Kamis, 20 Juni 2013

Ketika Ifan Merasa Bersalah…




Malam itu, sepulang saya dari kantor, Ifan menyambut dengan cerita serunya perpisahan kelas 6 SD Bhakti YKKP yang diadakan di Jambuluwuk Boutique Hotel & Resort Ciawi.

Sambil mendengarkan ceritanya, saya teringat bahwa sewaktu Ifan berangkat boleh membawa uang saku sebesar maksimal Rp 100.000,- dan menanyakan penggunaannya.

Ifan bilang, “Masih sisa Rp 45.000,- Bun…” dan beranjak ke kamar untuk mengambil dompetnya.

Ifan membuka dompetnya di depan saya, bermaksud mengembalikan sisa uang tersebut. Namun tiba-tiba wajahnya terlihat pucat, karena ternyata uang di dompetnya hanya ada Rp 5.000,-.



Saya pun menghela nafas. Ifan memang sangat pelupa dan cenderung ceroboh meletakkan barang-barangnya. Pernah uang sakunya hilang disekolah, kemungkinan terjatuh saat menarik tangannya dari dalam saku celana.

Saya lalu mengajak Ifan ke kamar, agar bisa membantunya mengingat-ingat tanpa diganggu oleh Fian, menulusuri kemungkinan dimana uang tersebut berada atau jika sudah hilang.

Setelah berusaha menelusuri jejak uang dengan mengingat apa yang dibeli (Fanta, Milk Shake dan 2 botol Aqua), waktu pembelian dan baju yang dikenakan saat itu, uang tersebut tidak ketemu juga meski Ifan sudah mencoba mencari di seluruh saku baju, celana jeans dan jaket yang dikenakannya saat itu.



Saya kembali hanya bisa menghela nafas dan memejamkan mata sejenak. Mau marah toh percuma, uangnya juga tidak akan ketemu hanya dengan kemarahan saya.

“Ifan, lain kali lebih hati2 ya… Uang Rp 40.000,- itu setara dengan gaji Mbak Sri selama 2 hari lho… Bayangkan kalau Rahma kehilangan uang sebesar itu…” ucap saya mengingatkan Ifan agar menghargai nilai uang.

Sri adalah asisten rumah tangga kami yang datang dan pulang setiap hari, dan Rahma adalah putrinya yang Ifan sayangi seperti adiknya sendiri karena usianya sama dengan almarhumah Nada.

Dengan mata berkaca-kaca, Ifan memeluk saya sembari meminta maaf dan berjanji lain kali akan lebih berhati-hati.



Sempat karena penasaran, meski Ifan sudah meminta maaf, saya beberapa kali meminta Ifan mencoba mengingat-ingat lagi.

Saat itulah, suami saya masuk ke kamar dan melihat air mata yang menggenang di mata putranya.

Melihat hal itu, suami saya meminta Ifan keluar dengan menyuruhnya mencari sekali lagi di saku jaketnya. Setelah Ifan keluar, suami saya lalu menegur saya karena memarahi Ifan. Meskipun saya mengerti penghakiman ini terdorong karena lembutnya hati suami saya, karena rasa tidak tega melihat saat-saat bahagia Ifan yang baru menjalani perpisahan yang manis untuk dikenang bersama teman-temannya menjadi ternoda. Namun, pemahaman ini tidak mengurangi rasa tidak nyaman di hati saya karena suami saya menuduh saya sebagai penyebab timbulnya air mata Ifan dengan tidak lebih dahulu bertanya agar jelas situasi baginya.



“Ifan menangis bukan karena Bunda marahi, Ayah… Bunda dari tadi memang tidak memarahi Ifan  juga… Ifan itu menangis karena merasa bersalah…” jelas saya yakin karena merasa sangat memahami karakter Ifan.



Ifan itu jika dimarahi, dan hatinya tidak menerima karena merasa tidak salah, Ifan cenderung akan mengatupkan bibirnya, menahan nafasnya dan ekspresi wajahnya akan menjadi keras meski dia tidak membantah.

Tapi jika diingatkan dengan lembut, dan dia merasa memang bersalah, maka Ifan akan luluh hatinya dan tanpa disuruh dia akan segera meminta maaf.

Itulah Ifan, yang sering saya sebut sebagai Si Penyejuk Hati, Si Lembut Hati…

Berbeda dengan Fian, yang akan segera mengeluarkan argumentasi, tidak perduli entah itu ketika dimarahi ataupun diingatkan dengan lembut. Di antara argumentasinya, saya harus menjelaskan panjang lebar bagaimana dan mengapa hal itu disebut sebagai sebuah kesalahan. Setelah Fian bisa menerima, baru dia bersedia disuruh meminta maaf.

Itulah Fian, yang sering saya sebut sebagai Si Pencerah Hari, Si Tukang Protes dan Pembela yang Gigih.



Sementara suami saya terdiam, saya memanggil Ifan lagi ke kamar kami.

Saya katakan, “Ya sudah, nggak usah dicari lagi, nggak apa-apa uangnya hilang kali ini. Tapi lain kali Bunda minta Ifan lebih hati-hati ya…”

Ifan mengangguk dan sekali lagi meminta maaf sambil memeluk saya.

Kemudian, setelah sebelumnya melirik penuh arti ke arah suami, saya menangkupkan tangan saya ke wajah Ifan,

“Ifan, Bunda boleh tanya? Ifan menangis karena Bunda marahi atau karena merasa bersalah?”

Dengan mata berkaca-kaca Ifan menjawab, “Karena merasa bersalah, Bun…”

Saya pun kembali memeluknya, kemudian mencoba menceriakan hatinya kembali dengan memintanya kembali bercerita kegiatan selama di Puncak. Suasana gembira di hati Ifan pun perlahan pulih seperti semula.



Malam itu, saya dan suami berbincang berdua.

Suami meminta maaf, karena telah salah menuduh saya. Dia berkata, hal itu karena rasa kasihan kepada Ifan, karena tidak tega melihat hati Ifan yang sedang bergembira menjadi rusak hanya karena masalah ini.

Saya berkata saya mengerti, dan saya juga tidak dengan sengaja ingin merusak suasana. Hal itu terjadi begitu saja ketika saya bertanya soal sisa uang saku yang saya berikan.

Jika melihat dari sudut pandang negatif, memang suasana hati Ifan sempat rusak. Tapi, mengapa kita tidak bisa melihat dari sudut pandang positifnya? Tidakkah hal itu menunjukkan keberhasilan kita dalam mendidiknya?



Saat itu Ifan sedang dalam keadaan euforia, bersuka cita karena telah melakukan sesuatu yang menyenangkan dan berkesan secara luar biasa, namun saat menyadari dia melakukan kesalahan di tengah kegiatannya, Ifan tidak mengabaikan kata hatinya hanya karena dia sedang bergembira. Ifan tidak menganggap enteng kesalahannya. Ifan bahkan tidak berusaha melemparkan masalah dengan berkata saya merusak suasana hatinya. Ifan justru mampu menyadari dia melakukan kesalahan dan merasa sedih karenanya. Meskipun hal itu sempat merusak suasana hatinya, bukankah kesadaran dan kejernihan hatinya itu merupakan hal yang luar biasa?



Menatap saya, suami saya terdiam sejenak, lalu kembali meminta maaf. Saya memutuskan menyudahi percakapan untuk menidurkan Fian dan membiarkan pemikiran ini mengendap di benak suami saya.

Entah suami saya sepakat atau tidak, saya tidak tahu. Kami memang terkadang tidak memaksakan harus ada kata sepakat. Tapi paling tidak, dengan diamnya dan permintaan maafnya, saya merasa suami saya mau memahami sudut pandang saya, menerima dan menghargainya… Dan bagi saya terkadang hal itu sudah cukup luar biasa…



I love you, Ahmad Fahly Riza :)



Jakarta, 20 Juni 2013
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar