Jumat, 18 Mei 2012

Berharaplah Hanya Kepada Allah...



"Bib bib..." suara sms masuk di HP saya pagi itu.
Mengerutkan kening, saya membaca nama pengirimnya, ternyata dari seorang teman yang jarang kontak. Wah, ada apa ya?

"...... sayang, maaf ya belum bisa ketemu sekarang. Nanti sore aja ya kita ketemu di XXI .... jam ...."

Saya tertegun. Teman saya, laki-laki yang sudah menikah, yang saya kenal istrinya, yang  terlihat memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarga, ternyata salah mengirimkan sms janji temu ke nomor saya. Nama yang tercantum di sms bukan nama istrinya, dan imbuhan "sayang" yang dituliskan membuat saya mengerenyitkan kening dan menghela nafas bimbang.
Tidak mungkin saya ikut campur dalam kehidupan pernikahan mereka. Namun, memang sebuah dilema ketika kita menjadi saksi sebuah hubungan yang berpotensi menggambarkan perselingkuhan.

Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan membalas sms nyasar tersebut.
"...., loe salah kirim sms ke hp gue."

Tak lama, ada sms masuk lagi, "Masa? Sms yang mana?"
Saya balas, "Cek sent items deh. Sms yang janji ketemu sore ini di XXI .... dengan .... sayang."
Balasan segera masuk, "Wah... Sorry ya, Yen... Ketahuan deh, yang penting bukan gue yang memulai... hehehehe...."
Saya mengakhiri sms tersebut dengan kalimat, "Semoga nggak mengakibatkan kehancuran rumah tangga ya..."

Setelahnya, saya berpikir.
Setia, siapa lagikah yang punya?
Rasa percaya yang membabi-buta, apakah selalu pengkhianatan yang mengakhirinya?
Entah sebagai pemrakarsa ataukah hanya mengikuti arus permainan saja, adakah itu berbeda?

Pernikahan. Hubungan lahir batin yang telah dihalalkan Allah dengan ijab kabul. Yang oleh banyak orang bijak dikatakan harus dilandasi dengan rasa saling percaya dan saling menjaga.
Namun, ketika setan yang bercokol di hati manusia ikut bicara, berapa banyak hati yang akan hancur terluka?

Banyak teman pernah bertanya, "Mbak, kelihatannya mbak mempercayai suami mbak sepenuhnya ya?"
Saya menjawab sedikit heran, "Lho, emang kelihatan seperti itu kah?"
"Iya.... Kan mbak membiarkan suami membawa kunci rumah, mengizinkan suami tetap ikut berbagai kegiatannya sering sampai malam, bahkan pergi ke luar kota untuk kegiatannya..." jelas teman saya.
Saya pun tertawa, "Ya, membawa kunci rumah itu kesepakatan kami agar suami tidak perlu mengganggu tidur saya dan anak-anak jika pulang malam, karena suami mengerti saya harus bangun pagi untuk menyiapkan Ifan sekolah dan bersiap untuk bekerja. Saya sendiri juga cukup ada kegiatan diluar kehidupan rumah tangga meskipun sangat jarang harus menginap dan pulang lewat waktu. NCC dan kumpul-kumpul dengan teman Paskibra 78 diantaranya. Selama keluarga masih jadi prioritas utama rasanya kegiatan lain nggak ada salahnya..."

"Jadi, apakah mbak mempercayai suami sepenuhnya?" tanya teman saya lagi.
Saya menjawab, "Tentu saja tidak, saya tidak se-naif itu, tapi saya juga tidak mencurigainya."
"Emang bisa begitu, mbak?" tanya teman saya ragu.

Saya pun tercenung sambil mengingat-ingat. 
Ya, bisa, tapi memang saya perlu waktu cukup lama hingga bisa sampai di titik ini hanya untuk menemukan sesuatu yang ternyata begitu sederhana meskipun pengaplikasiannya tidak terlalu sederhana. Perlu manajemen hati, logika dan emosi yang luar biasa.

Praduga Tak Bersalah, sesederhana itu saja. Dia setia hingga terbukti sebaliknya.

"Apakah itu bukannya sama saja dengan tidak peduli dan menutup mata?" demikian beberapa orang menyampaikan pendapatnya.

Tentu berbeda. Kita tetap mengaktifkan sensor rasa. Kita tetap mengamati dan menganalisa setiap perubahan sikap yang terjadi di depan mata. Ketika ada perubahan yang mengaktifkan alarm di kepala dan hati, kita seharusnya memberikan peringatan dengan cinta pada belahan jiwa agar tidak tergelincir ke jurang dosa. Inilah yang disebut saling menjaga.

Berharap pada pasangan hidup agar tetap setia? Maka bersiap-siaplah untuk kecewa.
Pada akhirnya, ketika saya memahami arti himbauan : "Berharaplah hanya kepada Allah...", saya memohon kepada Allah untuk menjaga hati kami berdua.

"Masa hanya dengan itu maka pernikahan pasti selamat dari orang ketiga?" tanya seorang teman dengan nada sedikit mencemooh dan tidak percaya.

Mungkin tidak. Namun jika ternyata Allah memberikan ujian sebaliknya, maka hati kita tidak akan hancur lebur karenanya. Terluka, pasti iya. Namun Insya Allah akan pulih kembali - setelah melakukan introspeksi diri dan menentukan bersama langkah selanjutnya yang harus kita lakukan berdua - jika kita berpegang pada kalimat Allah mengetahui apa-apa yang terbaik bagi umatnya. Karena kita berharap kepada Allah, bukan berharap pada belahan jiwa...

Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir, wa la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim...
(Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung, Dialah sebaik-baik wali dan sebaik-baik penolong, dan tidak ada daya upaya kecuali dari Allah yang Maha Tinggi dan Agung)

Jakarta, 18 Mei 2012
Ketika menjadi saksi bisu...
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar