Kamis, 30 Mei 2013

Ketika Fian Juga Mulai Belajar Memberikan Solusi :D


Pagi itu dimulai dengan kehebohan.
Fian yang sedang rewel memaksa agar saya ikut mengantarkannya ke sekolah. Sebetulnya bisa saja meskipun waktunya sangat sempit karena dia masuk sekolah Pk. 07.30 WIB, asal kami berangkat naik motor dan setelahnya suami saya mengantarkan saya hingga ke kantor.
Memang saya lebih sering berangkat bersama adik sepupu saya yang tinggal bersama kami, naik motor pula, bersamaan dengan Dede berangkat kerja. Saya akan ikut hingga setengah jalan, kemudian melanjutkan dengan kendaraan umum atau ojek tergantung waktu sisa yang tersedia agar saya tidak terlambat sampai ke kantor.

Kembali kepada keinginan Fian pagi itu, sayangnya saya tidak bisa memenuhinya.
Suami saya baru saja kembali malam sebelumnya sehabis konvensi organisasi yang diikutinya selama 5 hari di luar kota, dan belum terbalas rasa lelahnya akibat menjadi panitia sehingga kurang tidur selama di Makassar.
Jadi, sungguh hal yang riskan memaksanya mengantarkan saya ke kantor naik motor membelah jakarta, karena koordinasi suami sedang tidak dalam keadaan prima.
Sementara kalau menggunakan mobil, meski lebih aman untuk suami saya, jelas saya akan terlambat tiba di tempat kerja. Lagipula kebetulan kedua orang tua saya sedang datang ke Jakarta, dan mobil sedang digunakan oleh mereka untuk mengantar kerabat yang mau berobat ke rumah sakit.

"Bunda ikut antar Fian ajaaaaa...." tangis Fian berkeras.
"Nggak bisa, Fian, kasihan Ayah, Ayah masih capek baru pulang dari Makassar. Bunda berangkat sama oom Dede ya... nanti malam kan Bunda akan temani Fian lagi..."
"Kalo gitu kita naik mobil ajaaaaa...." balas Fian tidak mau menyerah.
"Nggak bisa, nanti Bunda terlambat kerja dong... Lagian mobilnya kan sedang dipakai Aki Nini ngantarin kakek kumis..."

Fian berhenti menangis, mulai terlihat berpikir.
"Kalo gitu kita naik motor aja, Bunda ikut ngantar Fian dulu..." putusnya.
"Lho, trus Bunda ke kantornya gimana?" protes saya.
"Nanti Ayah antar Bunda lagi ke oom Dede... Oom Dede nunggu Bunda dulu di rumah..."

Nyaris tersenyum karena melihat betapa keukeuhnya Fian, saya menjawab,
"Nggak bisa, Fian, nanti oom Dede terlambat ke kantor dong... Kalaupun oom Dede ikut nyusul ke sekolah Fian untuk kemudian bareng Bunda kerja, tetap aja Bunda hanya ikut sampai setengah jalan ke kantor dan nyambung bis lagi dan Bunda bakal telat deh..."
"Bundaaaaaa......" tangis Fian mulai lagi begitu melihat tidak ada jalan keluar bagi keinginannya.
"Kapan-kapan kalau Ayah sudah nggak capek, nanti Bunda ikut antar Fian ya..." bujuk saya.
"Iya, tapi kapan?" tuntut Fian ingin memastikan.

Saya berpaling kepada suami yang selama itu mendengarkan, dan bertanya kapan kira-kira saya bisa ikut mengantar Fian dan suami mengantarkan saya ke kantor setelahnya.
"Besok juga bisa kog, dengan catatan jam 7 kita sudah jalan karena Ayah ada keperluan," sahut suami setelah menimbang-nimbang.

Saya kembali menghadap Fian, kemudian mengusap air matanya.
"Insya Allah besok Bunda ikut antar Fian ya, tapi Fian harus sudah siap jam 7. Kalau belum siap, berarti Bunda nggak bisa antar Fian... Sekarang Fian berangkat sama Ayah dulu."
"Oke, Bun..." jawab Fian masih dengan mimik sedih dan mata berkaca-kaca.

Keesokan harinya tepat jam 7 pagi...
"Bunda, Fian sudah siappp!!!" jerit Fian bersemangat.
"Fian, bilang ke ayah dulu gini : Ayah, hari ini jadi kan Bunda ikut antar Fian?" kata saya mengajari Fian tentang konfirmasi.

Fian pun berlari ke luar, menghampiri suami saya yang sedang memakai jaket.
"Ayah, hari ini Bunda ikut antar Fian kan?" tanya Fian penuh keyakinan.
"Nggak bisa..." suami saya meledeknya.
"Yaaaaaa Ayaaahhhh..... Bundaaaaa kog kata Ayah nggak bisaaaa???" protes Fian keras sambil berlari menuju saya.
"Bilang ke Ayah : Ayah, kan udah janji... Kalau janji itu kan harus ditepati..." sambil tersenyum saya mengajari.
"Apa Bun? Ditetapi?" tanya Fian terlihat bingung.

Saya tertawa, menyadari Fian menemukan kata yang baru baginya.
"Bukan ditetapi... Di-te-pa-ti..." eja saya perlahan.
"Ditepati... Ditepati itu apa?" tanya Fian lagi.
"Kalau janji ditepati itu artinya janjinya dilaksanakan, nggak bohong..." jelas saya.
"Ooohhhh...." Fian mengangguk tanda mengerti.

Fian pun berlari kembali ke hadapan suami saya.
"Ayah, janji itu kan harus ditepati... Kemarin ayah udah janji Bunda bisa ikut antar Fian kalau Fian udah siap jam 7. Sekarang kan jam 7, Fian nggak terlambat..." tuntut Fian teguh :D
"Iya deh..." suami saya pun tertawa.

Fian menjerit senang, kami pun berangkat bersama.

Setelahnya saya baru menyadari bahwa untuk anak berusia belum genap 5 tahun, Fian ternyata cukup gigih mencari solusi agar tujuannya tercapai. Meskipun solusi yang diberikan belum sempurna karena belum mengakomodir kepentingan seluruh pihak yang terlibat sehingga menghasilkan win win solution, namun saya rasa cukup luar biasa usahanya dalam berpikir. Fian tidak hanya menuntut dengan tangisannya, tapi ikut memikirkan bagaimana menyelesaikan masalahnya, dan mau menunda keinginannya ketika tidak menemukan solusi yang baik untuk semua pihak.
Duh saya terharu jadinya...

Telah terbaca oleh saya karakternya, kelak Fian akan menjadi anak yang tidak puas hanya dengan "janji tanpa kepastian/batas waktu", terlihat dari tidak puasnya Fian atas jawaban "Kapan-kapan Bunda ikut antar Fian" yang saya berikan hari sebelumnya, dan menuntut kepastian waktu yang dia follow up pula keesokan harinya hingga tujuannya tercapai...

Ya Allah, Sungguh luar biasa karunia-Mu kepada kami semua
Engkau berikan kepada kami putra-putra yang mau belajar mencari solusi untuk kepentingan bersama
Ya Allah, peliharalah kebeningan hati mereka
Agar tetap bisa menghasilkan solusi yang adil dan bijaksana

Setelah di Bulan Januari 2013 Ifan yang berusia 12th memberikan win win solution (http://yenisuryasusanti.blogspot.com/2013/01/ketika-ifan-belajar-memberikan-solusi.html) , kini Fian yang usianya baru jelang 5th di pertengahan bulan ini mencontoh dengan juga mulai belajar memberikan solusi :)

Ya Allah, nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan?
Alhamdulillah...

Jakarta, 30 Mei 2013
Yeni Suryasusanti

Selasa, 28 Mei 2013

Tentang Debat, Netiket dan Tasyabbuh :)


Sebenarnya sedikit dilema menuliskan tentang ini. Khawatir menjadi polemik, menjadi perdebatan.
Namun, saya juga terikat dengan ini…
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Jadi, saya memohon kelapangan hati dan kebesaran jiwa teman-teman yang membaca untuk tidak menjadikan tulisan ini sebagai bahan perdebatan, karena :
"Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(QS. An-Nisa’ : 59)
"Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran syurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di tengah syurga bagi orang yang meninggalkan dusta, dan sebuah rumah di puncak syurga bagi orang yang memperelokkan akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud, Hasan)

Dalam Islam, debat berbeda dengan dialog/diskusi. Tipis sekali memang bedanya sehingga kita mudah tergelincir dari dialog/diskusi menjadi debat.
Dalam dialog/diskusi, mempertahankan pendapat dilakukan dengan “ilmu”, yaitu dengan mengemukakan referensi yang diharuskan oleh agama Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadist, tanpa kemarahan, dan dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan adab berbicara, adab mendengarkan dan adab menolak/tidak setuju. Tujuannya biasanya mencari solusi atau sebagai sarana pencapaian dakwah.

Mengenai adab berbicara, mendengarkan dan adab menolak/tidak setuju dalam Islam tidak saya tuliskan disini karena keterbatasan waktu, mohon teman-teman membuka buku agama lagi atau sederhananya : Google saja :D

Dalam debat, mempertahankan pendapat seringkali dilakukan hanya berdasarkan logika atau emosi, meskipun terkadang memasukkan referensi berupa dalil, tujuannya adalah "mempertahankan pendapat" meskipun bisa jadi pendapatnya belum tentu benar, ingin menang, membela diri atau kelompoknya, dan cenderung kurang/tidak ada niat untuk mencari kebenaran.
Saya mencermati, bahwa sebuah dialog/diskusi tergelincir menjadi debat adalah ketika dalil diungkapkan dengan tujuan ingin menang, dan biasanya intonasi suara pun berubah menjadi “lebih tinggi”.
Jadi, yang pertama kali bisa mendeteksi apakah kita “berdebat” atau “berdialog/berdiskusi” adalah para pelakunya sendiri :D

Mengutip sebagian kata-kata adik Paskibra saya - Poppy Yuditya - yang kini menjadi salah satu tempat saya bertanya soal agama, sekilas tentang ayat Al-Quran :
  1. Bahasa Arab sangat kaya makna dan "dalam". Keterbatasan Bahasa Indonesia lah yang membuat artinya menjadi seperti "himbauan", "anjuran", "perintah" dan lain sebagainya
  2. Bahkan yang bisa berbahasa Arab pun tetap harus menerjemahkan dan menafsirkan dalam bimbingan orang lain karena manusia punya kecenderungan menafsirkan sesuai dengan syahwat (ego) masing-masing
  3. Maka 3 pegangan umat islam itu adalah Al Quran, Hadits dan Ijtihad PARA ULAMA, bukan ijtihad masing-masing individu. Ijtihad individu tidak boleh dishare untuk dianggap ilmu atau fatwa baru tanpa musyawarah dengan para pakar dalam majelis syuro (majelis orang-orang berilmu).
Makanya sangat tidak bijak bila yang tidak paham Bahasa Arab berdebat habis-habisan soal isi Al-Quran karena yang bisa berbahasa Arab pun belum tentu bisa menafsirkan dengan tepat karena adanya keterbatasan akal, ilmu, dan logika... Allahu'alam bish-shawab.

Jadi, seperti tag di Blog saya : Diawali dengan “Basmalah” dan dengan niat untuk menebar manfaat di jalan Allah, sharing saya mulai dari sini…

Berawal dari berkenalannya saya dengan dunia maya dan keterlibatan saya dengan mengikuti berbagai Mailing List, saya belajar cukup banyak tentang “Etika Berinternet” (disebut juga Netiket).
Bekerja selama hampir 15th di Internet Service Provider semakin meningkatkan kesadaran saya untuk sebisa mungkin menjalankan Netiket dan mensosialisasikannya jika perlu.
Meskipun setiap Mailing List memiliki Netiket yang berbeda sesuai kebijakan owner dan moderator masing-masing, namun ada beberapa point yang berlaku umum, diantaranya :

Sebisa Mungkin Menghindari Penggunaan Huruf Kapital

Mengapa?
Karena penggunaan karakter huruf bisa dianalogikan dengan suasana hati si penulis. Huruf kapital mencerminkan penulis yang sedang emosi, marah atau berteriak.
Ketika huruf kapital diperlukan untuk memberi penegasan maksud, gunakanlah secukupnya saja dan jangan sampai seluruh kalimat/paragraf.

Hati-hati Dalam Mem-forward

Mengapa?
Karena tidak semua berita yang beredar di internet itu benar adanya. Seperti halnya spam, hoax juga merupakan musuh besar bagi para kebanyakan netter. Jadi, pastikanlah terlebih dahulu bahwa informasi yang ingin kita kirim itu adalah benar adanya sebelum kita mem-forward.
Kita sebaiknya meneliti email sebelum kita forward kepada rekan yang lain, apakah isi email tersebut memang diperlukan oleh mereka yang menerimanya. Jika tentang surat berantai, bantu untuk menghentikan segala bentuk Surat Berantai sejenis yang menawarkan hadiah berupa handphone / komputer dll. dengan hanya melakukan forward email sebanyak-banyaknya. Email semacam ini sering disebut sebagai HOAX mail.

Menimbang kedua hal tersebut diatas, terutama yang tentang forward email, seringkali saya mengabaikan sebuah email atau broadcast di BB jika saya belum sempat mengecek kebenarannya, atau “ketepatan” ajakannya, karena khawatir secara tidak sadar menyampaikan hal yang keliru jika tidak ingin dikatakan menyimpang.
Terkadang menjadi dilema, ketika ajakan yang disampaikan melalui email atau broadcast tersebut saya rasa baik, namun jika dilihat lebih menyeluruh ternyata menyalahi aturan yang lebih tinggi : yaitu aturan agama Islam yang saya anut dan saya coba jalankan dengan sepenuh hati.

Terima kasih saya ucapkan kepada rekan-rekan yang sudah mengirimkan Broadcast kepada saya mengenai hal yang baik, namun mohon maaf sebelumnya, agar bisa lebih jelas saya akan meng-copy contoh Broadcast tersebut, tanpa bermaksud menyinggung bahkan menghakimi rekan-rekan, dan murni karena ingin mengajak kepada kebaikan dan kebenaran.

Terkait dengan ajakan kepada kebaikan, ada beberapa email/broadcast yang terselubung dengan kebaikan tapi sedikit memiliki ciri-ciri hoax, diantaranya :

Email/Broadcast Jenis Pertama :

Email/broadcast yang mengajak kita beribadah atau berbuat kebaikan, dan meminta kita forward ajakan ini namun dengan iming-iming jika kita bersedia atau ancaman jika kita tidak melakukannya.
Contoh kalimatnya biasanya ada kata-kata : “Jika anda tidak mem-forward email ini ke sepuluh orang, maka anda akan mengalami musibah. Jika anda mem-forward email ini ke sepuluh orang, maka anda akan mendapatkan keberkatan, atau anda akan mendapatkan pasangan sejati…”
dan seterusnya :D

Menanggapi ajakan seperti ini, jika saya sedang tidak ada waktu untuk “membedah” email/broadcastnya, maka dengan sangat menyesal meskipun ajakannya adalah kepada kebaikan maka tidak akan saya forward.
Namun, jika saya sedang ada waktu, biasanya saya “bedah” email/broadcastnya dengan menghilangkan bagian iming-iming atau ancaman, mengoreksi atau menambahkan keterangan disamping ajakan kepada kebaikan tersebut sebelum saya melakukan “forward” email/broadcast.
Jadi, email yang saya forward sudah bukan lagi “forward murni”, melainkan sudah saya “bedah” agar bisa saya pertanggungjawabkan jika perlu.

Email/Broadcast Jenis Kedua :

Email/broadcast yang mengajak kita beribadah atau berbuat kebaikan namun meminta kita melakukan sebuah tindakan yang spesifik, dan meminta kita forward ajakan ini sebanyak-banyaknya untuk menyebar kebaikan.
Contohnya : "Tolong ubahlah profile picture anda ke lilin harapan yang sedang menyala seperti pada PP-ku. Kemudian mintalah tiap orang di kontak BB anda utk melakukan hal yang sama dalam waktu 24 jam untuk semua penderita Cancer. Dan tiap orang ambillah waktu 1 menit untuk berdoa di hadapan bagi seluruh penderita cancer. Esok hari kita akan melihat berapa banyak lilin-lilin harapan yang akan menyala. Setiap api yang menyala mewakili doa untuk para penderita cancer. Dengan melakukan hal ini, kita telah menjadi perantara doa bagi para penderita cancer."

Karena saya menerima lebih dari 1 Broadcast di BB saya mengenai hal ini – baik melalui jalur pribadi maupun melalui group yang saya ikuti –saya menarik kesimpulan bahwa BC ini cukup berhasil “mengetuk” hati banyak orang.
Maka saya meluangkan waktu untuk menelaah BC tersebut.

Sekilas pandang awal saya, BC ini baik-baik saja, bahkan baik sekali, yaitu intinya adalah ajakan untuk berdoa bagi penderita kanker sebagai dukungan kepada mereka.
Namun, pikiran saya yang memang seringkali penuh tanda tanya tentang apa saja yang bersentuhan dengan pikiran saya – bukan penuh dugaan buruk yaaaa – atau kalau mengutip istilah pendidikan sekarang mungkin bisa disebut “kritis”, seketika melontarkan pertanyaan yang sama dengan rekan saya Totok Bachtiar Effendi yang mengemukakannya di comment status saya.

“Mengapa hanya kanker?
Mengapa harus pakai lilin?”

Untuk pertanyaan pertama, saya berspekulasi bahwa mungkin saja BC ini pertama kali di release saat Hari Kanker Sedunia, namun terus berputar ke seluruh dunia maya hingga sekarang meski tidak bertepatan dengan moment yang dimaksudkan awalnya.

Untuk pertanyaan kedua, saya menduga karena pencetus awal dari ide ini adalah seseorang yang beragama Nasrani/Kristiani.

Mengapa saya menduga demikian?
Karena menurut saya, jika sang pencetus ide adalah seorang muslim/muslimah, maka himbauan ini hampir pasti mengajak kita untuk melakukan doa dengan mengangkat kedua belah tangan kita, setelah shalat dan dalam kondisi masih dalam wudhu (suci) dan mungkin jika ingin ada simbol maka yang ditampilkan adalah berupa simbol dari pendukung kanker itu sendiri (pink ribbon untuk simbol kanker payudara, atau lavender ribbon untuk simbol kanker secara umum) .


Karena saya mengetahui lilin digunakan umat Nasrani/Kristiani sebagai perlengkapan ibadah, dan akibat rasa ingin tahu yang membawa saya ke beberapa website mengenai hal ini, saya menemukan fakta bahwa ternyata lilin memang merupakan tradisi yang diadaptasi oleh umat Nasrani/Kristiani dari Kekaisaran Romawi.

Saya kutipkan sebagian penjelasannya disini…

Lilin Paskah adalah sebuah lilin besar berwarna putih yang diberkati pada upacara malam Paskah (Sabtu Suci) (dalam ritus gereja Katolik Roma dan beberapa gereja lainnya, disebut sebagai Upacara Cahaya), dan dinyalakan sebagai lambang Kristus yang bangkit dari kematian selama masa Paskah, ditempatkan di samping meja altar (di sebelah kiri dari arah umat di gereja Katolik Roma) dinyalakan pada setiap upacara liturgi. Sesudah hari raya Pentakosta yang merupakan penutup masa Paskah, dipadamkan setelah pembacaan Injil dalam masa terakhir hari tersebut. Lilin Paskah juga digunakan pada upacara baptis dan pemakaman.
Lilin Paskah digunakan pada Gereja Katolik Roma dan beberapa Gereja Kristen Protestan lainnya. 
Nyala api lilin Paskah menyimbolkan Kristus sebagai terang dunia dan kehadirannya di antara umat. Lilin warna putih dan tinggi juga melambangkan tiang api yang membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir.

