumbuhnya kulit baru bisa berlangsung dengan sempurna. Rupanya, kulit mati itu justru bisa menghalangi penyembuhan karena tidak bisa menyerap salep...

Hari kamis minggu lalu, Fian dibawa ke Dr. Poengky yang ternyata adalah Dokter Spesialis Bedah Plastik di RSPP.
Plastik laminating punggungnya dibuka, dan saya cukup takjub melihat lukanya sudah "kering".
Menurut Dr. Poengky lukanya sudah bagus, jadi sudah boleh kena air (tapi luka belum boleh kena sabun dulu). Pergantian perban cukup 1 kali sehari, lakukan setelah mandi. Perban saat mandi jangan dibuka dulu, jadi dibasahi saja agar membuka perbannya lebih mudah. Olesi Mebo, dan tutup kembali cukup dengan perban dan plester saja (tanpa Bactigras).
Karena melihat Fian anak yang tidak bisa diam, Dr. Poengky memberikan Fian "baju jaring" seperti singlet ketat (duh maaf saya sulit menggambarkannya... lihat di foto Fian di notes ini, dilehernya ada kelihatan seperti kaus dalam jaring), sehingga perban tidak bergerak meskipun Fian banyak beraktifitas :)
Susternya Dr. Poengky pun memberikan tips membuka plester dengan lebih mudah agar kulit Fian tidak terlalu sakit karena tertarik, yaitu dengan menggunakan "Aseton" alias cairan untuk membersihkan cat kuku.
Terbukti, hingga hari ini Fian tidak lagi takut jika perban akan diganti, dan tidak trauma dengan "Dispenser".
Hanya setiap ganti perban Fian bilang, "Pelan-pelan ya Bunda... pakai aceton ya?" :)

Fian harus kembali lagi untuk kontrol besok siang, 21 Januari 2011. Saat ini lukanya sudah hampir sembuh, sudah tumbuh kulit tipis baru dan lukanya tidak lagi merah, tapi sudah putih warnanya... Alhamdulillah... Dr. Poengky juga berkata Insya Allah kulitnya akan kembali seperti semula :)

Lesson learnt dari kejadian ini :
  1. Jangan terlalu yakin dengan kondisi "anak sudah mengerti untuk tidak bermain yang berbahaya", karena walaupun demikian, kecelakaan akibat ketidaksengajaan bisa saja terjadi.
  2. Dahulukan pengamanan. Kesalahan saya adalah tidak memprioritaskan dana mengganti dispenser lama yang keran air panasnya tidak bisa di lock dengan dispenser baru yang ada lock untuk keran air panasnya, sedangkan untuk mematikan air panas juga tidak saya prioritaskan karena Ifan dan Fian terbiasa minum air dingin dan jika airnya tidak dingin maka mereka akan sedikit minumnya. Seharusnya saya mencari alternatif solusi keamanan yang lain yang bisa mengcover semua kebutuhan.
  3. Jika memungkinkan, saat terjadi kecelakaan, pergilah ke rumah sakit dan dokter yang memang spesialis menangani jenis kecelakaan tersebut. Percayalah, pada akhirnya akan lebih efisian secara biaya dan lebih baik pula hasilnya. RSAB Harapan Kita memang rumah sakit yang bagus untuk Anak, tapi RSPP ternyata lebih berpengalaman menangani "Luka Bakar" dengan menguliti kulit mati agar kulit baru bisa tumbuh dengan sempurna sehingga luka tidak meninggalkan bekas sama sekali, meskipun kedua rumah sakit tersebut menggunakan obat yang sama :)
  4. Allah memang maha mengetahui, memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan kita. Terbukti yang diberikan luka bakar adalah Fian yang lebih "tahan sakit" dibandingkan Ifan :)
Semoga teman-teman mendapat manfaat dengan sharing saya kali ini... Semoga Allah selalu melindungi keluarga kita... Amin... :)

