Senin, 29 Agustus 2011

Ketika Bunda Menjadi Koki :D


Seenak apa pun masakan pembantu, ternyata anak-anak (dan suami tentunya) akan lebih bahagia dan banyak permintaan jika sang Bunda yang "turun dapur" :D

Waktu sahur tanggal 27 Agustus 2011, Yanti - asisten rumah tangga saya - menambahkan menu Mie Rebus dengan kuah yang diperkaya sosis dan bakso.
Kelemahan Yanti adalah dalam menakar, seperti biasa, begitu sahur selesai cukup banyak mie dan kuah yang tersisa. Namun alhamdulillah mie dan kuahnya disajikan terpisah.
Hari itu Yanti mudik, dan siang hari sempat berpikir, ini mie mau diapakan ya? Dibuang jelas sayang dan mubazir, mau dimakan kog tidak menarik lagi :)
Akhirnya dibuat martabak mie jadi-jadian karena tidak punya kulit lumpia :D
Maaf, resep pertama tidak menggunakan takaran seperti resep saya biasanya, karena hanya menggunakan bahan yang ada. Sesuaikan dengan selera aja ya :)

Mie rebus disiram sedikit dengan kuah mie panas, tambahkan daun bawang, tambahkan 2 lembar daging burger di potong kecil-kecil, tambahkan telur yang sudah dikocok lepas secukupnya hingga adonan mie bisa terikat oleh telur, tambahkan garam dan penyedap (jika perlu).
Masak di cetakan kue lumpur dengan api kecil sambil ditutup, balik setelah setengah matang. Jangan lupa di tusuk-tusuk sedikit dengan garpu hingga ke dasar untuk memastikan kematangan di dalamnya.
Jadi pas hanya 8 buah martabak yang habis dalam sekejap karena meskipun hari itu suami sedang tidak berbuka puasa di rumah, tapi sahabat saya - Diah Woro Susanti - mendadak mampir dengan kedua anaknya :)

Kuah mie masih tersisa, saya masukkan tupperwear dan masuk ke kulkas - tetap tidak tega membuangnya :D

Kemarin subuh, saya tanya Ifan, mau dimasakkan apa.
Ifan minta Ayam Masak Kecap resep Bude Fatmah Bahalwan (Resepnya ada di buku Masakan Anti Gagal NCC dan link-nya bisa dilihat di http://www.ncc-indonesia.com/detail.php?aid=543) danTumis Kol Wortel Telur resep turunan Ibu saya, dan buka puasa dengan Martabak Mie ala Bunda lagi :)

So, dear friends, here the recipes :)

Tumis Kol Wortel Telur

Bahan :
1/8 kol, iris tipis
1 buah wortel impor, kupas kulit arinya, potong korek api
2 siung bawang merah, iris tipis
1 butir bawang putih, cincang
1 buah cabe merah, iris serong, buang biji kalau nggak mau pedas
1 cm jahe, kupas, iris tipis
1 lembar daun salam
air panas secukupnya
2 butir telur, kocok lepas dengan garpu
garam dan merica
penyedap (jika ingin)
minyak goreng untuk menumis

Cara Membuat :
  1. Tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum, masukkan cabe, jahe dan daun salam
  2. Masukkan kol dan wortel, aduk, tambahkan sedikit air panas, kecilkan api, masak hingga kol dan wortel layu dan air meresap
  3. Tambahkan garam, merica dan penyedap (jika ingin)
  4. Besarkan api, masukkan kocokan telur, aduk cepat hingga rata dan telur berbutir melingkupi kol dan wortel
Untuk martabak mie kedua, karena memang sudah diniatkan pembuatannya, jadi lebih terencana bahannya meskipun masih menggunakan tambahan bahan makanan leftover hehehe... Akhirnya bisa dibuatkan resepnya... 
Cocok juga untuk bekal sekolah karena cukup padat gizi heheheh...

Martabak Mie ala Bunda Yeni

Bahan :
2 papan mie telor (biasa 1 bungkus isi 3 papan), rebus, tiriskan
2 batang daun bawang, iris halus
1 buah wortel, kupas kulit arinya, parut dengan parutan keju
2 batang sosis sapi, potong kotak-kotak kecil
5 butir telur, kocok lepas dengan garpu
garam dan merica
penyedap (jika ingin)
minyak goreng secukupnya
sedikit sisa tumis buncis, iris halus => kalau nggak ada yg tersisa ya tidak usah ditambahkan hehehe
sisa kuah mie rebus yang sudah berbumbu untuk menyeduh mie yg sudah direbus sesaat sebelum dicampur bahan lain => kalau nggak ada yg tersisa ya tidak usah ditambahkan juga hehehe

Cara Membuat :
  1. Potong-potong mie rebus supaya tidak sulit disendokkan
  2. Seduh dengan sisa kuah mie yang sudah berbumbu, buang sedikit kuah yang berlebih => ganti dengan air panas jika tidak ada kuah mie hehehe, ini hanya agar mie yang sudah direbus tidak kaku lagi sebelum dicampur bahan lain
  3. Tambahkan daun bawang, wortel, sosis, telur, garam, merica dan penyedap (jika ingin), aduk rata
  4. Panaskan cetakan kue lumpur, oles dengan minyak goreng
  5. Tuang adonan mie di setiap lubang, tutup, kecilkan api
  6. Balik mie, tusuk-tusuk sedikit dengan garpu hingga ke dasar, tutup lagi
  7. Angkat begitu matang
Hasil : 17 buah (15 habis saat berbuka puasa, 2 dimakan Ifan dan Ayah saat sahur kesiangan tadi heheheh)

Semua masakan diatas dimasak dengan penuh cinta, dengan ditemani dan "dibantu" Fian (3 th), yang setia berdiri diatas kursi kecil untuk melihat prosesnya, bahkan meminta ikut mengaduk dan membantu mengambilkan telur dari kulkas :D
Maaf, nggak sempat difoto, lagipula cahaya di rumahku nggak bagus untuk menghasilkan foto seperti karya Riana :p *kaburrrr... bletak - alesan, dasar pemalas aja - kata Riana*

Ini foto tahun 2004 ya? Mbak Fat, Riana, Uni Dewi, Eka, Nadrah, Mas Wisnu, kita foto seperti ini lagi yuuukkk hihihihi

Moderator NCC

Jakarta, 29 Agustus 2011
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 27 Agustus 2011

Para Asisten Rumah Tangga dan Idul Fitri 1432 H


Bagi para wanita yang memilih untuk berkarier di luar rumah dan menyerahkan hampir seluruh urusan domestik rumah tangga kepada asisten rumah tangga, beberapa hari menjelang dan pasca Hari Raya Idul Fitri merupakan ujian bagi kemampuan beradaptasi : dari kerja kantoran dan  hanya memanage rumah tangga menjadi kerja rumahan secara penuh :)

Selama ini saya cukup beruntung mengenai asisten rumah tangga. Dengan satu asisten yang menginap - Yanti - untuk berbelanja ke pasar, memasak dan menemani Ifan dan Fian selagi saya belum pulang kerja, dan satu lagi asisten yang datang setiap pagi - Sri - untuk menyapu, mengepel, mencuci dan menyeterika, saya terhindar dari "konflik antar asisten" yang terkadang menyebabkan salah satu memutuskan untuk berhenti bekerja.
Dengan tidak bersama sepanjang hari, kekesalan-kekesalan kecil yang terjadi tidak terlalu memanas karena mereka memiliki hal lain untuk mengalihkan fokus dari perbedaan karakter yang jika dibiarkan bisa menjadi bom waktu.

Yanti dan Sri, kebetulan memiliki kelebihan dan kekurangan di bidang yang berbeda sehingga alhamdulillah mereka bisa saling melengkapi :)
Sesuai dengan bidang yang mereka geluti, Yanti piawai dalam memasak dan betah menemani Fian bermain. Dengan Ifan meskipun kurang bisa berjalan seirama, namun dengan sering membuat masakan kegemaran Ifan sehingga membuat Ifan senang, ketidakcocokan tersebut tidak terlalu sering menjadi masalah :)
Perhatiannya terhadap kebiasaan dan selera makan saya juga luar biasa. Menyiapkan segala kebutuhan rutin saya tanpa diminta menjadi keunggulannya juga, seperti menyiapkan 3 butir kurma dalam plastik klip dan sebotol kecil air mineral setiap hari senin dan kamis ketika saya berpuasa.
Sebagai pengimbang kelebihannya, Yanti cenderung memiliki sifat "moody", juga sedikit "bossy" terhadap rekan kerjanya, disamping memiliki kelemahan dalam hal membereskan, menata, baik kulkas, lemari, dapur dan segala isinya. Intinya beres-beres tidak dilakukan secara rutin serta bahan makanan dan bumbu dapur tidak ditata dengan rapi sehingga "mubazir" akibat adanya bahan makanan yang terlanjur kadaluarsa terkadang terjadi.
Ketika saya punya waktu, maka saya akan mengajaknya untuk membongkar kulkas dan lemari dapur dan mengaudit segalanya. Namun karena keunggulannya bukan di bidang manajemen barang-barang, dalam waktu yang tidak terlalu lama segalanya akan menumpuk dan berantakan kembali :D

Sementara Sri, alhamdulillah memiliki stok kesabaran yang sangat tinggi dalam menghadapi sifat Yanti, mungkin karena faktor usia yang lebih dewasa dan sudah berkeluarga pula :)
Juga sesuai dengan pekerjaan yang saya pilih untuknya, Sri memiliki keunggulan dalam membereskan barang-barang, bekerja cepat dan tidak membuang-buang waktu dengan menonton TV sambil bekerja.
Meskipun terkadang "pelupa", alhamdulillah Sri tidak pernah cemberut jika ditegur atau diingatkan oleh saya :)

Sejak bekerja dengan kami hampir 2 tahun yang lalu, setiap tahun Sri tidak ikut mudik lebaran ke kampungnya di Jawa Tengah.
"Ongkosnya mahal, Bun, mending saya mudik pas Rahma (putrinya) libur sekolah aja..." demikian pertimbangannya.
Dan Sri memanfaatkan ketidakmudikannya dengan menawarkan jasa tenaga Infal maksimal di 3 rumah untuk berberes, mencuci dan menyeterika agar mendapatkan nafkah tambahan. Dia hanya mengambil libur pada Hari Raya Idul Fitri pertama saja. Untuk saya, Sri tidak memberikan tarif, "Terserah seikhlasnya Bunda aja..." katanya.
Jadi, sudah 2 tahun ini saya juga menggunakan jasanya selama Yanti pulang kampung, tetap dengan pekerjaan rutinnya dan terkadang membantu saya memasak untuk Idul Fitri.

Pagi ini, setelah shalat subuh, Yanti pulang ke kampungnya di Bogor.
Seperti biasa, hal pertama yang saya lakukan begitu Sri datang adalah meminta bantuannya untuk membongkar dan membersihkan kulkas sekaligur memeriksa isinya, juga melakukan audit bahan masakan di dapur. Tentu saja tujuan utamanya adalah agar saya bisa menata kulkas dan dapur sesuai keinginan saya, sehingga saya mengetahui dimana letak segalanya dan dengan mudah mengambilnya jika saya membutuhkannya :D

Tepat seperti dugaan saya, begitu banyak bahan makanan yang kadaluarsa. Selai, keju, butter adalah beberapa diantaranya.
Kripik kentang pedas yang tetap di kantong plastik sejak awal dibeli, bolu gulung yang tetap berada di kemasan mika, ayam panggang yang belum habis dimakan, dan berbagai makanan yang awet bertumpuk-tumpuk tidak rapi sehingga tidak terlihat isinya.
Sri mengeluarkan semua isi kulkas dan mencuci bersih kulkasnya. Kemudian saya mulai memeriksa isi kulkas tersebut satu demi satu, dengan bantuan Sri memindahkan makanan yang di kemas dengan koran atau plastik namun tidak diikat rapat ke dalam kemasan kedap udara yang bening agar terlihat apa isinya, membagi makanan yang sudah siap disajikan yang saya rasa terlalu banyak untuk kami sekeluarga konsumsi untuk Sri dan keluarganya, dan dengan terpaksa - dan sangat menyesal karena mubazir - membuang semua yang sudah kadaluarsa :(