Pula, beberapa penulis rohani dari Abad Pertengahan memperluas simbolisme lilin itu sendiri: batang lilin melambangkan kemurnian Kristus; sumbu lilin adalah jiwa manusiawi Kristus; dan terang, ke-Allah-an Kristus. Juga, lilin yang menyala melambangkan suatu kurban, yang dilakukan sekaligus dengan mempersembahkan doa dan menerima kehendak Tuhan. 
Pada pokoknya, penggunaan lilin yang menyala merupakan suatu praktek yang saleh, yang terus berlanjut hingga kini di banyak Gereja. Simbolisme itu mengingatkan kita bahwa doa adalah “datang ke dalam” terang Kristus, membiarkan jiwa kita dipenuhi dengan terang-Nya, dan membiarkan terang itu membakar jiwa kita bahkan sementara kita telah kembali melakukan aktivitas lainnya.  

TANYA: Nama saya Steve dan umur saya 15 tahun. Saya seorang Katolik sejak bayi, tetapi saya belum mengerti mengapa kita menyalakan lilin di gereja. Apakah itu artinya?
JAWAB: Steve, Yesus menyebut diriNya "Terang Dunia" dan Ia bersabda bahwa kita harus menjadi "terang" bagi sesama, jadi lilin adalah lambang kristus sebagai Terang Dunia. Penggunaan lilin telah menjadi tradisi Gereja sejak lama. Lilin yang kamu maksud disebut "votive" atau "vigil" (Vigili, Latin = berjaga-jaga). Dengan menyalakan lilin di gereja, sebenarnya orang ingin memperpanjang doa dan kehadirannya, sebab ia sendiri tidak bisa tinggal lebih lama di gereja. Lilin yang menyala melambangkan kehadiran dan doanya.Kaum Yahudi Orthodox di Yerusalem mempunyai kebiasaan untuk menuliskan doa-doa mereka di selembar kertas dan menempatkannya di celah-celah Tembok Ratapan, memohon agar doa-doa mereka dihantarkan kepada Tuhan ketika mereka tidak dapat berada di sana untuk berdoa. Kita diperintahkan oleh Tuhan untuk "senantiasa berdoa" dan nyala lilin adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita bersungguh-sungguh dengan kehidupan doa kita.

Ketika sudah menganalisa, menjadi dilema bagi saya, apakah saya sebaiknya meneruskan BC ini karena jelas mengajak kepada kebaikan yaitu mendoakan kesembuhan bagi penderita kanker – yang salah satunya adalah sepupu saya sendiri – apalagi berdasarkan tuntunan agama Islam kita memang harus berlomba-lomba dalam kebaikan (Baca QS. Al-Baqarah : 148)?
Namun bagaimana dengan kata-kata, “Setiap api yang menyala mewakili doa untuk para penderita cancer. Dengan melakukan hal ini, kita telah menjadi perantara doa bagi para penderita cancer.” sementara dari hasil pencarian saya jelas terungkap bahwa menyalakan lilin merupakan bagian yang erat dari ritual ibadah umat Nasrani/Kristiani?
Saya khawatir hanya demi sekedar melakukan forward BC meskipun intinya hanya untuk mengajak kepada kebaikan, saya akan dinilai Allah melakukan tindakan Tasyabbuh dalam hal ritual doa yang jelas tidak diperkenankan dalam agama saya. Dan penilaian Allah bagi saya jauh lebih penting daripada penilaian umat manusia…

Dari Mantasyabbaha biqoumin Fahuwa Minhum, Dr.Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql :

At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.

At-Tasybih berarti peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya, meniru dan mengikutinya.

Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka (kaum kafir).

Sejujurnya, ilmu saya masih terlalu rendah untuk menuliskan argumentasi tentang hal ini.
Namun beberapa bahasan banyak yang jelas mencantumkan referensi Al-Qur’an dan Hadist untuk mewaspadai tindakan Tasyabbuh, sebagai berikut :

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah: 18) “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quraan itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. Al-Ra’d: 37) “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran: 105) “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)

Jadi, menghadapi email/broadcast Jenis Kedua ini, saya memutuskan bahwa hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah tetap mengajak kepada kebaikan, namun dengan mencoba mengoreksi/menggantikan ajakan ritual berdoa yang bukan merupakan ajaran Islam :)
Namun, terkait status FB saya kemarin, mungkin pemilihan bahasa saya sedikit kurang bijaksana, sehingga menimbulkan sedikit polemik baik pro maupun kontra :D

Terima kasih, teman-teman, saya belajar banyak dari reaksi teman-teman di status saya.
Reaksi beberapa teman membuat saya di masa datang akan berusaha menjadi lebih dewasa dan berhati-hati lagi dalam memilih kata-kata.
Reaksi beberapa teman juga membuat saya belajar untuk bisa membedakan : mana tanggapan yang ditulis oleh orang yang benar-benar mengerti dasar pertimbangan saya, mana tanggapan yang ditulis oleh orang yang mungkin saja sebenarnya cukup mengerti dasar pertimbangan saya namun penilaiannya terdistorsi oleh emosi karena keterlibatan yang terlalu dekat dengan inti masalahnya, dan mana tanggapan yang ditulis oleh orang yang hanya setengah memahami atau benar-benar tidak memahami maksud pengangkatan materi tersebut.
Reaksi teman-teman semua membuat saya belajar untuk tidak tergelincir dari “dialog/diskusi” ke “debat” – seperti yang saya bahas pada bagian awal tulisan ini – dengan berhenti melanjutkan komentar sebagai balasan :)

Sungguh, tidak pernah menjadi masalah, bahkan sungguh merupakan suatu hal yang harus kita dukung bersama siapa pun yang mengajak kepada kebaikan, apakah itu seorang Muslim ataukah bukan.
Namun merupakan tanggungjawab kita sebagai seorang muslim/muslimah, untuk membatasi diri ketika detail dari ajakan itu sudah menyangkut akidah, agar dukungan kita tidak menjadi salah kaprah.
Kita tidak perlu menghentikan kebaikan – apalagi jika sampai terlintas pemikiran pendek bahwa penghentian ini dilakukan hanya karena umat non muslim lah yang memprakarsainya – namun kita bisa ikut menyumbangkan pikiran dengan menemukan cara agar kebaikan bisa terus berjalan dengan tidak menyalahi ajaran Agama Islam.

Well, bukankah itulah indahnya perbedaan? :)

Sikap saling menghormati atau yang kita kenal dengan toleransi justru lahir karena adanya rasa saling mengerti dan saling memahami yang terbentuk karena adanya penjelasan untuk meminimalisir kesalahfahaman.

Semoga tulisan ini bisa menjadi "jembatan" :)
Allahu'alam bish-shawab.

Jakarta, 28 Mei 2013
Yeni Suryasusanti

Sabtu, 25 Mei 2013

Antara Saya, Hujan, Shower, Doa dan Airmata


Sejak kecil hingga saya dewasa
hujan selalu memukau bagi saya
sehingga setiap kali ketika hujan tiba
bukannya berhenti sejenak dan berlindung darinya
saya justru menyongsongnya dengan gembira
bahkan dengan tangan terbuka

Di masa kecil saya...
meski air hujan membuat basah kuyup rambut, baju dan sepatu saya
saya sungguh menikmati kesejukan rasanya
ataupun jika ibu berhasil mengurung saya di ruang keluarga
saya menikmati tetesan air hujan yang mengalir di kaca jendela
sambil mencium bau tanah basah yang meruap ke udara

Di masa remaja...
hujan datang tepat pada waktunya seperti dalam film India
mungkin karena mengetahui betapa gengsinya saya mengeluarkan airmata
ketika hati saya begitu sedih dan terluka
maka Allah selalu menurunkan hujan sebagai jalan keluarnya
karena hujan akan menyamarkan airmata yang mengalir di pipi saya

Di masa dewasa...
hujan deras membuat saya tidak bisa pergi kemana-mana
membuat saya saya memiliki waktu untuk menikmati kesendirian saya
entah dengan menikmati menonton dvd di ruang keluarga
atau dengan membaca buku favorit saya untuk kesekian kalinya
atau sekedar bergelung di dalam selimut sambil mendengarkan musik kesukaan saya

Ketika sudah berkeluarga...
hujan mulai berubah fungsinya menjadi perekat rumah tangga
ketika hujan tiba, ia mendekatkan Ifan dan Fian kepada saya
karena mereka mencari kehangatan dan keamanan dengan segera
meminta saya memeluk mereka dengan eratnya
ketika hujan hadir dengan petir menyertainya

Hujan terkadang membuat saya, Ifan, Fian bahkan sang belahan jiwa
berkutat di dapur dengan seru dan penuh rasa bahagia
karena ingin membuat cemilan untuk dinikmati bersama
atau,
ketika Ifan dan Fian terlelap dalam tidurnya
hujan menjadi iringan musik bagi saya dan belahan jiwa

Lalu bagaimana dengan fungsi hujan sejak saya remaja
sebagai kamuflase bagi airmata saya
yang lebih sering saya sembunyikan keberadaannya?
sejujurnya,
kini saya telah menemukan penggantinya
dan dia bisa datang setiap saat di segala cuaca

Ketika saya begitu sedih dan terluka
maka kini air dari shower lah sebagai kamuflase bagi airmata
dan setelah mengalirkan air di wajah dan sekujur tubuh saya
saya kemudian berwudhu dan menghadap kepada Sang Pencipta
ketika itu dengan leluasa saya bisa mengalirkan airmata
dan di dalam doa kini saya menemukan ketenangan hati saya...

Jakarta, 22 Mei 2013
Yeni Suryasusanti

Selasa, 07 Mei 2013

Tentang Rezeki, Ikhtiar dan Rasa Syukur :)




Hari Senin selalu merupakan hari yang padat bagi saya, sehingga saya lebih sering pulang jauh melewati batas waktu kerja normal di kantor  yaitu pukul 5 sore.

Biasanya, karena harus berkejaran pula dengan batas akhir waktu sang asisten pulang hari yang menemani Ifan dan Fian di rumah, maka seringkali saya memilih naik ojek meskipun tentu saja biaya transportasi saya akan lebih melambung tinggi dibandingkan dengan jika saya memilih naik bis baik yang reguler maupun Trans Jakarta.
Jika kebetulan orangtua saya sedang datang berkunjung karena mereka masih cukup banyak terlibat dengan kehidupan pasca pensiun di Jakarta, maka saya agak lebih bisa leluasa memilih jenis transportasi :)

Seperti Senin malam kemarin, saya memilih menggunakan Bis Reguler dan bukannya Trans Jakarta.
Beberapa rekan pernah bertanya mengapa, karena bukankah bis Trans Jakarta lebih sejuk karena AC-nya dan lebih cepat karena jalur "hampir" bebas hambatannya?
Namun pada kenyataannya, dengan menggunakan bis Trans Jakarta, saya akan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menunggu bis dan harus transit pula. Belum lagi kecil kemungkinan saya akan mendapatkan tempat duduk sehingga saya akan berdiri hampir di sepanjang perjalanan saya. Waktu perjalanan juga menjadi tidak jauh berbeda karena waktu yang diperlukan untuk transit dan lamanya waktu yg dihabiskan untuk menunggu bis berikutnya. Jadi, hanya menang sejuknya AC saat di dalam bis saja.
Sedangkan dengan bis reguler, dari lokasi kantor saya selalu masih ada tempat duduk di dekat jendela yang tersisa. Memang ada beberapa titik kemacetan, tapi jika dibandingkan secara keseluruhan maka waktu yang dihabiskan hampir setara dengan perjalanan menggunakan bis Trans Jakarta. Asalkan tidak hujan sehingga jendela harus ditutup rapat dan mengakibatkan udara menjadi pengap, menggunakan bis reguler sebagai pilihan transportasi masih terasa cukup nyaman bagi saya :)

Belum lagi pengalaman di sepanjang jalannya.
Jujur harus saya akui, lebih banyak hikmah yang saya dapatkan ketika saya bersentuhan dengan masyarakat yang umumnya berasal dari kelas menengah ke bawah di perjalanan yang menggunakan bis regular.
Jauh lebih banyak hikmah yang saya temui daripada menggunakan Trans Jakarta, Ojek, Taksi, apalagi mobil pribadi.

Terutama tentang bersyukur.
Sungguh, jauh lebih mudah bersyukur ketika kita dihadapkan dengan orang-orang yang kurang beruntung jika dibandingkan dengan keadaan kita secara materi, bukti nyata nikmat Allah yang lebih banyak kita terima dari sisi materi meskipun belum tentu dari sisi lainnya.

Malam itu, bukan hanya rasa syukur yang saya rasakan. 
Namun juga bagaimana Allah memberikan rezeki maksimal ketika ikhtiar kita juga maksimal, dan bagaimana segala sesuatu yang disampaikan dari hati akan terasa pula di hati penerimanya.

Seperti biasa, perjalanan dengan bis reguler akan diwarnai kehadiran para pengamen jalanan.
Ada yang mengamen namun menyisipkan kata-kata pembuka yang bernada pemerasan sehingga lebih terasa sebagai preman yang berkedok pengamen, ada yang menjual penderitaan untuk membeli rasa iba para penumpang, ada pula anak-anak kecil yang katanya di exploitasi. 
Namun demikan, diantara sekian jenis pengamen itu ada saja saya temukan seorang pengamen yang betul-betul pantas menjual suara.

Malam itu, seorang pengamen remaja - kalau tidak bisa saya sebut sebagai pra remaja - yang menjual suaranya di bis reguler yang saya tumpangi telah menimbulkan kesan yang mendalam di hati saya.

Awalnya saya tidak memperhatikan sekitar, tenggelam dalam suara mp3 yang terdengar melalui headset di kedua telinga saya.
Namun entah mulai dari titik mana, saya mulai memasang telinga mendengarkan suaranya diantara gelegar lagu mp3 saya yang akhirnya saya pencet tombol off-nya.
Pengamen itu menyanyikan lagu jenis Rap. Jujur saya tidak mengenal sama sekali lagunya, karena lagu Rap yang saya kenal di zaman saya ya hanya lagu-lagu Iwa K yang beberapa lirik dan lagunya saya hafal diluar kepala :D
Suaranya yang masih bernada tinggi seperti belum dewasa benar terdengar bersemangat dan sepenuh hati melantunkan kata-kata bernada Rap maupun menyanyikan alunan lagu saat tiba di bagian refrainnya.

Wow, batin saya seketika, ketika saya mengenali bahwa pengamen remaja itu menyanyi dengan hatinya. 
Saya - yang memang sejak remaja juga berkecimpung di bidang tarik suara - langsung bisa mengenali caranya bernyanyi. Karena nyanyian yang dilantunkan dari hati akan terasa hingga ke hati.
Berkali-kali saya menghela nafas kagum.
Untuk seorang pengamen jalanan, kualitas permainan gitarnya cukup lumayan, suaranya pun bagus meskipun tidak terlalu luar biasa indah seperti penyanyi yang telah terbiasa berlatih di studio latihan. Namun saya sungguh mengagumi kesungguhannya.
Diabaikannya penuhnya bis kota, dan keringat mengalir di keningnya yang sebagian tertutup topi pet berwarna merah. Suaranya terkadang terdengar seperti membutuhkan air untuk melegakan tenggorokan, namun dia tetap bernyanyi seolah terbawa kenikmatan.

Saya mulai memperhatikan si pengamen remaja itu secara fisik.
Beberapa pengamen jalanan yang memang rutin mencari nafkah di bis reguler sudah saya hafal orangnya. Namun si pengamen remaja ini baru sekarang saya temui.
Saya langsung menduga-duga, mungkin dia seorang anak sekolah yang sedang libur karena kakak kelasnya sedang UN, atau bahkan anak sekolah yang baru saja selesai UN, karena rasanya tinggi badannya tidak jauh dari tinggi badan putra saya, Ifan (yang saat ini masih kelas VI), hanya lebih kurus saja.
Dia juga berpakaian cukup rapi dan bersih, tidak ada anting-anting di sebelah telinga ataupun tato di tangannya, seperti yang banyak saya lihat pada tubuh pengamen jalanan pada umumnya.
Santun. Itu adalah kata yang paling tepat menggambarkan penampilannya.

3 lagu Rap yang dia nyanyikan. Dan ditutup dengan kata-kata manis doa selamat di jalan bagi para penumpang, juga ditutup dengan senyuman dan salam secara Islam.
Kemudian sang pengamen remaja membuka topinya untuk digunakan sebagai wadah menampung pemberian dari para penumpang.

Kebetulan saya duduk di dekat jendela agak di baris belakang di sebelah kanan, sehingga bisa melihat penumpang yang berjajar hingga di baris depan.
Semua penumpang - termasuk saya sendiri - sepertinya beranggapan bahwa sang pengamen muda pantas mendapatkan imbalan lebih atas hiburan yang telah dia berikan dengan sepenuh hati. Tidak ada yang memberikan uang logam. 
Saya bisa memastikan karena jujur saya memperhatikan dengan seksama. Seluruh penumpang yang memberi uang di baris kanan bis reguler tersebut memberikan uang kertas ketika sang pengamen remaja dengan sopannya tersenyum, mengucapkan kata "permisi" dan "terima kasih" sambil mengulurkan topi merahnya kepada para penumpang.

Ketika itulah hikmah saya dapatkan.

Pengamen remaja ini membuktikan kepada saya bahwa Allah Maha Adil dalam menebar rezeki. 
Di gunung, di laut, di gurun bahkan di kutub, rezeki sudah ditebar Allah untuk seluruh makhluk di bumi. 
Hanya tinggal bagaimana cara kita berikhtiar menjemput rezeki yang tersebar hingga sampai di ujung jemari.

Pengamen remaja ini mengajarkan kepada saya tentang indahnya ikhtiar yang dilakukan dari hati.
Yang sepertinya tidak merasakan lelah yang menghampiri, meski keringat menetes di dahi.
Namun sekali lagi kasih sayang Allah terbukti, bagi yang meluruskan niat, mengikhlaskan hati, maka akan menuai kemudahan dalam mencari rezeki.

Pengamen remaja ini juga mengajarkan kepada saya, bahwa tidak perlu kita bersuara kasar dan memaksakan kehendak ketika kita ingin mendapatkan apa yang menjadi tujuan kita.
Kata-kata santun yang disampaikan dengan bahasa yang tertata rapi, bahkan dengan terlebih dahulu memberikan kebaikan seperti dengan menyampaikan doa setulus hati, jauh lebih efektif dan membuat orang dengan ikhlas memberi, bukan dengan terpaksa dan kemudian menggerutu di dalam hati.

Pengamen remaja ini sekali lagi mengajarkan kepada saya tentang rasa syukur, yang ketika saya tiba di rumah segera saya ajarkan kembali kepada Ifan dengan bercerita tentang bagaimana kita patut bersyukur.
Karena Ifan bisa bersekolah tanpa perlu bersusah payah membantu mencari nafkah.
Karena Ifan bisa makan dan membeli tanpa harus memeras keringat mengais rezeki.
Karena Ifan masih memiliki kedua orangtua yang dengan sepenuh jiwa raga mengusahakan yang terbaik untuknya.

Malam itu, Ifan memeluk saya, mengucapkan terima kasih atas segalanya.
Malam itu, lewat doa, saya pun mengucapkan terima kasih kepada sang pengamen remaja.

Jakarta, 7 Mei 2013
Yeni Suryasusanti