Selasa, 26 Juni 2012

Dunia vs Akhirat :)




Masih tentang Ifan :) 


Liburan kenaikan kelas tahun ini, rencananya Ifan dan kedua orang sepupunya akan berangkat bersama kedua orangtua saya. Alhamdulillah, rizki Ifan untuk lebih dulu melakukan perjalanan umroh ke tanah suci. Selamat ya Nak, doakan Ayah dan Bunda segera menyusul untuk berhaji :) 
Namun, seperti yang pernah saya dengar dari cerita-cerita tentang tanah suci, mereka berangkat dalam rangka memenuhi "undangan" Allah, sehingga terkadang ada saja kendala yang bisa menyebabkan kegagalan/penundaan untuk memenuhi "undangan" tersebut. 


Sehari sebelum keberangkatan, kami mendapat kabar dari travel biro bahwa 16 orang peserta umroh gagal berangkat karena visanya belum keluar. Sedangkan dari 5 orang di keluarga kami yang akan berangkat, hanya Ibu saya yang mendapatkan visa. Papa, Ifan, dan kedua sepupunya sampai saat itu tidak mendapatkan visa. 
Hanya ada 2 pilihan : batal berangkat atau mengganti jadwal keberangkatan yang semula tanggal 24 Juni - 3 Juli 2012 menjadi ke tanggal 5 - 13 Juli 2012 atas tawaran pihak travel biro, agar mereka punya waktu lebih leluasa untuk mengurus visa. 
Hal ini menjadi sebuah dilema, karena Ifan dan kedua orang sepupunya sudah harus masuk sekolah tanggal 9 Juli 2012. Pergeseran jadwal tersebut berarti mereka semua harus "izin" sekolah selama seminggu penuh di awal tahun ajaran dan dengan demikian konsekuensinya adalah mengejar ketinggalan pelajaran sekolah begitu mereka masuk nanti. 


Kalau saja sekolah saat ini masih seperti zaman kita dulu, dimana di awal minggu tahun ajaran hanya merupakan orientasi saja, mungkin tanpa pikir panjang kami semua akan menyetujui pergeseran jadwal tersebut. 
Ifan saat ini naik kelas 6, kedua orang sepupunya naik kelas 4 dan kelas 3 SMA. 
Sepupu yang tertua serta merta memilih membatalkan keberangkatan, karena tidak ingin menanggung resiko ketinggalan pelajaran selama seminggu, yang pasti akan cukup berat mengejarnya. Mau ujian gitu lho.... 
Ketika saya menyampaikan berita ini kepada suami untuk menanyakan pertimbangannya, suami saya dengan sederhana berkata, "Tanya pada Ifan, biarkan Ifan yang memutuskan." 


Sebelum bertanya kepada Ifan, saya bertanya kepada diri saya sendiri. Mana keputusan yang terbaik bagi Ifan? 
Tahun ini Ifan kelas 6. Selama ini, tanpa pernah membolos, nilai pelajaran sekolahnya asli biasa-biasa saja. Tetap dengan nilai di atas KKM sih namun belakangan malah cenderung di bawah rata-rata kelas meskipun amazingnya jika ditanya secara lisan, maka Ifan akan bisa menjelaskan dengan lancar :D 


"Ah, masih SD ini lah... Masih awal tahun ajaran pula... masih panjang waktunya untuk kejar materi ujian kelulusan..." suara kecil di kepala berkata. 
"Tapi kalau materinya nggak terkejar gimana? Tahu sendiri Ifan terkadang sulit konsentrasi belajar kecuali untuk pelajaran favoritnya..." suara kecil lain bersuara. 


Finally, daripada bingung sendiri, saya mengikuti saran suami untuk menyerahkan segala keputusan mengenai pergeseran jadwal umroh ini kepada Ifan. Nanti kami tinggal mendukung keputusannya saja. 
Jika Ifan memilih tidak berangkat, semoga saja Allah mengundangnya di lain waktu. 
Jika Ifan memilih untuk tetap berangkat, maka kami akan membantunya mengejar ketinggalan pelajarannya. 


Saya menelepon Ifan di rumah, dan menyampaikan masalah ini kepadanya. 


"Bang Ifan, visa untuk umrohnya belum keluar. Jadi berangkatnya diundur insya allah tanggal 5 - 13 Juli. Masalahnya, Ifan kan tanggal 9 Juli udah masuk sekolah. Teteh Ria batal berangkat, karena nggak bisa bolos sekolah. Ifan gimana?" 
"Ifan tetap berangkat aja Bun," sahut Ifan tegas. 
"Abang yakin nggak apa-apa bolos sekolah Bang? Nanti ketinggalan pelajaran gimana?" tanya saya untuk meyakinkan. 
"Bunda, kan akhirat itu lebih penting daripada dunia..." jawab Ifan. 


Dug! Serasa tertinju dada saya mendengar jawabannya. Tak terasa mata saya pun berkaca-kaca, merasa bangga bercampur malu pada diri sendiri. 
Ifan memang bukan anak yang setiap saat selalu baik dan dewasa dalam pemikiran. Ifan lebih sering terlihat easy going dan asyik dengan dunianya sendiri. 
Namun disaat yang tidak disangka-sangka terkadang kata-kata yang terucap oleh Ifan menunjukkan kematangan berpikir yang luar biasa. 


Alhamdulillah ya Allah... 
Semoga perjalanan ke tanah suci ini menjadi jalan untuk semakin menguatkan fondasi imannya, agar Ifan bisa selamat mengarungi dunia menuju akhiratnya kelak... 


Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)." 
(HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.) 


Jakarta, 26 Juni 2012 
Setelah mendapatkan berita bahwa visa telah disetujui :) 
Yeni Suryasusanti

Jumat, 22 Juni 2012

Kecil / Sederhana Itu Indah :)



Dari judul notes ini mungkin teman-teman akan berpikir bahwa ini adalah tulisan tentang rumah. Atau bahkan tentang penampilan seorang wanita :D
Bukan, ini bukan tentang itu. Dan tulisan ini pendek saja, terinspirasi oleh kejadian pagi ini. Tentang Ifan :)

Ifan pagi ini berangkat ke Bandung untuk berlibur di rumah kakak saya, naik travel, diantar ke pool oleh suami saya.
Tak lama kemudian, suami saya mengirimkan pesan pada saya :
" Lucu deh Bun anaknya... Sebelum naik X-Trans, beli snack di Hero. Trus mau bawa oleh-oleh buat mamanya (panggilan Ifan kepada kakak saya, tante favoritnya :D). Eh, dia ambil roti tawar...:D"
Saya tertawa.
Suami saya kemudian melanjutkan, " Iya... Tapi kog roti tawar, kog nggak biscuit?"
Mengenal Ifan, saya pun menjawab, "Mungkin karena mamanya suka sarapan roti..."

Sedikit penasaran ingin membuktikan kebenaran dugaan saya, saya pun bercerita kepada kakak saya mengenai oleh-oleh yang Ifan pilih untuk dibawa.

Dan inilah jawaban kakak saya :
"Hihihi.... Bekel anak-anak tiap hari ke sekolah roti. Dan emang serumah penggemar roti tawar. So sweet banget sih Ifan... Gue emang sarapan roti tawar :D"

Begitulah Ifan yang saya kenal.
Di permukaan, seringkali Ifan terlihat tidak pedulian. Namun pilihannya akan hadiah seringkali justru menunjukkan sebaliknya, bahwa Ifan memang memperhatikan hal-hal kecil, rutin dan sederhana.

Ya. Hadiah terkait pada hal-hal kecil, rutin dan sederhana memang indah. Namun sayang oleh penerimanya terkadang jarang dihargai. Mungkin karena kecil, jadi cenderung tidak terlihat.
Malah hadiah yang "besar / mewah" meskipun hanya satu kali diberikan jauh lebih sering dikagumi. Umumnya karena nilai materinya yang tinggi.
Padahal hadiah terkait hal kecil, rutin dan sederhana membutuhkan usaha yang luar biasa : perhatian akan karakter dan rutinitas kehidupan penerimanya, bukan hanya sekedar memiliki nilai materi yang tinggi saja.

Dan hadiah, juga bukan hanya muncul dalam wujud benda.
Kehadiran, entah di dunia nyata maupun di dunia maya, juga merupakan hadiah yang  tak terhingga nilainya.
Demikian juga perhatian, kasih sayang dan penghargaan, juga merupakan bentuk lain dari hadiah yang cukup banyak terlupakan oleh sebagian besar orang.

Pagi ini, oleh Ifan, saya merasa kembali diingatkan. Untuk selalu menghargai setiap hal yang meskipun kecil dan sederhana namun indah, lewat kejadian yang juga kecil dan sederhana namun membuat hati saya terharu dan tergugah.
Alhamdulillah....

Jakarta, 22 Juni 2012
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 02 Juni 2012

Ketika Fian Belajar Mengenal Isyarat...



"Ting ting ting..." bunyi suara yang melintas di depan rumah.
"Suara apa itu, Bun?" tanya Fian sambil mendengarkan penuh minat ketika kami sedang menonton tv malam itu.
"Oh, itu suara tukang bakso lewat..." jawab saya menjelaskan suara dentingan sendok dan mangkok beradu yg dipukul oleh tukang bakso.
"Kog Bunda tahu?" tanya Fian ragu.
"Coba aja intip di jendela..." jawab saya sambil tertawa.
"Oooohhhh, bener Bun, tukang baksoooo...." seru Fian antusias.

Suatu pagi, kejadian yang sama kembali berulang ketika terdengar suara, "Tet tet tet... Tiiiiii!" lewat di depan rumah kami.
Seperti biasa, Fian yang selalu ingin tahu bertanya, "Suara apa itu, Bun?"
"Oh, itu suara tukang roti..." sahut saya.
"Kog Bunda tahu?" tanya Fian ragu.
"Coba aja intip di jendela..." jawab saya sambil tertawa.
"Oooohhhh, bener Bun, tukang rotiiiii...." seru Fian antusias.

Malamnya, ketika seperti biasa terdengar "Ting ting ting..." Fian langsung berkata,
"Itu suara tukang bakso kan Bun?"
"Kog Fian tahu?" goda saya sambil tersenyum.
"Tahu dongggg.... kan Fian udah pernah dengar trus Fian intip... jadi Fian udah ngertiiiii...." jawabnya antusias.

Demikian juga keesokan paginya ketika terdengar suara "Tet tet tet... Tiiiiii!" Fian dengan antusias berujar,
"Itu suara tukang roti kan Bun?"
"Kog Fian tahu?" goda saya sambil tersenyum.
"Tahu dongggg.... kan Fian udah pernah dengar trus Fian intip... jadi Fian udah ngertiiiii...." jawabnya antusias.
Di wajah Fian terpancar kepuasan diri.

Suatu sore, saya melihat Ifan duduk di ruang tamu.
"Bun, pengen makan siomay deh..." ujarnya.
"Ya udah, duduk di ruang tamu, tungguin siomay lewat, biasanya jam seginian kog lewatnya..." sahut saya.
"Oke Bun..." sahut Ifan, lalu membaca majalah di ruang tamu sambil menunggu.
Tak lama terdengar suara "Ting ting ting.... omaaayyyy...." dari kejauhan.
Ifan langsung keluar dan berseru gembira, "Nah, itu dia tukang siomaynya.... boleh beli ya Bun?"

Seperti biasa, hal ini tidak luput dari pikiran saya yang selalu meloncat-loncat kepada hal yang sepertinya tidak ada hubungannya.
Kali ini saya berpikir tentang kedewasaan.

Ifan dan Fian yang belajar mengenali suara-suara yang akrab terdengar di lingkungan rumah kami menunjukkan kepada saya tentang proses seseorang menjadi dewasa.
Seseorang yang masih kecil - belum dewasa - tidak akan dengan peka mengenali isyarat samar disekelilingnya. Semuanya harus dengan gamblang dipaparkan di depan matanya.
Seseorang yang masih remaja - mulai belajar dewasa, namun belum mencapai kedewasaannya - akan mengenali jika isyarat itu ada, namun belum memahami kapan isyarat tersebut akan tiba, atau isyarat apa yang mengawalinya.
Seseorang yang telah dewasa akan mampu menangkap dan memahami isyarat - sekecil apa pun - yang terjadi dalam kehidupannya, terkadang dari isyarat pendahuluan yang tercipta.

Untuk mengajari etika berterima kasih agar melekat di dalam diri, ketika Ifan dan Fian kecil, setiap kali saya membantu mereka mengerjakan sesuatu yang seharusnya bisa mereka kerjakan sendiri tanpa bantuan orang lain, seperti mengambilkan mereka minum, sambil meletakkan gelas saya akan berkata, "Bilang : terima kasih, Bunda..." dan mereka pun akan menirukannya.
Begitu mereka mulai mengerti, sambil meletakkan gelas saya akan berkata, "Bilang apa?"
Dan mereka pun akan berkata, "Terima kasih, Bunda..."
Untuk kasus Ifan, saat ini jika dia terlupa dengan etika tersebut, sambil meletakkan gelas saya hanya perlu menatapnya, dan Ifan akan berkata, "Terima kasih, Bunda..."
Seseorang yang telah mencapai tingkat "kedewasaan" yang tinggi - tanpa diingatkan apalagi diminta - akan mengucapkan terima kasih ketika orang lain membantunya.

Demikian pula dengan rasa syukur.
Seseorang yang masih "kecil" biasanya kurang menghargai dan bersyukur atas segala yang dimilikinya. Dia baru akan merasa kehilangan ketika sesuatu yang dimilikinya hilang atau diambil. Dia baru akan mengingat Allah ketika nikmat diambil dari kehidupannya.
Seseorang yang sudah "remaja" cukup menghargai miliknya. Dia sudah akan langsung terusik jika sesuatu miliknya sedikit rusak atau cacat, tidap perlu menunggu barang tersebut hilang. Dia baru mengingat Allah ketika segala nikmat terancam tercabut dari kehidupannya.
Seseorang yang sudah dewasa, akan selalu menghargai dan bersyukur atas segala sesuatu yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dia akan selalu mengingat Allah dalam segala keadaan, baik sedih maupun bahagia.

Dan kemudian isyarat alam.
Saat terjadi bencana alam - seperti tsunami terjadi di Aceh maupun bencana lain - begitu banyak korban terjatuh akibat ketidaktahuan bahkan mungkin ketidakperdulian kita membaca tanda-tanda alam. Kita seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya memikirkan yang indah saja di dunia.
Namun setelahnya kita mulai belajar untuk mempelajari isyarat awal dari sebuah bencana. Seperti mendung yang biasanya - meskipun tidak selalu - mengawali hujan. Itu tandanya kita mulai tumbuh menjadi remaja.
Kelak, ketika kita sudah dewasa, mungkin kita akan mau belajar "merawat" alam dan menjadikannya tempat yang aman dan nyaman untuk kita tinggali sementara hingga hari akhir tiba...

Akhirnya isyarat kematian.
Banyak orang berkata, seorang alim ulama biasanya mengetahui bahwa ajalnya sudah hampir tiba. Saya rasa itu bisa terjadi karena mereka sudah memahami berbagai tanda-tanda yang dirasakan oleh tubuh mereka. 
Saya pernah membaca tulisan yang memaparkan tanda-tanda ajal sudah dekat yang berawal dari 100 hari sebelumnya. Kemudian 40 hari, 7 hari, 3 hari, 1 hari dan tanda akhir. 
Mengenali tanda-tanda ini tentu berguna jika kita ingin meninggal seperti impian setiap umat Islam : dalam keadaan husnul khotimah, setelah membaca syahadat dan senantiasa dalam keadaan mengingat Allah.

Lalu saya berpikir.
Bagaimana dengan kita yang tidak "seberuntung" para alim ulama yang terpilih menerima hidayah-Nya dalam hal ilmu membaca tanda-tanda menjelang ajal kita - seperti saya misalnya?
Mungkin saya hanya bisa berusaha - sejak sekarang hingga ajal menjelang - untuk membiasakan diri selalu mengingat Allah dengan selalu membasahi lidah dan hati saya dengan berdzikir menyebut nama-Nya. Sehingga ketika saya akhirnya memenuhi panggilan Allah, saya akan pergi dalam keadaan mengingat Allah.
Insya Allah...

Jakarta, 2 Juni 2012
Yeni Suryasusanti

Jumat, 01 Juni 2012

Menggapai Cahaya


Kembali ku terjaga di tengah malam
menatap keremangan dalam diam
menelusuri satu demi satu jejak kelam
dengan rasa penyesalan yang kian menikam
namun juga penuh syukur karena hikmah yang dalam


Tahun-tahun berlalu begitu cepatnya
kemanakah aku yang dulu begitu lugunya?
menjalani hari-hari dengan semangat membara
merasa akan hidup di dunia selamanya
tanpa perduli bahwa hidup hanya sementara


Banyaknya badai dan kehilangan yang menerpa
membuat ku tersadar betapa sesungguhnya manusia
tiada daya tanpa pertolongan sang pencipta
bagai sebuah kapal tanpa nakhoda
terombang-ambing antara nikmat dan siksa


Kemudian aku mencoba menggapai Tuhan
ketika merasa Dia sangat jauh dari jangkauan
meski perlahan dan tersaruk aku mulai berjalan
sesekali tersandung namun tetap penuh pengharapan
karena setitik cahaya mulai ku lihat di kejauhan


Ya Allah yang menguasai alam semesta
kini kasih-Mu padaku terasa begitu nyata
ketika Kau uji aku dengan segala problema
mungkin agar aku bisa belajar mengatasi dunia
hingga nanti ajalku tiba di depan mata


Aku hanya bisa tak putus berdoa
saat bersimpuh dihadapan-Mu dengan penuh airmata
semoga Kau ampuni segala dosa dan alpa
agar kelak ketika hari akhir tiba
aku bisa berharap untuk menggapai surga...


Jakarta, 1 Juni 2012
Yeni Suryasusanti