Kini, saya siap bekerja di dapur saya yang sudah tertata :)

Namun, bukan hanya tentang audit isi kulkas dan bahan makanan yang ingin saya ceritakan kali ini.
Melainkan rasa haru dan syukur saya karena memiliki kedua asisten yang luar biasa meskipun tak lepas dari kekurangannya.
Sekitar seminggu yang lalu, Yanti menanyakan rencana saya di Hari Raya Idul Fitri. Apakah saya akan berlebaran di rumah, atau menginap di rumah Ibu mertua seperti tahun lalu.
Saya berkata bahwa saya baru akan berkunjung dan menginap di rumah Ibu mertua saya siang hari setelah shalat Idul Fitri.
"Berarti Bunda masak untuk lebaran di rumah dan antar tetangga ya Bun?" tanya Yanti memastikan. Saya mengangguk.
Karena sudah bekerja dengan saya selama 4 tahun, Yanti sudah mengerti tradisi di komplek perumahan kami adalah mengantarkan masakan lebaran kepada tetangga kiri kanan dan depan rumah :)
"Masak opor ayam, sambal goreng hati kentang dan sayur labu untuk kuah lontong nanti ya Bun?" tanya Yanti.
"Iya, nanti kamu giling bumbu aja sama potong-potong bahannya kecuali kentang trus masuk kulkas. Nanti Bunda yang masak. Kalo nggak sempat bikin lontong, nanti paling pesan dengan tetangga Sri..." jawab saya.
Karena kulkas saya memiliki 2 pintu dengan freezer terpisah, saya memang biasa berbelanja bahan sekitar 1 - 2 minggu sebelum lebaran sebelum harga melonjak tinggi, kemudian menyimpan stok ayam / daging / ikan di freezer. 

Hari ini, saat habis sahur, Yanti menghampiri saya di meja makan.
"Bun, lontong udah aku pesan ke mbak Sri, nanti sehari sebelum lebaran diantar, sambal goreng hati kentang sudah aku buat, aku masukkan ke dalam tupperwear di kulkas, opor ayam udah aku masak, aku taruh di 2 plastik dan masuk freezer, sayur labu dengan tetelan juga udah aku buat, aku taruh di 3 plastik dan masuk freezer juga. Udah beku semua. Jadi nanti tinggal Bunda turunkan ke kulkas bawah hari sehari sebelum lebaran, biar nanti bunda tinggal ngangetin aja semuanya... Abis kebayang pasti Bunda repot sama Fian nanti nggak bisa ngapa-ngapain..." jelasnya.

Subhanallah... Alhamdulillah... Wa syukurillah...
Saya tidak akan pernah berkata bahwa saya adalah majikan yang sempurna. Meskipun dalam banyak hal saya mentolerir kekurangan para asisten rumah tangga saya, namun saya juga menetapkan beberapa standard yang cukup tinggi di beberapa prioritas pekerjaan rumah tangga diantaranya pengasuhan anak-anak dan kebersihan ruangan, serta kesopanan dalam berkata-kata terutama ketika di depan anak-anak.
Hanya saja, selama ini saya dididik oleh orang tua saya untuk tidak membedakan status "majikan dan pembantu" dalam pemberian baik itu makanan maupun perlengkapan rutin bulanan.
Mereka makan beras dan lauk pauk yang kami sekeluarga makan, mereka minum air mineral dari dispenser seperti juga kami sekeluarga minum. Jika mereka sakit, mereka juga akan saya berikan obat yang baik, sama seperti anggota keluarga lain jika sakit pula.
Kebutuhan seperti pembalut, sabun, shampo, sikat gigi, odol, lotion, cologne / parfum yang saya masukkan ke dalam "jatah" bulanan Yanti saya belikan sesuai dengan merk pilihannya. Yanti memilih menggunakan Laurier, sabun Lux batangan, shampo Pentene, Pepsodent, Citra dan Pucele untuknya, dan saya memenuhi permintaannya sebagai tanda penghargaan saya padanya.
Saya yakin, setiap keikhlasan dan cinta akan berbuah kebaikan pula...

Jadi, kepada beberapa sahabat yang sempat bertanya kepada saya, bagaimana bisa asisten rumah tangga yang bekerja dengan saya rata-rata masa kerjanya minimal 4 tahun dan begitu pengertian dengan tepat waktu kembali setelah cuti hari raya (Yanti mudik tanggal 27 Agustus 2011 dan akan kembali pada tanggal 3 September 2011 - "Biar Bunda bisa istirahat tanggal 4 sebelum tanggal 5 masuk kerja..." katanya -, maka saya akan menjawab : "Sesungguhnya saya tidak tahu pasti mengapa, namun mungkin karena hati saya menyayangi mereka, dan saya memperlakukan mereka juga dengan penuh cinta..."

Jelang Hari Raya, saya ingin mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H kepada seluruh teman yang merayakan, dan menghaturkan mohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan yang pernah saya lakukan :)

Jakarta, 27 Agustus 2011
Setelah beberes dapur dan sambil menunggu Fian bangun tidur :D
Yeni Suryasusanti

Selasa, 23 Agustus 2011

Memberikan Peringkat Pada Anak, Pantaskah?



Waktu saya masih kecil, Ibu saya sering berkata bahwa meskipun perempuan semua dan lahir dari rahim yang sama, ketiga putrinya tidak seorangpun memiliki sifat yang serupa serta kecerdasan di bidang yang sama.
Secara sifat, kakak pertama terkenal dengan sifat galak dan cueknya, kakak kedua terkenal sifat rajin dan penurutnya, sedangkan saya sebagai anak bungsu terkenal dengan sifat keras hati dan keras kepalanya :D
Mengenai pelajaran sekolah, kakak pertama seingat saya menguasai hampir semua bidang, kakak kedua menyenangi ilmu sosial, dan saya menyenangi pelajaran yang berkaitan dengan angka :)

Namun alhamdulillah kami dikaruniai kedua orang tua yang bijaksana.
Meskipun saya dikaruniai sederet sifat yang kurang baik, Ibu tidak pernah putus asa menghadapi tingkah laku saya.
Masih jelas dalam ingatan saya ketika kami SD, kakak kedua saya selalu menjadi ranking 1 di kelasnya. Kakak kedua saya itu memang sangat rajin, selalu belajar meski tidak ada ulangan dan PR. Sedangkan saya, seringkali hanya mengandalkan ingatan ketika guru menjelaskan pelajaran di kelas. Saya baru belajar hanya jika ada PR dan ulangan heheheh... *Ifan, Fian, jangan ditiru yaaaa...hihihihi*
Ibu selalu berusaha mengangkat semangat belajar saya dengan berkata, "Yeni itu nggak belajar saja sudah dapat ranking 3, kalau rajin belajar seperti Ceu Yes, pasti jadi juara 1!"

Dalam beberapa kesempatan berkumpul dengan teman-teman yang sudah memiliki beberapa anak, saya sempat mendengar beberapa teman berkomentar tentang anak-anaknya, "Anak gue si A itu lebih pintar dari si B. Si A selalu belajar sendiri, nggak pernah tuh nunggu gue ngajarin dia. Si B udah gue ajarin bolak balik sampe gue stress sendiri nggak nangkap juga. Pusiiiinnggg..."
Ya, tanpa sadar, terkadang kita sebagai orang tua memberikan "Peringkat" kepada anak-anak kita secara global :(

Ketika telah memiliki 2 orang putra, saya sendiri pun harus mengakui bahwa ucapan Ibu saya sungguh benar.
Ifan dan Fian, memiliki sifat dan kemampuan yang bisa dikatakan cukup jauh berbeda :)

Mengenai sifat, hingga saat ini (pada usia hampir 11 th) Ifan cenderung memiliki bersifat penurut. Ifan selalu berkata "Iya, Bunda..." atas instruksi saya meskipun terkadang berlama-lama dalam pengerjaannya, dan tidak pernah berkata "Tidak mau, Bunda...", meskipun rasa tidak suka terlihat nyata dari ekspresi wajah dan nada suaranya :D
Sedangkan Fian (yang saat ini berusia 3 th), sepertinya akan tumbuh menjadi anak yang sangat tegas :D
Fian akan berkata "Tidak mau, Bunda..." jika tidak setuju, dan baru berkata "Oke, Bunda..." jika setuju dengan instruksi yang saya berikan.

Mengenai cara belajar, Ifan dan Fian pun memiliki cara berbeda.
Ifan cenderung belajar dari literatur. Dia akan menyerap informasi dari yang dibaca baik itu dari ensiklopedi dan majalah atau yang didengar dari saya, suami saya, guru atau lainnya, kemudian mengkorelasikannya dengan kesimpulan akhir.
Ketika saya pergi membesuk salah seorang teman yang sedang baru menjalani tindakan ESWL di RS Premier Jatinegara sepulang dari kantor, Ifan menghubungi saya melalui telepon menanyakan mengapa saya belum tiba di rumah :D
Saya berkata bahwa saya membesuk teman yang sedang sakit.
"Sakit apa, Bun?" tanya Ifan.
"Sakit akibat kurang minum," jawab saya secara tidak langsung.
"Oh... sakit ginjal ya Bun," Ifan seketika menarik kesimpulan.
Cukup mengejutkan saya, karena Ifan ingat peringatan yang saya sering sampaikan karena Ifan sering malas minum air putih. Memang ketika naik ke kelas 5 Ifan meminta mengambil ekskul Dokter Kecil :)

Fian, terlihat mulai ahli dengan learning by doing. Rasa penasaran mendorongnya untuk tidak putus asa berusaha meski awalnya menemui kegagalan. Dengan motorik yang sangat bagus, Fian mampu membongkar dan memasang kembali segala benda kecil yang dieksplorasinya tanpa minta diajari. Senter, Tutup botol, remote TV dan lain-lain. Dalam beberapa kesempatan Fian menyerah setelah beberapa lama berusaha, memberikan barang yang sedang dieksplorasinya kepada saya, "Bunda aja deh yang pasang," namun dengan cermat dia memperhatikan saya merakit kembali barang yang telah dibongkarnya. Tak lama kemudian Fian akan kembali membongkar barang tersebut, dan secara luar biasa berhasil merakitnya kembali :)

Sedangkan Ifan, yang motoriknya memang kurang baik dibanding anak seusianya, seringkali cepat putus asa dalam merakit dan mengandalkan contoh tindakan langsung dari saya, bahkan terkadang meminta saya saja yang memasang kembali sesuatu yang tidak berhasil dipasangnya.
Ketika laci Ifan patah rel-nya, sebenarnya laci tersebut masih bisa menutup, namun dengan sedikit trik :)
Beberapa kali mencoba menutup laci dengan rapat dan gagal, Ifan menyerah dan berkata, "Ifan nggak bisa, Bun..."
Mencoba mendidik Ifan tidak mudah putus asa, saya berkata, "Ifan perhatikan cara Bunda ya... Bunda kasih contoh bahwa memang laci ini bisa ditutup, trus Ifan coba sendiri lagi. Jika berhasil, khusus hari ini boleh main game di facebook setelah belajar. Tapi kalau nggak bisa ya facebooknya seperti biasa di akhir minggu..." :D
Saya kemudian memberikan contoh dengan perlahan bagaimana trik menutup laci itu, dan segera menarik laci kembali hingga terbuka sambil tersenyum.
Setelah beberapa kali berusaha sambil mengingat cara yang saya contohkan, Ifan berhasil menutup lacinya :D

Kesamaan sifat Ifan dan Fian adalah mereka suka "membela" teman. Namun, caranya berbeda :D
Fian membela secara spontan. Jika ada yang disakiti, maka Fian saat itu juga akan membela atau membalaskan tindakan yang menyakitkan orang yang dibelanya.
Sedangkan Ifan, menggunakan cara yang berbeda. Pernah waktu kelas 2 SD, saya dihubungi guru wali kelasnya melalui telepon. Ifan berkelahi dengan salah seorang siswa. Awalnya terkesan Ifan yang mulai terlebih dahulu. Namun ternyata ketika ditelusuri penyebabnya, Ifan memukul karena pada pagi harinya teman Ifan ada yang diganggu oleh siswa tersebut. Karena siswa itu berbadan cukup besar, dan teman yang diganggu tidak berani bertindak, Ifan membalaskan sakit hati temannya. Hanya saja, Ifan menunggu siswa tersebut lengah. Akhirnya, keduanya sama-sama dihukum menulis :D
Saya menjelaskan kepada Ifan, meskipun dari sisi strategi memang dibutuhkan perencanaan, namun ada perbedaan dari sisi hukum ketika hal itu menyangkut pembelaan diri secara spontan atau membalas dengan perencanaan :)

Kembali kepada "Peringkat", saya tidak akan pernah bisa membandingkan mana yang lebih pintar ataupun hebat : Ifan atau Fian. Mereka tidak bisa dibandingkan, karena pembandingnya bukan apple to apple. Masing-masing memiliki keunggulan di bidang yang berbeda.
Apalagi tidak pintar pun bukanlah sebuah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan Ifan dan Fian seharusnya menjadi pemacu bagi saya dan suami untuk lebih mencintai dan membantu mereka, bukan malah merendahkan dan menghakimi.

Jangan pernah melupakan dahsyatnya doa orang tua, terutama doa seorang Ibu. Jadi, daripada kita memberikan peringkat dan mengeluhkan anak-anak kita, bukankah lebih baik jika kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengajari dan mendoakan mereka? Insya Allah kita bisa :)

Jakarta, 23 Agustus 2011
Yeni Suryasusanti

Jumat, 19 Agustus 2011

Cinta...



Jika engkau bertanya
mengapa aku mencintaimu
mungkin tak akan bisa 
terangkum kata-kata dari bibirku

Jika engkau bertanya
mengapa aku selalu berucap rindu
mungkin aku hanya bisa
terpaku dan kemudian memeluk dirimu

Jika engkau bertanya
apakah aku siap berkorban
maka aku akan berkata
cinta memang butuh pembuktian

Meski beratus puisi cinta dan rinduku
bagai tenggelam di dasar lautan biru
seolah tak kau perdulikan ungkapan hatiku
namun rasa cinta yang terpancar di sorot matamu
mengingkari kesan ketidakpedulian itu

Duhai kekasih hati,
setiap sentuhan darimu sungguh berarti
meski tanpa kata-kata yang melambungkan hati
karena kupahami, 
bagimu cinta bukan hanya sekedar janji

Semoga Allah merestui
cinta suci dari lubuk hati
dan izinkan kita menapaki hari demi hari
hingga kita sama-sama tua nanti
sampai ajal datang menjemput diri...

Jakarta, 19 Agustus 2011
Saat merindukan dirimu,
Yeni Suryasusanti

Senin, 08 Agustus 2011

"Tumben..."



Bulan Ramadhan biasa digunakan orang untuk latihan memperbaiki diri. Mengapa?
Karena jauh lebih mudah memperbaiki diri secara "berjamaah" daripada melakukannya sendiri :)
Tulisan yang singkat ini saya buat dengan maksud menyampaikan sedikit pengingat bagi teman-teman yang "telah baik" untuk mempermudah teman-teman lain yang "masih dalam proses" perbaikan diri. Hanya dengan menghilangkan satu kata sederhana, dan menggantikannya dengan kata lain yang jauh lebih bermanfaat...

Berkaca dari pengalaman diri sendiri, ada satu kata yang paling tidak saya senangi ketika saya mulai belajar memperbaiki diri.
Kata sederhana namun sarat dengan "pukulan" sehingga mampu menyurutkan semangat dengan sangat efektif setiap kali kata tersebut diperdengarkan.
Kata tersebut adalah "Tumben..." yang sering diungkapkan orang lain ketika kita melakukan "tindakan yang tidak biasa kita lakukan".