Jakarta, 20 Januari 2011
Yeni Suryasusanti

Catatan :
  • Nutrimoist adalah salep produksi CNI yang pernah direkomendasikan teman-teman di milis NCC yg biasa bergaul dengan oven dan sejenisnya. Efeknya terasa dingin di kulit.
  • Bactigras adalah kasa berlemak sejenis Sofratul, produksi Smith & Nephew Medical Limited, England, dipasarkan oleh PT. Kalbe Farma Tbk.
  • Mebo adalah salep produksi Shantou S.E.Z. MEBO Pharmaceutical Factory. Beijing Guangming Chinese Medicine Institute for Burn, Wounds & Ulcers, China, diimpor oleh PT. Doxa Manggalya Utama. Harga saat notes ini ditulis berkisar Rp 85.000,-
  • Setelah kontrol ke Dr. Poengky hari ini, Fian diberikan salep Mederma untuk digunakan 2 kali sehari selama 3 bulan. Menurut Dr. Poengky, Insya Allah kulitnya akan pulih kembali dan akan menipis dan hilang sama sekali bekas lukanya dalam 3 bulan :)

Tentang Maaf dan Keikhlasan...


Memaafkan & melapangkan dada memang tdk semudah membalikkan telapak tangan. Tindakan ini memerlukan kerendahan & kebesaran hati. Namun, dlm beberapa kesempatan saya merasakan itulah satu-satunya cara utk menempuh jalan menuju kebahagiaan sejati :)

”Maafkanlah mereka & lapangkan dada, sesungguhnya Allah senang kpd orang-2 yg berbuat kebajikan (terhadap yg melakukan kesalahan kepadanya)” (QS. Al-Ma‘idah : 13)

Kata-kata diatas merupakan kutipan dari status saya kemarin, yang cukup banyak memancing comment dari teman-teman yang menyatakan setuju bahwa hal itu berat, namun sangat indah jika berhasil dijalankan :)

Dalam beberapa kesempatan beberapa teman pernah curhat pada saya mengenai sakit hati.
Ada yang dikhianati pasangan, ditusuk dari belakang oleh sahabat dekat, dan kasus sakit hati sejenis lainnya.
Teman saya bertanya apa yang harus dilakukan, atau apa yang akan saya lakukan jika saya menjadi mereka :)
Jawaban saya pada intinya sama : "Tidak bisa seperti itu, karena saya bukan kamu. Hati dan rasa yang dimiliki setiap orang itu unik. Ada hal yang tidak bisa ditiru."
Namun saya memberikan kuncinya pada teman saya : "Bertindaklah berdasarkan hasil akhir yang kamu inginkan. Boleh menggunakan perasaan, tapi jangan sampai terlalu terbawa dan dikendalikan hanya oleh perasaan."

Pasangan berselingkuh, namun dia menyesal dan kembali padamu. Apakah kembalinya dia padamu worthed untukmu?

Jika ya, maafkan dan ikhlaskan. Kenali tanda-tanda awal perselingkuhan untuk dijadikan pelajaran agar bisa saling mengingatkan sebelum kesalahan besar terlanjur terjadi. Pupuklah selalu cinta dan kasih sayang agar terus bersemi :)
Kalaupun terkadang muncul rasa pahit ketika teringat kembali, simpan sendiri saja. Melampiaskan rasa pahit tersebut kepada pasangan yang sudah menyesal malah hanya akan menimbulkan kepahitan baru, karena manusia berpasangan pastinya mencari rasa nyaman. Jika kepahitan terus kita rasakan bahkan kita pupuk sehingga mempengaruhi pasangan, jangan heran jika akhirnya kesalahan besar kembali berulang.
Lebih baik minta bantuan Allah dengan doa dan dzikir untuk menetralkan hati kembali, untuk dihindarkan dari penyakit hati. Toh pada prinsipnya tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah, dimana kesalahan-kesalahan kecil yang kita buat sehari-hari pun jika dikumpulkan juga akan menjadi banyak ibarat satu kesalahan besar, meskipun juga bukan berarti manusia boleh memanfaatkan kelemahan itu dengan selalu berbuat salah bahkan terus menerus mengulang kesalahan yang sama :D

Namun, jika hatimu sakit dan tidak bisa mengikhlaskan kesalahan yang telah terjadi, ya lepaskan saja dia.
Jangan mengikat sebelah kakinya dengan menerima dia kembali namun terus mengungkit kesalahan yang pernah terjadi. It's not fair. Bayangkan saja jika kita yang berbuat salah, dan kemudian terus dihakimi seumur hidup kita, ibarat hukuman penjara tanpa ada grasi bahkan remisi :(

Jadi, take it, or leave it, not in between. Just simple as that :)

Ada lagi seorang teman yang berbuat kesalahan besar dalam hidupnya. Datang bercerita kepada saya dengan penuh penyesalan. Mengapa begini mengapa begitu, kalau tidak begini kan tidak akan begitu... menangis sambil berkata jika bisa malah ingin kembali ke masa lalu :)

Saya berkata, "Maafkan dirimu sendiri dan ikhlaskan kesalahan yang telah terjadi. Ambil saja pelajaran dari sana. Penyesalan saja tidak akan membuat waktu kembali. Mau jungkir balik kamu menangis pun segalanya tidak akan pernah sama lagi. Keep going, belajar dari kesalahan adalah yang paling penting. Yakin dengan begitu kamu malah akan mendapatkan segalanya menjadi lebih baik lagi..."

Dulu, saya termasuk orang yang pendendam. Jika ada seseorang yang menyakiti hati saya, maka saya akan terus mengingatnya bahkan tidak jarang berusaha membalas sakit hati saya. Hingga pada suatu saat seorang sahabat menceritakan sebuah analogi kepada saya, tentang membawa kebencian di dalam hati  ibarat seseorang membawa buah yang mulai berjamur dan kemudian membusuk, yang pada akhirnya yang menderita karena bau dan ulat yg muncul dari buah tersebut justru si pembawa buah.

"Ngapain coba Yen, loe masih aja inget dengan perasaan pahit, tapi orang yg loe sumpah serapahin tenang-tenang aja menjalani hidupnya, bahkan mungkin inget juga nggak dia pernah bikin loe sakit hati heheheh..." demikian komentar sahabat saya setengah geli.
"Kalo gitu gue bales deh sakit hati gue biar dia nggak tenang2 aja," sahut saya ngeyel.

Sahabat saya menghela nafas panjang dan mulai menceramahi saya. Sungguh kata-katanya masih teringat dengan jelas oleh saya seperti baru kemarin diucapkannya,
"Loe suka nonton film kungfu seri dan baca kho ping hoo kan? Don't you get anything from that films and books? Sekali loe membalaskan dendam loe, loe hanya memancing kesengsaraan lebih besar dan lebih panjang. Iya kalo dia terima dan mengerti kalau itu balasan atas sikap awalnya juga, trus dia say sorry dan selesai. Nah kalo dia malah anggap loe yg nyakitin dia lebih dulu - itu bisa aja kan terjadi loe nggak sadar nyakitin hati orang - dan dia trus merancang balasan yg lebih canggih lagi utk nyakitin hati loe... apa nggak jadi lingkaran setan??? Loe mau menghabiskan hidup loe dengan balas membalas? Atau yg paling minimal membawa kepahitan terus di dalam hati dan membuat hati loe menjadi seperti batu dan akhirnya loe akan menjadi pribadi yang tidak menyenangkan?"

Sejak itulah teman, saya memutuskan belajar untuk berubah. Belajar menjadi wanita yang lebih pemaaf, belajar menjadi pribadi yang lebih easy going dan lebih mudah mengikhlaskan - bukan melupakan. Bukan hanya memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan orang lain, namun juga kesalahan diri saya sendiri.

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Dengan belajar mengikhlaskan - bukan melupakan, saya tetap bisa mengingat akibat dari suatu kesalahan, untuk mengambil pelajaran dari pengalaman pahit yang pernah menimpa saya, namun Insya Allah terhindar dari perasaan pahit yang bisa merusak hati saya.

Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Sungguh sangat banyak hal yang bisa disyukuri dan dinikmati dari kehidupan, meskipun itu terkadang muncul dari kejadian yang menyakitkan.

Di tengah perjalanan hidup ini, ternyata saya mendapati bahwa memaafkan dan mengikhlaskan bukan berarti menang, kalah ataupun seri, belum tentu pula harus diminta terlebih dahulu oleh orang yang menyakiti.
Karena pada akhirnya saya menyadari, hanya dengan memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan yang pernah terjadi entah itu kesalahan orang lain maupun diri sendiri, pada akhirnya saya bisa mendapatkan kedamaian hati menuju kebahagiaan sejati :)

Jakarta, 31 Desember 2010
Yeni Suryasusanti