Sabtu, 07 April 2012

Ketika Nilai Akademis Menjadi "Raja"




Bulan lalu, pada hari Senin malam, saya mendapat sms dari salah seorang teman yg putranya sekelas dengan Ifan di sekolah. Ternyata ada seorang anak yang sering melakukan bullying. Tingkah anak tersebut sudah membuat suasana tidak nyaman bagi seluruh siswa di kelasnya. Dan... Ternyata korban yang bisa dikatakan paling sering di-bullying adalah Ifan!

Memang sejak tahun 2006 merasa kehilangan adik perempuannya karena meninggal dunia akibat ensefalitis, Ifan berubah menjadi anak yang sensitif dan halus perasaannya (dan akibatnya mudah menangis). Jangankan pukulan, kata-kata mengandung ejekan atau bernada keras kemarahan saja bisa membuatnya menangis terisak-isak. Apalagi karena di rumah kami tidak terbiasa saling mengejek atau berkata kasar.
Saya menyadari sejak awal, Ifan akan sering mendapat gangguan akibat mudah meneteskan air mata. Predikat "anak cengeng" hampir pasti akan disandangnya. Saya membiarkan Ifan menghadapi ejekan selama masih cukup wajar dan tidak berlebihan, sesekali mengajarinya bagaimana merespon sebuah ejekan, tapi saya hampir tidak pernah "terjun langsung" untuk membelanya hanya untuk menghadapi ejekan khas anak-anak. Dan ternyata memang seiring berlalunya waktu akhirnya Ifan menjadi "sedikit lebih tegar".


Malam itu saya bertanya pada Ifan, apa saja yang dilakukan oleh temannya kepada seluruh teman sekelas termasuk Ifan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
"Dia sering main GTA Bun... jadi ngomongnya kasar kayak GTA gitu..." demikian sepenggal informasi dari Ifan.
"GTA? Apaan tuh?" tanya saya bingung.
"Itu game PS yang jadi pencuri itu lho... merampas mobil dan motor orang lain dalam rangka menghindari kejaran polisi... Nah, kata-katanya kasar seperti dalam game itu..."
Wah, ada game seperti itu? *Bunda kuper nih*
Ifan punya PSP tapi tidak punya game yang aneh-aneh di PSP-nya karena suami saya ikut memilihkan game saat pertama kali membeli.
"Kata-katanya kasar gimana sih?" saya masih penasaran.
"Mmmmm.... maaf ya, Bun... Kata-katanya itu 'Shit, Fuck dan Asshole' gitu lho..." kata Ifan hati-hati.
HAAAAAA??? Astaghfirullah...
Selain itu, dengan nada biasa, Ifan bercerita bahwa dulu awalnya mereka pernah dipukul dan ditendang, bukan hanya anak laki-laki, tetapi anak perempuan juga, tetapi belakangan hanya berkata kasar dan ejek-ejekan saja. Ternyata Ifan yang menangis jika perasaannya terluka merupakan sasaran yang menyenangkan bagi temannya itu. Tapi menurut Ifan, kondisi tidak menyenangkan ini akhirnya membuat para korban bersatu. Jadi, setiap kali ada yang mulai diganggu atau ada yang mulai menangis (termasuk Ifan), maka teman-temannya segera melaporkan kepada guru sebelum gangguan itu berkembang jadi kontak fisik, sehingga si pelaku bullying langsung diberi peringatan atau sanksi, dan mereka segera didamaikan kembali.


Saya menatap Ifan lama. Kemudian saya berkata dengan sungguh-sungguh,
"Ifan, bunda tahu, bagi Ifan begitu teman yang berbuat salah dikenakan sanksi dan meminta maaf - entah itu karena tekanan guru ataupun karena kesadaran sendiri - maka bagi Ifan masalahnya sudah selesai. Bunda bahagia Ifan bisa begitu pemaaf. Meski hampir setiap hari diganggu, setiap kali setelah didamaikan maka Ifan mau bermain kembali. Bunda juga tahu, Ifan nggak cerita pada bunda karena mengganggap itu bukan masalah lagi, toh dia sudah dihukum dan meminta maaf. Bunda nggak sepenuhnya menyalahkan Ifan, karena bunda juga tahu Ifan ingin belajar mandiri. Tapi mulai sekarang, bunda ingin Ifan belajar 'curhat' pada bunda, bukan hanya cerita soal yang menyenangkan saja. Jangan buat bunda menjadi 'orang yang paling terakhir mengetahui apa yang terjadi pada anak bunda sendiri'. Bunda akan mengatur waktu dengan lebih efisien lagi agar ada waktu curhat untuk Ifan. Bunda tidak akan ikut campur jika memang nggak perlu. Tapi bunda bisa mengingatkan dan mengajari Ifan jika perlu. Ifan janji?" tuntut saya.
"Iya, bun, Ifan janji," kata Ifan sambil menunduk.
Saya pun memeluknya.


