Sebenarnya sedikit dilema menuliskan
tentang ini. Khawatir menjadi polemik, menjadi perdebatan.
Namun, saya juga terikat dengan ini…
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu
ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Jadi, saya memohon kelapangan hati dan
kebesaran jiwa teman-teman yang membaca untuk tidak menjadikan tulisan ini
sebagai bahan perdebatan, karena :
"Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."(QS. An-Nisa’ : 59)
"Abu Umamah meriwayatkan bahwa
Rasulullah s.a.w bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di pinggiran syurga bagi
orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, dan sebuah rumah di
tengah syurga bagi orang yang meninggalkan dusta, dan sebuah rumah di puncak
syurga bagi orang yang memperelokkan akhlaknya.” (H.R. Abu Dawud, Hasan)
Dalam Islam, debat berbeda dengan
dialog/diskusi. Tipis sekali memang bedanya sehingga kita mudah tergelincir
dari dialog/diskusi menjadi debat.
Dalam dialog/diskusi, mempertahankan
pendapat dilakukan dengan “ilmu”, yaitu dengan mengemukakan referensi yang
diharuskan oleh agama Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadist, tanpa kemarahan, dan
dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan adab berbicara, adab mendengarkan dan adab
menolak/tidak setuju. Tujuannya biasanya mencari solusi atau sebagai sarana
pencapaian dakwah.
Mengenai adab berbicara, mendengarkan
dan adab menolak/tidak setuju dalam Islam tidak saya tuliskan disini karena
keterbatasan waktu, mohon teman-teman membuka buku agama lagi atau sederhananya
: Google saja :D
Dalam debat, mempertahankan pendapat seringkali
dilakukan hanya berdasarkan logika atau emosi, meskipun terkadang memasukkan
referensi berupa dalil, tujuannya adalah "mempertahankan pendapat"
meskipun bisa jadi pendapatnya belum tentu benar, ingin menang, membela diri
atau kelompoknya, dan cenderung kurang/tidak ada niat untuk mencari kebenaran.
Saya mencermati, bahwa sebuah
dialog/diskusi tergelincir menjadi debat adalah ketika dalil diungkapkan dengan
tujuan ingin menang, dan biasanya intonasi suara pun berubah menjadi “lebih
tinggi”.
Jadi, yang pertama kali bisa mendeteksi
apakah kita “berdebat” atau “berdialog/berdiskusi” adalah para pelakunya
sendiri :D
Mengutip sebagian kata-kata adik Paskibra saya - Poppy Yuditya - yang kini menjadi salah satu tempat saya bertanya soal agama, sekilas tentang ayat Al-Quran :
- Bahasa Arab sangat kaya makna dan "dalam". Keterbatasan Bahasa Indonesia lah yang membuat artinya menjadi seperti "himbauan", "anjuran", "perintah" dan lain sebagainya
- Bahkan yang bisa berbahasa Arab pun tetap harus menerjemahkan dan menafsirkan dalam bimbingan orang lain karena manusia punya kecenderungan menafsirkan sesuai dengan syahwat (ego) masing-masing
- Maka 3 pegangan umat islam itu adalah Al Quran, Hadits dan Ijtihad PARA ULAMA, bukan ijtihad masing-masing individu. Ijtihad individu tidak boleh dishare untuk dianggap ilmu atau fatwa baru tanpa musyawarah dengan para pakar dalam majelis syuro (majelis orang-orang berilmu).
Makanya sangat tidak bijak bila yang tidak paham Bahasa Arab berdebat habis-habisan soal isi Al-Quran karena yang bisa berbahasa Arab pun belum tentu bisa menafsirkan dengan tepat karena adanya keterbatasan akal, ilmu, dan logika... Allahu'alam bish-shawab.
Jadi, seperti tag di Blog saya : Diawali dengan “Basmalah” dan dengan niat
untuk menebar manfaat di jalan Allah, sharing saya mulai dari sini…
Berawal dari berkenalannya saya dengan dunia
maya dan keterlibatan saya dengan mengikuti berbagai Mailing List, saya belajar
cukup banyak tentang “Etika Berinternet” (disebut juga Netiket).
Bekerja selama hampir 15th
di Internet Service Provider semakin meningkatkan kesadaran saya untuk sebisa
mungkin menjalankan Netiket dan
mensosialisasikannya jika perlu.
Meskipun setiap Mailing List memiliki Netiket yang berbeda sesuai kebijakan
owner dan moderator masing-masing, namun ada beberapa point yang berlaku umum,
diantaranya :
Sebisa
Mungkin Menghindari Penggunaan Huruf Kapital
Karena penggunaan karakter huruf bisa
dianalogikan dengan suasana hati si penulis. Huruf kapital mencerminkan penulis
yang sedang emosi, marah atau berteriak.
Ketika huruf kapital diperlukan untuk
memberi penegasan maksud, gunakanlah secukupnya saja dan jangan sampai seluruh
kalimat/paragraf.
Hati-hati
Dalam Mem-forward
Karena tidak semua berita yang beredar
di internet itu benar adanya. Seperti halnya spam, hoax juga merupakan musuh
besar bagi para kebanyakan netter. Jadi, pastikanlah terlebih dahulu bahwa
informasi yang ingin kita kirim itu adalah benar adanya sebelum kita
mem-forward.
Kita sebaiknya meneliti email sebelum kita
forward kepada rekan yang lain, apakah isi email tersebut memang diperlukan
oleh mereka yang menerimanya. Jika tentang surat berantai, bantu untuk
menghentikan segala bentuk Surat Berantai sejenis yang menawarkan hadiah berupa
handphone / komputer dll. dengan hanya melakukan forward email
sebanyak-banyaknya. Email semacam ini sering disebut sebagai HOAX mail.
Menimbang kedua hal tersebut diatas,
terutama yang tentang forward email, seringkali saya mengabaikan sebuah email
atau broadcast di BB jika saya belum sempat mengecek kebenarannya, atau
“ketepatan” ajakannya, karena khawatir secara tidak sadar menyampaikan hal yang
keliru jika tidak ingin dikatakan menyimpang.
Terkadang menjadi dilema, ketika ajakan
yang disampaikan melalui email atau broadcast tersebut saya rasa baik, namun
jika dilihat lebih menyeluruh ternyata menyalahi aturan yang lebih tinggi :
yaitu aturan agama Islam yang saya anut dan saya coba jalankan dengan sepenuh
hati.
Terima
kasih saya ucapkan kepada rekan-rekan yang sudah mengirimkan Broadcast kepada
saya mengenai hal yang baik, namun mohon maaf sebelumnya, agar bisa lebih jelas
saya akan meng-copy contoh Broadcast tersebut, tanpa bermaksud menyinggung
bahkan menghakimi rekan-rekan, dan murni karena ingin mengajak kepada kebaikan
dan kebenaran.
Terkait dengan ajakan kepada kebaikan,
ada beberapa email/broadcast yang terselubung dengan kebaikan tapi sedikit
memiliki ciri-ciri hoax, diantaranya :
Email/Broadcast
Jenis Pertama :
Email/broadcast
yang mengajak kita beribadah atau berbuat kebaikan, dan meminta kita forward
ajakan ini namun dengan iming-iming jika kita bersedia atau ancaman jika kita
tidak melakukannya.
Contoh
kalimatnya biasanya ada kata-kata : “Jika anda tidak mem-forward email ini ke
sepuluh orang, maka anda akan mengalami musibah. Jika anda mem-forward email
ini ke sepuluh orang, maka anda akan mendapatkan keberkatan, atau anda akan
mendapatkan pasangan sejati…”
Menanggapi ajakan seperti ini, jika
saya sedang tidak ada waktu untuk “membedah” email/broadcastnya, maka dengan
sangat menyesal meskipun ajakannya adalah kepada kebaikan maka tidak akan saya
forward.
Namun, jika saya sedang ada waktu,
biasanya saya “bedah” email/broadcastnya dengan menghilangkan bagian
iming-iming atau ancaman, mengoreksi atau menambahkan keterangan disamping
ajakan kepada kebaikan tersebut sebelum saya melakukan “forward”
email/broadcast.
Jadi, email yang saya forward sudah
bukan lagi “forward murni”, melainkan sudah saya “bedah” agar bisa saya
pertanggungjawabkan jika perlu.
Email/Broadcast
Jenis Kedua :
Email/broadcast
yang mengajak kita beribadah atau berbuat kebaikan namun meminta kita melakukan
sebuah tindakan yang spesifik, dan meminta kita forward ajakan ini
sebanyak-banyaknya untuk menyebar kebaikan.
Contohnya
: "Tolong ubahlah profile picture anda ke lilin harapan yang sedang
menyala seperti pada PP-ku. Kemudian mintalah tiap orang di kontak BB anda utk
melakukan hal yang sama dalam waktu 24 jam untuk semua penderita Cancer. Dan
tiap orang ambillah waktu 1 menit untuk berdoa di hadapan bagi seluruh
penderita cancer. Esok hari kita akan melihat berapa banyak lilin-lilin harapan
yang akan menyala. Setiap api yang menyala mewakili doa untuk para penderita
cancer. Dengan melakukan hal ini, kita telah menjadi perantara doa bagi para
penderita cancer."
Karena saya menerima lebih dari 1
Broadcast di BB saya mengenai hal ini – baik melalui jalur pribadi maupun
melalui group yang saya ikuti –saya menarik kesimpulan bahwa BC ini cukup
berhasil “mengetuk” hati banyak orang.
Maka saya meluangkan waktu untuk
menelaah BC tersebut.
Sekilas pandang awal saya, BC ini
baik-baik saja, bahkan baik sekali, yaitu intinya adalah ajakan untuk berdoa
bagi penderita kanker sebagai dukungan kepada mereka.
Namun, pikiran saya yang memang
seringkali penuh tanda tanya tentang apa saja yang bersentuhan dengan pikiran
saya – bukan penuh dugaan buruk yaaaa – atau kalau mengutip istilah pendidikan
sekarang mungkin bisa disebut “kritis”, seketika melontarkan pertanyaan yang
sama dengan rekan saya Totok Bachtiar
Effendi yang mengemukakannya di comment status saya.
Mengapa
harus pakai lilin?”
Untuk pertanyaan pertama, saya
berspekulasi bahwa mungkin saja BC ini pertama kali di release saat Hari Kanker Sedunia, namun terus berputar ke seluruh
dunia maya hingga sekarang meski tidak bertepatan dengan moment yang
dimaksudkan awalnya.
Untuk pertanyaan kedua, saya menduga
karena pencetus awal dari ide ini adalah seseorang yang beragama
Nasrani/Kristiani.
Mengapa saya menduga demikian?
Karena menurut saya, jika sang pencetus
ide adalah seorang muslim/muslimah, maka himbauan ini hampir pasti mengajak
kita untuk melakukan doa dengan mengangkat kedua belah tangan kita, setelah
shalat dan dalam kondisi masih dalam wudhu (suci) dan mungkin jika ingin ada
simbol maka yang ditampilkan adalah berupa simbol dari pendukung kanker itu
sendiri (pink ribbon untuk simbol kanker payudara, atau lavender ribbon untuk simbol kanker secara
umum) .
Karena saya mengetahui lilin digunakan
umat Nasrani/Kristiani sebagai perlengkapan ibadah, dan akibat rasa ingin tahu
yang membawa saya ke beberapa website mengenai hal ini, saya menemukan fakta
bahwa ternyata lilin memang merupakan tradisi yang diadaptasi oleh umat
Nasrani/Kristiani dari Kekaisaran Romawi.
Saya kutipkan sebagian penjelasannya
disini…
Lilin Paskah adalah sebuah lilin besar
berwarna putih yang diberkati pada upacara malam Paskah (Sabtu Suci) (dalam
ritus gereja Katolik Roma dan beberapa gereja lainnya, disebut sebagai Upacara
Cahaya), dan dinyalakan sebagai lambang Kristus yang bangkit dari kematian
selama masa Paskah, ditempatkan di samping meja altar (di sebelah kiri dari
arah umat di gereja Katolik Roma) dinyalakan pada setiap upacara liturgi.
Sesudah hari raya Pentakosta yang merupakan penutup masa Paskah, dipadamkan
setelah pembacaan Injil dalam masa terakhir hari tersebut. Lilin Paskah juga
digunakan pada upacara baptis dan pemakaman.
Lilin Paskah digunakan pada Gereja
Katolik Roma dan beberapa Gereja Kristen Protestan lainnya.
Nyala api lilin Paskah menyimbolkan
Kristus sebagai terang dunia dan kehadirannya di antara umat. Lilin warna putih
dan tinggi juga melambangkan tiang api yang membawa bangsa Israel keluar dari
perbudakan di Mesir.
Pula, beberapa penulis rohani dari Abad
Pertengahan memperluas simbolisme lilin itu sendiri: batang lilin melambangkan
kemurnian Kristus; sumbu lilin adalah jiwa manusiawi Kristus; dan terang,
ke-Allah-an Kristus. Juga, lilin yang menyala melambangkan suatu kurban, yang
dilakukan sekaligus dengan mempersembahkan doa dan menerima kehendak Tuhan.
Pada pokoknya, penggunaan lilin yang
menyala merupakan suatu praktek yang saleh, yang terus berlanjut hingga kini di
banyak Gereja. Simbolisme itu mengingatkan kita bahwa doa adalah “datang ke
dalam” terang Kristus, membiarkan jiwa kita dipenuhi dengan terang-Nya, dan
membiarkan terang itu membakar jiwa kita bahkan sementara kita telah kembali
melakukan aktivitas lainnya.
TANYA: Nama saya Steve dan umur saya 15
tahun. Saya seorang Katolik sejak bayi, tetapi saya belum mengerti mengapa kita
menyalakan lilin di gereja. Apakah itu artinya?
JAWAB: Steve, Yesus menyebut diriNya
"Terang Dunia" dan Ia bersabda bahwa kita harus menjadi
"terang" bagi sesama, jadi lilin adalah lambang kristus sebagai
Terang Dunia. Penggunaan lilin telah menjadi tradisi Gereja sejak lama. Lilin
yang kamu maksud disebut "votive" atau "vigil" (Vigili,
Latin = berjaga-jaga). Dengan menyalakan lilin di gereja, sebenarnya orang
ingin memperpanjang doa dan kehadirannya, sebab ia sendiri tidak bisa tinggal
lebih lama di gereja. Lilin yang menyala melambangkan kehadiran dan doanya.Kaum Yahudi Orthodox di Yerusalem
mempunyai kebiasaan untuk menuliskan doa-doa mereka di selembar kertas dan
menempatkannya di celah-celah Tembok Ratapan, memohon agar doa-doa mereka
dihantarkan kepada Tuhan ketika mereka tidak dapat berada di sana untuk berdoa.
Kita diperintahkan oleh Tuhan untuk "senantiasa berdoa" dan nyala
lilin adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita bersungguh-sungguh
dengan kehidupan doa kita.
Ketika sudah menganalisa, menjadi
dilema bagi saya, apakah saya sebaiknya meneruskan BC ini karena jelas mengajak
kepada kebaikan yaitu mendoakan kesembuhan bagi penderita kanker – yang salah
satunya adalah sepupu saya sendiri – apalagi berdasarkan tuntunan agama Islam kita
memang harus berlomba-lomba dalam kebaikan (Baca QS. Al-Baqarah : 148)?
Namun bagaimana dengan kata-kata, “Setiap api yang menyala mewakili doa untuk
para penderita cancer. Dengan melakukan hal ini, kita telah menjadi perantara
doa bagi para penderita cancer.” sementara dari hasil pencarian saya jelas
terungkap bahwa menyalakan lilin merupakan bagian yang erat dari ritual ibadah
umat Nasrani/Kristiani?
Saya khawatir hanya demi sekedar
melakukan forward BC meskipun intinya hanya untuk mengajak kepada kebaikan,
saya akan dinilai Allah melakukan tindakan Tasyabbuh
dalam hal ritual doa yang jelas tidak diperkenankan dalam agama saya. Dan
penilaian Allah bagi saya jauh lebih penting daripada penilaian umat manusia…
Dari Mantasyabbaha biqoumin Fahuwa
Minhum, Dr.Nashir Bin Abdul Karim Al-Aql :
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari
kata al-musyabahah yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan
diri, dan mengikuti.
At-Tasybih berarti peniruan. Dan
mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya,
meniru dan mengikutinya.
Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran
dan As-Sunnah secara syar’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala
bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam
pola tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka (kaum kafir).
Sejujurnya, ilmu saya masih terlalu
rendah untuk menuliskan argumentasi tentang hal ini.
Namun beberapa bahasan banyak yang
jelas mencantumkan referensi Al-Qur’an dan Hadist untuk mewaspadai tindakan
Tasyabbuh, sebagai berikut :
"Kemudian Kami jadikan kamu berada
di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui." (QS. Al-Jaatsiyah: 18) “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan
Al Quraan itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya
kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”
(QS. Al-Ra’d: 37) “Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran: 105) “Barangsiapa menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu
Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya.
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Jadi, menghadapi email/broadcast Jenis
Kedua ini, saya memutuskan bahwa hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah tetap
mengajak kepada kebaikan, namun dengan mencoba mengoreksi/menggantikan ajakan ritual
berdoa yang bukan merupakan ajaran Islam :)
Namun, terkait status FB saya kemarin,
mungkin pemilihan bahasa saya sedikit kurang bijaksana, sehingga menimbulkan
sedikit polemik baik pro maupun kontra :D
Terima kasih, teman-teman, saya belajar
banyak dari reaksi teman-teman di status saya.
Reaksi beberapa teman membuat saya di
masa datang akan berusaha menjadi lebih dewasa dan berhati-hati lagi dalam
memilih kata-kata.
Reaksi beberapa teman juga membuat saya
belajar untuk bisa membedakan : mana tanggapan yang ditulis oleh orang yang
benar-benar mengerti dasar pertimbangan saya, mana tanggapan yang ditulis oleh
orang yang mungkin saja sebenarnya cukup mengerti dasar pertimbangan saya namun penilaiannya terdistorsi oleh emosi karena keterlibatan yang terlalu dekat dengan
inti masalahnya, dan mana tanggapan yang ditulis oleh orang yang hanya setengah memahami atau benar-benar tidak
memahami maksud pengangkatan materi tersebut.
Reaksi teman-teman semua membuat saya
belajar untuk tidak tergelincir dari “dialog/diskusi” ke “debat” – seperti yang
saya bahas pada bagian awal tulisan ini – dengan berhenti melanjutkan komentar sebagai balasan :)
Sungguh, tidak pernah menjadi masalah,
bahkan sungguh merupakan suatu hal yang harus kita dukung bersama siapa pun
yang mengajak kepada kebaikan, apakah itu seorang Muslim ataukah bukan.
Namun merupakan tanggungjawab kita sebagai
seorang muslim/muslimah, untuk membatasi diri ketika detail dari ajakan itu
sudah menyangkut akidah, agar dukungan kita tidak menjadi salah kaprah.
Kita tidak perlu menghentikan kebaikan
– apalagi jika sampai terlintas pemikiran pendek bahwa penghentian ini
dilakukan hanya karena umat non muslim lah yang memprakarsainya – namun kita bisa
ikut menyumbangkan pikiran dengan menemukan cara agar kebaikan bisa terus berjalan
dengan tidak menyalahi ajaran Agama Islam.
Well, bukankah itulah indahnya perbedaan? :)
Sikap saling menghormati atau yang kita kenal dengan toleransi justru lahir karena adanya rasa saling mengerti dan saling memahami yang terbentuk karena adanya penjelasan untuk meminimalisir kesalahfahaman.
Semoga tulisan ini bisa menjadi "jembatan" :)
Allahu'alam bish-shawab.