Kamis, 18 Oktober 2012

Tentang Bahasa Gaul, Iklan dan Pembuat Soal Ujian


Notes ini pendek saja, karena saya sebenarnya sedang tidak punya waktu untuk menulis, tapi ada topik yang membuat hati saya tergelitik :)

Pertama kali mendapat foto ini dari group BBM SD Bhakti, kumpulan Ibu-Ibu sekolah Ifan :D
Saya share ke beberapa group lain dan ke beberapa teman juga.
Ada yang tertawa, tapi ada juga yang memberi berbagai komentar, diantaranya :
"Beneran nih? Kalau kaya gini pemerintahnya kemana ya? Harus bilang wow gitu he... he... he..."
"Pemerintah paling bilang, 'Masalah buat loe?'"
"Ini betulan? Pelajaran apa? Pasti penulisnya gaolllll banget deh... :D"
"Anak pinterrrrrr..."
"Hehehe... Up to date n Gaullll abiezzzzz..."
"Hehehe.... sekarang saya pun berkata W O W..."
"Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
"Wah... bisa 100 nih anak2 gue hihihi...."
Dan seperti umumnya sebuah materi yang dipublikasikan, maka muncul dua pendapat : pro dan kontra.

Dengan niat menjajaki dan menambah wawasan bersama, saya mengirimkan gambar ini juga kepada 2 orang adik didik saya : Debby Cintya dan Dewi Damayanti 'maya'. Keduanya belum menikah.
Seperti dugaan saya, awalnya respon keduanya cenderung negatif :D
"OMG... hal-hal yang kurang santun malah tambah 'dipopulerkan' ya. Kalau itu sampe muncul di soal ujian, means dunia pendidikan kita sekarang ikut-ikutan juga 'mengaccept' trend yg seperti itu..." demikian reaksi pertama Debby.
Maya lain lagi reaksinya, "Hahahaha.... kocak. Itu beneran soal mbak? Kayak nggak bisa pake pertanyaan yang lain aja."

Reaksi Debby dan Maya inilah yang membuat saya menulis notes ini.
Kedua adik didik saya ini sejak pembinaan ketika menjadi pasukan di Paskibra 78 hingga sekarang terdidik menjadi pribadi yang terbuka, berwawasan cukup luas, diajari untuk tidak hanya melihat satu sudut pandang saja.
Bagi saya, untuk masalah ini mereka menjadi tolak ukur reaksi atas sebuah penerimaan informasi.
Jika mereka saja bereaksi  negatif awalnya, maka banyak orang juga akan demikian.
Terbukti dari komentar di atas, dari penilaian saya, hanya satu komentar yang positif : "Yang bikin soal kreatip yaaaa??? Sayangnya bukan eikehhhh..."
Yang lainnya? Hanya reaksi negatif atau menganggap hanya sebagai lucu-lucuan saja.

Menanggapi jawaban Debby dan Maya pada room BBM kami, saya mulai membuka ruang diskusi seperti biasanya :)
"Satu sisi begitu Deb, tapi ada sisi baiknya. Mereka mau membuat anak-anak 'aware' kalau kata-kata itu nggak bagus karena menggambarkan karakter nggak pedulian."
"Ilmu jadi lebih 'masuk' ya mbak?" Debby mulai bereaksi positif.
"Finally, soal itu meminta anak-anak menganalisa dan pada saatnya memutuskan akan menjadi orang yang bagaimana..." saya melanjutkan.
"Yup, setuju juga mbak. However dengan sistem pendidikan sekarang yang saya amati makin mengkarbit dan instan (kurang membangun pondasi pemahaman), saya cuma khawatir kalau yang ditangkap sama anak-anak itu adalah 'Ihhh soalnya gaol abiss' rather than menangkap message 'apa itu peduli dan apa itu tidak peduli'... Debby mulai mengungkapkan jalan pikirannya seperti biasa setiap kali saya memicunya :)
"Mbak ingat kan mbak sempat harus membantu Ifan memahami definisi kata-kata yang terdapat di buku paketnya karena Ifan nggak mendapatkan itu di sekolah? Saya pun sempat melakukan hal yang sama ke Hazel (keponakan Debby)..." lanjut Debby.
"Iya, itulah tugas orangtua di rumah SEHARUSNYA..." tegas saya, "Tapi ya tau sendiri kenyataannya..."
Debby menutup diskusi kami dengan kata-kata, "Jadi prihatin dengan anak-anak yang tidak memiliki sistem support di rumah yang membantu untuk membangun pondasi dan jembatan berpikir itu..."

Setelah diskusi itu, saya pun berpikir.
Ya, soal ini memang ibarat pisau bermata dua : Semakin populernya kata-kata tersebut dan diikuti oleh hampir setiap ABG bahkan orang dewasa, sehingga manusia tidak lagi mengikuti aturan "Berbicaralah yang baik atau diam", atau kesadaran bahwa kata-kata tersebut mengindikasikan sikap tidak peduli sehingga tidak perlu diikuti.


Di Wikiquote dijelaskan mengenai sebuah kutipan yang mungkin sudah terlupakan oleh banyak orang :


Bahasa menunjukkan bangsa
  1. Tabiat seseorang dapat dilihat dari cara bertutur kata mereka
  2. Kesopansantunan seseorang menunjukkan asal keluarganya
  3. Bahasa yang sempurna menunjukkan peradaban yang tinggi dari bangsa pemilik bahasa tersebut.

Dunia pendidikan memang rentan dengan kecaman, entah itu dengan maksud menjatuhkan ataupun berupa kritik dengan niat baik untuk membangun.
Namun seringkali saya justru merasa heran.
Mengapa dunia periklanan yang mempopulerkan komentar ini untuk segala kalangan - baik pelajar maupun profesional - hanya demi rating sebuah iklan dan meningkatkan penjualan tanpa memikirkan efek negatifnya justru tidak dikecam?
Namun, ketika dunia pendidikan mengangkat masalah ini, muncullah berbagai kecaman.

Pendidikan memang sebaiknya memiliki "satu paket" antara pengajaran untuk pemahaman dan ujian.
Jika kita belum mampu untuk mengubah sistemnya, mungkin sudah waktunya kita berhenti hanya sekedar menyalahkan, dan mulai melakukan tindakan yang mendukung ke arah penyempurnaan.
Seperti soal ujian ini - terlepas dari apakah soal ini benar ada atau hanya hasil rekayasa sang pembuat foto pertama - saya yakin sang pembuat soal dan sang pengirim foto berniat baik mengangkat hal ini.
Soal ini menunjukkan bahwa sang pembuat soal peka dengan gejala lingkungan dan berusaha meluruskannya jika terjadi indikasi penyimpangan.
Saya tidak mengetahui apakah materi ini pernah dibahas di kelas anak-anak, mengenai kesan-kesan akan karakter seseorang dari bahasa yang dipilihnya. Jika memang dibahas, WOW sungguh luar biasa :)
Namun jika belum, maka menurut saya sudah menjadi tugas kita sebagai orangtua, keluarga, sahabat bahkan teman untuk saling mengingatkan akan kebaikan.

Jakarta, 18 Oktober 2012
Yeni Suryasusanti

Kamis, 11 Oktober 2012

14th Pernikahan Kami : Ketika Mencintai dan Memahami Saja Ternyata Belum Cukup :)


Tiga hari yang lalu, Ifan mengalami musibah.
Seperti layaknya anak laki-laki usia jelang 12 tahun, dia seringkali berlari-lari di tangga sekolahnya. Kecelakaan terjadi, Ifan tersandung dan hampir jatuh. Refleks membuat tangannya teracung secara otomatis untuk menahan benturan badan ke lantai. Akibatnya, pergelangan tangan kiri Ifan terkilir ringan, atau mungkin lebih tepatnya ototnya sedikit ketarik. Ifan di bawa ke UKS untuk sekedar di urut.

Malam itu, saya baru tiba di rumah pk. 20.30 WIB.
Mendapat berita Ifan sedikit terkilir. Saya ragu untuk membawa Ifan ke tukang urut yang biasa kami gunakan jasanya dalam kondisi waktu semalam itu untuk kasus yang tidak terlalu gawat darurat. Beliau sudah sangat sepuh usianya, kasihan jika kita tiba di rumahnya mengakibatkan tidurnya terganggu. Karena itu, saya segera menghubungi suami saya yang ketika itu belum tiba di rumah, untuk menceritakan kondisi Ifan dan keraguan saya.
Setelah bertanya lebih detail tentang pergelangan tangan kiri Ifan dan memberitahu saya cara-cara yang harus dilakukan untuk meringankan cedera otot yang Ifan derita, kami memutuskan untuk berdiskusi lebih lanjut setelah suami saya tiba di rumah saja.

Hari itu adalah hari yang cukup melelahkan buat saya di kantor. Apalagi supervisor Finance sedang cuti melahirkan, hingga setiap orang di divisi kami mendapat bagian dari beban kerja harus tetap diselesaikan. Hal ini membuat saya tidak dalam kondisi puncak dalam segi emosional (=kesabaran) untuk berdiskusi.

Berikut ini percakapan saya bersama suami malam itu :
"Kita bawa Ifan besok pagi aja ke mbok Saminah ya..." kata suami saya.
"Waduh, Bunda besok pagi ada meeting penting Yah, sedang nggak bisa izin terlambat datang ke kantor. Ifan sih bisa izin terlambat masuk sekolah, kan sekolahnya tau dia terkilir." jawab saya.
"Kalau gitu kapan Bunda bisanya?" suami saya bertanya.
"Gimana kalau Ayah aja yang nemenin Ifan ke mbok Saminah besok pagi? Kan kata ayah sebaiknya jangan ditunda-tunda..." demikian saya mengusulkan.
"Mmmmm.... Sama Bunda juga aja..." jawab suami mulai terlihat tidak nyaman.
"Iya, maunya juga gitu Yah, tapi kalau besok pagi Bunda sedang nggak bisa..." saya mulai kesal.
"Tapi Ayah nggak tau rumah mbok Saminah..." demikian suami menyampaikan alasan.
"Lho, kan selama ini Ayah selalu ngantar sampai depan gang kalo Bunda bawa Fian urut?" suara saya mulai meninggi.
"Iya sih, tapi Ayah nggak tau yang mana rumahnya..." suami saya mengulang dan bertahan.
"Ya udah deh, kalau besok sore Ayah bisa pulang cepat nggak? Bunda usahain pulang cepat deh biar bisa bawa Ifan urut..." akhirnya dengan sedikit kesal saya memberikan alternatif lain.
"Bisa, Bun..." jawab suami saya segera.

Terus terang, malam itu saya sempat sedikit kesal. Saya menganggap alasan suami saya sangat tidak masuk akal.
"Tidak tahu persis yang mana rumah mbok Saminah" bagi saya bukan alasan yang kuat untuk enggan mengantar Ifan segera tanpa saya.
Lah, bukankah Allah sudah menganugerahkan kita mulut dan lidah untuk berbicara dan bertanya? Apa susahnya? Kenapa sih suami saya nggak mau mengambil peran dan sedikit mempermudah saya? Bukankah Ifan adalah anak kami berdua dan bukan hanya anak saya?

Malam itu dalam keadaan lelah saya mengambil kesimpulan cepat : 
Suami saya tidak bersedia membantu saya agar tetap bisa menjalankan tanggung jawab kerja dengan mengambil peran menemani Ifan ke tukang urut. Dia ingin kami berdua terlibat mengurus hal ini. Dia ingin saya meletakkan prioritas saya secara kaku di tempat yang seharusnya : pada keluarga.

Namun, keesokan harinya, setelah lelah saya pun sirna, dan saya kembali memiliki kemampuan (dan kemauan) untuk menganalisa segalanya, barulah saya bisa melihat bahwa kesimpulan saya malam itu tidak benar adanya.

Dari beberapa kejadian dalam rumah tangga kami, pernah juga suami menggantikan peran saya ketika saya harus menjalankan tanggung jawab kerja.
Belum lama, baru minggu lalu.
Asisten rumah tangga kami sakit dan tidak bisa masuk kerja.
Hari pertama, saya cuti mendadak akibat hal ini. Pada hari kedua, kami mendapat kabar lagi bahwa sang asisten belum juga sehat. Saya pun bingung, karena otorisasi pembayaran perusahaan harus tetap dijalankan. Sedangkan Supervisor Finance sedang cuti melahirkan sehingga tidak bisa menggantikan otorisasi ini jika saya tidak masuk kantor.
Ketika itu suami saya berkata, "Bunda, berangkat kerja saja dulu, Ayah meetingnya hari ini baru jam 3 siang kog. Biar ayah jaga rumah dan anak-anak. Nanti kalau bisa Bunda izin pulang cepat aja, baru Ayah berangkat."

Dari kejadian diatas sudah pasti tidak benar jika saya mengambil kesimpulan bahwa suami saya adalah tipikal suami yang tidak bersedia bertukar peran sejenak.
Lalu mengapa kali ini dia tidak bersedia? Tentu ada alasannya, pikir saya.
Saya pun mengingat-ingat kejadian selama pernikahan kami, terkait anak-anak yang sakit.
Dan akhirnya saya merasa mengerti alasan dibalik keengganan tersebut.

Dulu, ketika Ifan masih kecil dan takut disuntik sehingga perlu dipegangi setiap kali naik ke meja periksa dokter untuk diimunisasi, suami saya selalu mengambil tempat memegangi badan atas, saya memegang badan tengah atau kakinya.
Ketika punggung Fian terluka akibat air panas dari dispenser dan harus dikuliti kulit mati di punggungnya, suami saya mengambil posisi kaki untuk dipegangi, sementara saya mengambil posisi memegang bagian atas (tangan dan kepala).
Namun pengalaman yang paling jelas menunjukkan alasan keenganan menemani Ifan ke tukang urut tanpa saya adalah ketika putri kami, Nada Salsabila Hafizah (almarhumah) dirawat di rumah sakit beberapa hari sebelum berpulangnya ke rahmatullah.
Saat itu suster meminta bantuan salah seorang dari kami untuk memegangi Nada agar suster bisa memindahkan posisi jarum infus yang sudah bergeser sehingga tetesan infus terhenti. 
Ketika itu saya bertanya, "Ayah bisa bantu suster?"
Suami saya menjawab seketika, "Nggak sanggup Bun, Ayah nggak tega."
Dan akhirnya saya yang membantu mendampingi suster yang menusuk tempat jarum infus yang baru di tangan Nada.

Ya, setelah saya konfirmasi kepada suami saya tadi malam, dugaan saya ternyata benar :)
Suami saya menolak menemani Ifan tanpa saya bukan karena tidak mau membantu saya menjalankan tanggung jawab profesi saya, bukan pula karena tuntutan seorang suami yang ingin istrinya mendahulukan keluarga diatas segalanya, melainkan karena hal yang sangat sederhana : suami saya tidak tega melihat dan mendengar Ifan menjerit kesakitan ketika nanti diurut tangannya yang mengalami cedera otot tersebut.

Duh, ternyata di balik postur tubuhnya yang besar tinggi dan sikapnya yang cenderung mudah emosi, memang suami saya itulah yang pantas mendapat sebutan si lembut hati dibandingkan saya sendiri :D

Dari kejadian jelang hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 14th ini, saya belajar bahwa terkadang mencintai dan memahami saja belum cukup. Kita tetap harus berdoa kepada Allah agar Dia selalu memberikan kesabaran dan kebersihan hati kepada kita.
Konflik tetap saja bisa terjadi karena dalam kasus tertentu terkadang pemahaman tidak terjadi seketika, tapi membutuhkan waktu untuk menganalisa segalanya.
Namun, dengan cinta dan pemahaman kita atas diri belahan jiwa, kita akan mau berusaha dan belajar untuk mengatasi setiap konflik yang terjadi agar rumah tangga kita terselamatkan dari masalah yang lebih besar lagi. 
Hingga kita tetap bisa bahagia bersama belahan jiwa, sampai masa tua kita, sampai kita kelak menutup mata.

Dibawah ini saya kutipkan beberapa mitos dalam pernikahan dan fakta yang ada dibaliknya :


1. Anak akan menyelamatkan pernikahan
Selama ini anak dianggap sebagai perekat renggangnya hubungan Anda dan suami. Padahal banyak pasangan yang tak menyangka, bahwa dengan hadirnya seorang anak, maka tingkat stress dalam pernikahan pun bertambah. Tak hanya harus menyelesaikan masalah dengan pasangan, Anda pun juga harus fokus menjaga anak. Jadi jangan pernah jadikan anak sebagai alat perekat hubungan. Jika memang Anda menginginkan anak, itu karena Anda dan pasangan sudah siap untuk menjadi orang tua yang baik.
2. Menikah membuat Anda 'lengkap'
Menikah memang merupakan komitmen bersama. Pasangan yang baik tidak saling mendominasi, melainkan melengkapi. Namun bukan berarti Anda tidak berusaha 'melengkapi' diri sendiri. Anda tetap harus memiliki kekuatan pribadi. Jika bersama pasangan, Anda bisa menjadi sangat kuat, namun bukan berarti Anda tidak mampu berdiri dengan kekuatan sendiri.
3. Pasangan harus mengerti pikiran Anda, tanpa harus diucapkan
Mitos ini jelas salah. Ingat dan tanamkan pada diri Anda, bahwa pasangan bukanlah paranormal yang bisa membaca pikiran. Jika ia tak bisa membaca pikiran Anda, bukan berarti pula perasaan sayangnya pada Anda tidak kuat. Walaupun Anda telah bersama selama puluhan tahun, bukan berarti Anda bisa saling membaca pikiran setiap saat. 
4. Harus selalu merasa jatuh cinta
Oke, hal tersebut hanya ada di kisah dongeng. Di dunia nyata, tidak ada pernikahan yang berjalan mulus tanpa adanya hambatan dan itu adalah hal yang wajar. Kemarahan dan kekecewaan pada pasangan bukanlah berarti akhir dari pernikahan Anda. Justru saat Anda berdua dapat melewati masalah itu, rasa cinta yang dirasa lebih besar dan kuat. 
5. Cinta mengalahkan segalanya
Sekali lagi, kutipan-kutipan ini sering ada di cerita dongeng yang romantis. Namun perlu diketahui, rasa cinta pun bisa pupus seiring dengan berjalannya waktu. Anda tak akan bisa terus mengandalkan rasa cinta, tanpa menjaganya. Kemampuan untuk berkomunikasi yang baik, saling pengertian dan rasa percaya adalah salah satu cara untuk menjaga cinta Anda. 
6. Pernikahan yang baik biasanya berjalan tanpa masalah
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tak akan mungkin pernikahan berjalan tanpa satu masalah. Yang justru harus dicermati adalah, bagaimana kemampuan kita untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. 
7. Pernikahan membuat Anda bahagia
Sesungguhnya Andalah yang dapat mengontrol kebahagiaan. Bukan pernikahan yang membuat Anda bahagia, namun diri sendiri. Jika memang Anda selalu bersikap positif dalam menyikapi pernikahan, otomatis kebahagiaan akan terus Anda rasakan.


Jelang penutup tulisan ini, saya share kutipan yang saya sukai :
Hanya baja yang liat akan tahan menembus api. Pernikahan yang berhasil bukanlah pernikahan yang tanpa masalah, melainkan pernikahan yang bisa bertahan meskipun menghadapi masalah dan mampu menyelesaikan masalah tersebut.

Dan akhirnya... untuk sang belahan jiwa - Ahmad Fahly Riza - saya ucapkan terima kasih telah menyayangi kami semua secara luar biasa.
Happy our 14th anniversary, Cinta :)

Jakarta, 11 Oktober 2012
Yeni Suryasusanti