Hari Selasa pagi, memang saya sudah izin datang terlambat karena ada keperluan pribadi ke Bank. Siangnya ada rencana meeting dengan client penting dan saya harus ikut hadir karena berkaitan dengan invoice yang akan diterbitkan.
Family matter comes first, akhirnya saya mengajukan izin dadakan cuti setengah hari untuk menemui teman saya. Rencananya, jika meeting jadi diadakan maka saya akan langsung menuju lokasi meeting dari tempat pertemuan.
Dari teman saya, saya mendapat informasi tambahan yang membuat saya gemas bercampur iba.


Ternyata, si pelaku bullying sebenarnya termasuk anak yang cerdas, dengan nilai total yang tinggi meskipun bukan tertinggi di kelas. Dia juga sangat dekat dengan ibunya, dengan sikap yang jauh berbeda ketika berada di rumah dan di sekolah. Mendengar penuturan teman saya rasanya seperti menonton film "Petualangan Sherina" dimana tokoh "Sadam" yang merupakan "anak nakal" penindas teman di sekolah ternyata merupakan anak mama di rumahnya :(


"Nilai Akademis adalah yang utama. Yang penting nilai kamu bagus, masalah lain biar papa yang membereskan." Demikian nilai yang ditanamkan oleh ayahnya.
Sang ayah juga dulu dengan penuh emosi menghadap kepala sekolah, memprotes saat sistem ranking dihapuskan dari kebijakan akademis sekolah.
Setelah sistem ranking dihapus, sang Ibu pun mungkin tidak lepas dari tekanan. Bertanya ke kiri dan kanan, kepada orangtua teman-teman putranya berapa nilai mereka saat ujian dan latihan, sebagai pembanding nilai putranya.
Sempat saya berkomentar, "Capek amat? Bukankah lebih sederhana cukup berpatokan dengan KKM dan kemudian berusaha meraih nilai semaksimal yang kita bisa saja?"


Satu informasi lagi yang membuat saya ternganga, yaitu reward berupa uang tunai senilai Rp 100.000,- untuk setiap nilai 100 atas ulangan harian yang didapatkannya, dan Rp 10.000,- untuk nilai 100 pada setiap latihan di buku latihan sekolah akan diperolehnya dari sang ayah.
(Saya memahami, bahwa salah satu cara untuk mendongkrak semangat anak kita adalah dengan memberikan reward. Saya juga tidak punya hak untuk menyalahkan pilihan orang tua anak lain mengenai cara mendidik buah hati mereka meskipun bagi saya nilai uang tersebut di atas cukup berlebihan, apalagi jika dibandingkan dengan saya yang bisa dibilang tidak pernah memberikan reward berupa uang tunai kepada Ifan. Pelukan hangat, ciuman dan usapan tangan di kepala, membelikan buku kesukaannya dan sesekali mainan, merupakan beberapa contoh reward yang selalu saya berikan padanya.)
Katanya juga, sang Ibu ketika diberi masukan oleh wali kelas dan orangtua anak lain yang juga teman-teman ibunya malah bertahan dengan berkata, "Anak saya tidak ada masalah. Dia baik-baik saja di rumah. Jika dia di sekolah dikatakan berlaku tidak baik, berarti kesalahan ada pada sekolah dan teman-temannya di lingkungan sekolah karena saat berada di sekolah dia menjadi tanggung jawab sekolah."


Wow!!! Takjub saya terbelalak sambil berkata, "Denger-denger katanya yang dimintai tanggung jawab di akhirat itu orangtua deh, bukan pihak sekolah... Jadi menurut gue dimanapun dia berada ya anak itu tanggung jawab orangtuanya 24 jam lah..."


Teman saya bertanya tentang Ifan, apakah dia stress dengan gangguan dari temannya tersebut.
Saya berkata jujur, "Alhamdulillah, nggak. Ifan memang perasa, tapi dia juga pemaaf, bahkan mungkin bisa termasuk kategori anak yang easy going. Dia cerita soal temannya itu juga nggak dengan nada benci kog."
Untung juga, jadi Ifan nggak sampai mogok sekolah gara-gara dibullying, pikir saya dalam hati.
Dan alhamdulillah, menurut laporan teman saya tersebut, ternyata Ifan dalam minggu itu terlihat sudah mulai berhasil mempertahankan diri.