Sebenarnya memang seringkali kata tersebut terlontar secara spontan, tanpa ada maksud apa-apa dari orang yang mengatakannya. Namun, bayangkan jika hanya dengan komentar tersebut orang yang semula ingin berubah menjadi lebih baik langsung merasa "malu" karena baru menyadari bahwa perbuatannya yang kurang baik selama ini ternyata diperhatikan oleh teman-temannya. Padahal selama ini tidak ada yang "mengingatkan" dirinya untuk memperbaiki diri ketika masih menjalankan kebiasaan yang kurang baik tersebut. Akibat rasa malu dan segan jika dikomentari oleh teman lain dengan kata yang sama, akhirnya orang tersebut surut untuk istiqamah memperbaiki diri :(

Beberapa contoh akibat dicetuskannya kata "Tumben..." apalagi dengan diikuti cengiran lebar dan kedipan mata menggoda pernah saya lihat - bahkan beberapa pernah saya rasakan sendiri - bisa saya sebutkan disini...
  • Beberapa teman yang semula jarang melaksanakan shalat, biasanya di bulan Ramadhan menjadi rutin melaksanakan shalat. Kata "Tumben..." bisa membuat mereka memutuskan berhenti melaksanakan shalat. Pun jika tidak se-ekstrim itu maka mereka terpaksa memilih waktu dimana mushalla sedang tidak ramai agar terhindar dari komentar yang membuat mereka merasa malu.
  • Beberapa orang dan mungkin termasuk saya, yang terkadang "melalaikan shalat" karena merasa "tanggung" dengan pekerjaan, di bulan Ramadhan ini terpanggil untuk berusaha melakukan shalat di awal waktu. Kata "Tumben..." yang dilontarkan bisa membuat kita segan dan kembali shalat di tengah waktu seperti sebelumnya.
  • Seorang wanita yang ingin memperbaiki penampilan agar lebih rapi dan enak di pandang mata bisa jadi surut semangatnya dan kembali berpenampilan "seadanya" bahkan "berantakan" akibat mendengar kata "Tumben..." diucapkan baik oleh teman maupun oleh pasangan.
  • Seorang anak yang ingin meningkatkan nilai dengan belajar di hari libur bisa langsung berhenti berusaha ketika usahanya yang sebenarnya sangat luar biasa mendapatkan hadiah kata "Tumben..." terutama dari orang tuanya sendiri.
Dan masih banyak lagi...

Karena pernah merasakan efek tidak nyaman akibat mendengar kata "Tumben..." diucapkan, saya kemudian berinisiatif untuk menggantikan kata tersebut dengan kata "Alhamdulillah..." dan diikuti dengan senyuman bahagia yang tulus untuk digunakan jika memang perlu mengomentari perubahan sikap orang-orang disekeliling saya dari yang kurang baik menjadi baik :)

Saya tidak berkata bahwa kata "Tumben..." harus dihilangkan dari perbendaharaan kata-kata kita sehari-hari.
Hanya saja, saya lebih memilih menggunakan kata "Tumben..." tersebut justru pada kondisi perubahan sikap dari yang baik menjadi kurang baik. Tentu saja dengan tujuan menimbul efek "tersindir" bagi orang yang melakukan hal yang kurang baik tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa malu dan kembali melakukan hal baik seperti biasanya :)

Mungkin ada banyak teman yang kurang setuju dengan himbauan ini. Karena bukan mustahil mereka yang terbiasa mengucapkan kata "Tumben..." ketika temannya ingin memperbaiki diri akan berargumentasi dengan berkata "Jika memang mereka benar-benar berniat memperbaiki diri, seharusnya mereka tidak dengan semudah itu terpengaruh dan surut semangatnya hanya karena satu komentar saja."

Hal tidak saya sangkal sepenuhnya. Benar, memang seharusnya demikian. Dan sudah bukan menjadi rahasia bahwa jauh lebih sulit dan besar tantangannya ketika kita ingin memperbaiki diri daripada ketika kita melakukan sesuatu yang mengakibatkan kehancuran diri sendiri.
Namun, bukankah lebih indah jika kita sama-sama mempermudah setiap insan yang ingin memperbaiki diri?
Semoga dengan demikian dunia ini akan lebih cepat menjadi tempat yang lebih baik, lebih nyaman dan lebih indah untuk kita huni sementara ini...

"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya."
(QS. Al-Maaidah : 2)

Jakarta, 8 Agustus 2011
Yeni Suryasusanti