Siang itu, saya mendapat kabar dari kantor bahwa meeting dengan client ditunda. Besok jam 10 pagi meeting baru akan dilaksanakan.
Merasa Allah mendukung pilihan saya mengutamakan keluarga, saya minta izin cuti setengah hari saya diperpanjang menjadi 1 hari penuh.
Saya ingin ke sekolah, agar mendapat gambaran persoalan secara utuh dari keterangan semua pihak : dari Ifan, dari orangtua anak lain, dan dari pihak sekolah.


Alhamdulillah, dari pihak sekolah, saya mendapat gambaran yang serupa dengan penggambaran Ifan : berupa fakta, netral, tanpa emosi yang membuat bias.
Meskipun dengan gemas sang wakil kepala sekolah sempat berkata bahwa beliau terkadang gregetan karena Ifan terlalu mudah memaafkan hanya dengan satu kali permintaan maaf yang terkadang dirasa terlalu ringan oleh beliau. Karena kalau sang korban sudah tidak masalah, memang akan sedikit sulit bagi pihak sekolah untuk memperpanjang masalah tersebut agar pelaku bullying jera.
Saya berkata kepada beliau, bahwa memang ini sebuah dilema, tapi selama ini saya memang mengajarkan Ifan untuk menjadi anak yang pemaaf. Hal ini semata-mata karena saya tidak ingin Ifan berlarut-larut terpenjara dalam dendam sehingga melupakan bahwa hidup terus berjalan. Saya tidak ingin mengoreksi ajaran tersebut, hanya kelak akan mengajarkan bahwa meskipun kita sudah memaafkan dan mengikhlaskan, namun terkadang perlu untuk tidak melupakan agar bisa lebih berhati-hati di masa yang akan datang.


Menyimpang sesaat dari kasus Ifan, beberapa orang mungkin tidak setuju dengan pendapat saya di atas. Hal ini bahkan pernah dibuat menjadi syair sebuah lagu.
Lagu The Past oleh Ray Parker Jr :
"Didn't anyone tell you yet
That to forgive is to forget
How can you be mad if you don't remember..."
Tapi saya membuktikan sendiri bahwa memaafkan tanpa melupakan itu mungkin. Karena setelah saya memaafkan, saya bisa mengingat "kesalahan" orang lain kepada saya dengan tanpa kebencian, hanya sebagai pengingat untuk lebih berhati-hati, sebagai antisipasi. Kata kuncinya adalah dengan menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna, dan saya pun pernah berbuat salah pada orang lain :)


Saya berkata kepada beliau bahwa saya tidak akan ikut campur mengenai cara sekolah mendidik anak-anak di sekolah.
Tapi lain kali, saya minta segera diberitahu jika sampai terjadi kontak fisik sekecil apapun (meskipun tanpa ada luka yang terlihat) agar kami bisa lebih waspada, bisa mengantisipasi jika ada masalah yang mungkin memerlukan penanganan medis.
Namun, jika hanya terjadi adu verbal, tidak masalah jika sekolah tidak memberitahu saya, saya akan berusaha menggali informasi tersebut nanti dari Ifan.
Mengenai masalah anak yang melakukan bullying ini, saya mempercayakan kepada pihak sekolah dan siap ikut membantu jika memang dibutuhkan.


Semua masalah ini, membuat saya teringat salah satu tulisan Bp. Adriano Rusfi. Tentang pendidikan anak dan rumah yang hendaknya dijadikan sebagai dapur yang meramu kepribadian anak, bukan sebagai etalase yang memajang anak hanya agar terlihat hebat.
Karena ketika rumah dijadikan etalase bagi kepribadian anak, maka saat berada di rumah anak-anak kita akan menjadi pribadi yang manis luar biasa, namun ketika di luar rumah, bisa jadi mereka membuat orang lain binasa.
Saya - dan mungkin cukup banyak orangtua lain - juga berani menyatakan, bahwa nilai akademis bukanlah segala-galanya. Masih banyak nilai-nilai lain dalam kehidupan yang juga penting kita tanamkan kepada anak-anak kita.

Terbukti dalam kasus bullying di sekolah Ifan :
Ketika nilai akademis menjadi "Raja", dan nilai akhlak dikesampingkan sehingga menjadi tidak lagi bermakna, maka akan hadir generasi muda yang "cerdas" namun berpotensi menjadi seorang "penindas"...

Semoga anak-anak kita tidak demikian.

Jakarta, 7 April 2012
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar