Sabtu, 17 Agustus 2013

Ketika Bahasa Tidak Lagi Menjadi Identitas Bangsa...


Sejak Papa saya masih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, untuk membiayai kuliahnya beliau bekerja di RRI Padang. Di instansi itulah Papa kemudian bertemu dengan Ibu saya.
Ketika itu Papa bertugas sebagai kepala penyiar, dan Ibu yang sedang menanti keluarnya SK gurunya mengisi waktu dengan menjadi penyiar honorer. Jabatan yang Papa pangku tentu mewajibkan penguasaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan Papa dengan sungguh-sungguh mengajarkan kecintaan akan Bahasa Indonesia kepada kami semua.

Saya ingat dengan sangat jelas bagaimana Papa memotivasi kami semua - ketiga orang putrinya - mengenai pentingnya penguasaan atas Bahasa Indonesia.
"Selalu ada kemungkinan Papa dipindahkan ke kota lain dan kalian semua ikut pindah juga. Jadi, meskipun setiap daerah memiliki bahasa daerahnya sendiri, selama kalian menguasai Bahasa Indonesia dengan baik, maka kalian tidak akan terlalu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi," demikian Papa saya pernah berkata.

Saat itu kami tinggal di kota Pontianak - kami tinggal di sana sejak saya berusia 2 tahun - dan dalam pergaulan sehari-hari menggunakan Bahasa Melayu. Tapi Papa saya berkeras kami tidak boleh menggunakan Bahasa Melayu di dalam rumah, apalagi ketika kami sedang kumpul bersama di meja makan yang seringkali waktunya kami manfaatkan untuk mengobrol. Bahasa Melayu hanya boleh kami gunakan ketika kami bermain bersama teman-teman sebaya. Jika kami kebetulan harus berbicara dengan orang lain yang jauh lebih tua usianya, kami juga harus menggunakan Bahasa Indonesia.
Jadi sejak kecil saya memang telah terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia meskipun mungkin tidak selalu baku kata-katanya.

Pada saat saya kelas IV SD, Papa dimutasi ke Palembang. Wejangan Papa tentang penguasaan Bahasa Indonesia terbukti manfaatnya.
Komunikasi awal kami dengan teman-teman baru di lingkungan yang baru tidak mengalami hambatan. Namun demi kenyamanan bersosialisasi, kami juga mempelajari bahasa setempat, yaitu Bahasa Palembang yang digunakan sehari-hari dalam pergaulan, yang kata-katanya agak sedikit menyimpang dari Bahasa Indonesia.
Setiap pulang dari sekolah, saya dan kakak-kakak membandingkan perbendaharaan kata baru yang kami dapatkan. Dengan demikian Bahasa Palembang sebagai bahasa pergaulan pun dengan cepat kami kuasai.

Di tahun 1987, ketika itu saya duduk di kelas 2 SMP, Papa dimutasi lagi. Kali ini ke Jakarta.
Dibandingkan dengan pengalaman pindah kota sebelumnya, komunikasi di Jakarta paling mudah, karena mayoritas kata-kata dalam Bahasa Betawi bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia. 
Sekali lagi, penguasaan Bahasa Indonesia membantu kami dalam berkomunikasi.

Berbeda dengan pendidikan di masa sekarang, kami baru mulai mempelajari Bahasa Inggris dari pelajaran sekolah ketika saya masuk SMP. Ketika SMA barulah saya mulai mengikuti kursus di LIA untuk lebih memperdalamnya. Namun secara sederhana, saya melatih penguasaan Bahasa Inggris saya dengan mendengarkan dan menyanyikan lagu barat sambil mencari arti liriknya, juga dengan menonton film barat sambil sesekali menirukan pengucapan kata-kata dari dialog film untuk membiasakan diri dengan percakapannya.
Papa saya sendiri memperdalam Bahasa Inggris di ILP dan tidak lama kemudian beliau ditugaskan mengikuti semacam seminar terkait Broadcasting di luar negeri.

Saya mengingat kata-kata Papa, dan menjadikannya pegangan dalam pendidikan berbahasa :
"Belajar Bahasa itu mudah. Kita hanya perlu punya keberanian untuk bertanya apa artinya dan berlatih mengucapkan kata-katanya. Memiliki kamus sebagai awalnya. Untuk menjadi mahir dalam waktu singkat, kita hanya perlu berada di lingkungan yang menggunakan bahasa yang sama."
Sedangkan kalau kata nenek saya, "Lancar mengaji karena diulang."

"Di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung," demikian pengajaran Papa saya.
Sesederhana itulah, sehingga saya tidak terlalu khawatir jika tidak menguasai Bahasa Inggris dengan sempurna karena saya memang orang Indonesia yang tinggal di Indonesia. 
Saya memang mempelajari Bahasa Inggris yang disebut bahasa internasional. Tapi hanya sebagai bekal tambahan saja, untuk sedikit membantu komunikasi awal dengan orang asing yang berkunjung ke Indonesia jika mereka memerlukan. Menurut saya, orang asing yang datang ke Indonesia yang seharusnya belajar dengan keras agar menguasai Bahasa Indonesia, seperti saya dulu belajar menguasai Bahasa Palembang ketika pertama kali pindah ke sana.
Jika saya yang kemudian pindah ke Luar Negeri, maka tentu saya akan dengan sungguh-sungguh belajar bahasa mereka.
Kamus bahasa demikian banyak, dan belajar bahasa tidak seperti belajar bahasa pemograman komputer yang memerlukan pendidikan lama dan keahlian khusus untuk mempelajarinya. Kita hanya perlu niat dan keberanian untuk mencoba.
Jadi, sesekali Papa melatih kemampuan conversation saya dalam percakapan di rumah, dan saya juga punya beberapa teman bule hasil pergaulan di cafe demi memperlancar komunikasi verbal dan ketika awal bekerja sambil kuliah memiliki banyak rekan kerja asing karena saya bekerja di perusahaan joint venture dengan Australia.
Hingga saat ini pun terkadang dengan teman yang cukup menguasai Bahasa Inggris saya menggunakan bahasa tersebut dalam percakapan, hanya untuk melatih conversation agar tetap lancar diucapkan.

Namun tetap saja, bahasa yang secara umum boleh digunakan di rumah kami adalah Bahasa Indonesia. Penggunaan kata gue sudah jelas akan menghasilkan pelototan mata Papa yang demikian terkenal :D

Setelah saya dewasa dan bisa menganalisa, barulah saya menyadari bahwa prinsip Papa untuk menomorsatukan penggunaan Bahasa Indonesia ketika kami masih belia ternyata memang tepat adanya.
Penggunaan Bahasa Indonesia yang mendekati baku dalam percakapan sehari-hari di rumah mempermudah saya ketika harus bertransformasi ke dalam bahasa tulisan.
Hobby membaca yang ditularkan Papa sejak kecil juga memperkaya kosa kata dan membentuk gaya bahasa tulisan saya pula.
Ketika membuat anggaran dasar dan berbagai proposal untuk kepentingan organisasi, pembuatan makalah, skripsi dan thesis untuk kepentingan kuliah, dan terutama dalam hal surat menyurat dan bahan presentasi ketika bekerja, penguasaan saya akan Bahasa Indonesia membuat saya hampir selalu memegang peranan yang cukup penting dan mendapat tugas memeriksa ejaan dan tata bahasa dari materi tertulis yang akan digunakan.

Semua ini bisa terjadi karena Papa, karena beliau menanamkan di hati saya bahwa "Bahasa Menunjukkan Bangsa".
Saya orang Indonesia dan tinggal di Indonesia pula, dengan demikian saya harus bangga berbahasa Indonesia. Meskipun hal ini tidak berarti saya menolak mempelajari bahasa asing karena memang saya juga mempelajarinya, namun saya harus memiliki penguasaan akan Bahasa Indonesia yang santun, baik dan benar diatas segala bahasa lain di dunia.

Namun kini pergeseran telah terjadi.
Generasi muda kita kebanyakan belajar Bahasa Inggris bahkan ketika mereka belum menguasai Bahasa Indonesia dengan baik. Yang kemudian terjadi, adalah meredupnya kebanggaan menguasai dan menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dianggap lebih baik, lebih sexy, lebih gaul, hanya karena menjadi Bahasa Internasional. Bahkan dalam forum-forum resmi kenegaraan saya pernah mendengar Presiden berpidato dalam Bahasa Inggris.
Dulu di TVRI bahkan setiap hari ada pelajaran Bahasa Indonesia oleh Bp. Yus Badudu. Sekarang TV Swasta mendominasi, acara tersebut menjadi tenggelam. Atau ditiadakan?
Kemana perginya kebanggaan kita akan Bahasa Indonesia?

Waktu saya kecil, saya pernah bertanya kepada Papa mengapa Presiden Soeharto tidak pernah menggunakan Bahasa Inggris dan selalu membawa penerjemah di sisinya jika bertemu dengan perwakilan negara lain.
Apakah karena beliau hanya lulusan SR yang setingkat SD sehingga tidak bisa menguasai Bahasa Asing?
Saat itu Papa berkata, bahwa Papa yakin Presiden Soeharto bisa berbahasa Inggris. Apa sulitnya? Toh beliau tidak buta huruf, jadi pasti beliau bisa belajar bahasa. Hanya saja, karena kedudukan Presiden sebagai wakil bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka, menuntut beliau menggunakan bahasa negaranya dalam komunikasi resmi di dunia internasional. 
Seperti rakyat Jepang dan Prancis di masa lalu yang memiliki kebanggaan dengan bahasa mereka, sehingga ketika berada di negara mereka sendiri menolak bercakap-cakap dengan orang asing dalam Bahasa Inggris meskipun mereka mungkin bisa.

Kemudian ditambah dengan pergeseran pengejaan kata dan bahasa akibat teknologi.
Teman-teman yang berusia terbilang muda - mungkin berusia sekitar 20-27 th - baik di kantor maupun di mailing list Natural Cooking Club yang saya ikuti saking terbiasanya dengan bahasa sms dan bbm terkadang terbawa menggunakan singkatan-singkatan yang tidak baku bahkan mencampurkan angka dengan huruf dalam menuliskan sebuah kata digunakan dalam email dan bahasa tulisan.
Hal ini cukup mengesalkan bagi saya, yang tidak terbiasa membacanya sehingga cukup menimbulkan sakit kepala :(
Kenapa juga harus menggunakan singkatan padahal hanya mengurangi 1 karakter saja?
Seperti kata "dan" ditulis mereka 'n padahal secara sederhana kalau memang tujuannya ingin mempersingkat bisa diganti dengan simbol &.
Kata "tempat" dijadikan t4, saya masih bisa mengerti jika kita memang buru-buru menyalin percakapan dalam rapat menjadi tulisan dalam notulensi. Tapi ketika menjadi sebuah email bahkan surat antar departemen? Ampun deh....

Pertanyaan yang seringkali melintas di otak saya, "Ada apa dengan generasi muda sekarang? Sementara saya masih berusaha terus memperbaiki Bahasa Indonesia saya terutama dalam hal bahasa tulisan dengan mencari website-website terkait Bahasa Indonesia seperti KBBI Online dan Artikata.com dan dengan lebih banyak membaca, mengapa mereka seperti tidak perduli dengan kesalahan ejaan dalam bahasa tulisan yang mereka buat sendiri dan tidak berusaha memperbaiki?"

Saya mencermati bahwa hasil pengajaran bahasa asing yang terlalu dini yang diperoleh berbeda antara orangtua yang jelas memiliki program dan ambisi dengan orangtua yang bergegas mengikuti hanya karena khawatir anak-anaknya ketinggalan trend atau tertinggal kepintarannya dengan anak-anak lain, tanpa menyadari bahwa hal itu beresiko menimbulkan terjadinya "kebingungan bahasa" pada anak, karena mereka bisa kebingungan memilih bahasa yang akan digunakan saat mengekspresikan perasaannya. Dalam kasus yang berat, hal ini menimbulkan rasa frustrasi hingga tekanan jiwa. Dari hasil diskusi dengan psikiater dan psikolog saat Ifan didiagnosa Delay Speech di usia 2th dulu, kasus kebingungan bahasa ini mulai banyak terjadi di Indonesia.

Saya mengamati teman-teman yang berusia sekitar 10th dibawah usia saya.
Mereka yang memiliki orangtua yang fokus mengenai bahasa ini akan sangat menguasai Bahasa Inggris baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Untuk Bahasa Indonesia, kemampuan mereka standar saja, bahkan terkadang kurang memadai dan mereka terlihat kurang nyaman ketika mereka menggunakannya. 
Hal ini mungkin terjadi karena orangtua mereka lebih menekankan penguasaan dalam Bahasa Inggris karena dianggap merupakan Bahasa Internasional sehingga dianggap "lebih penting dan lebih sulit dipelajari" dari pada "Bahasa Ibu" yaitu Bahasa Indonesia. 
Mungkin anak-anak itu juga disekolahkan di institusi yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya bahkan juga mengajak mereka bercakap-cakap dalam keseharian dalam 2 bahasa.
Di satu sisi membanggakan, melihat anak-anak Indonesia bisa bersaing di dunia internasional tanpa memerlukan seorang penerjemah di sisi mereka. Di sisi lain menyedihkan, ketika melihat anak-anak yang sukses tersebut bahkan terkadang terbata-bata mencari istilah dalam "Bahasa Ibu"-nya yang bisa digunakan untuk mengungkapkan maksud mereka.
Mereka lebih fasih menggunakan istilah-istilah dalam Bahasa Inggris, padahal mereka bukan Orang Inggris.

Ada juga anak-anak yang betul-betul menguasai kedua Bahasa : Indonesia dan Inggris. Bahkan mungkin lebih.
Namun biasanya mereka memiliki orangtua yang sangat konsisten dalam menerapkan peran pendamping bahasa.
Misalnya dengan Ibu mereka berbahasa Indonesia, dengan Ayah mereka berbahasa Inggris. Mereka inilah yang biasanya berhasil memasuki dunia internasional tanpa kehilangan identitas bangsanya.

Sementara anak-anak yang memiliki orangtua yang hanya sekadar bergegas mengikuti trend tanpa mempelajari efek samping dan bagaimana cara memotivasi untuk mendukung proses belajarnya, cenderung menghasilkan anak-anak yang setengah-setengah.
Anak-anak mereka tidak bisa dikatakan menguasai Bahasa Inggris dengan luar biasa, namun tidak juga menguasai Bahasa Indonesia dengan sempurna.
Mereka memiliki kemampuan dasar untuk tensesnya, memiliki vocabulary yang cukup, namun tidak memiliki keberanian untuk berbicara karena khawatir salah dan tidak bisa dipahami oleh lawan bicara jika kebetulan secara tidak sengaja mereka keluar dari tenses.
Padahal, kita tetap bisa berkomunikasi dengan orang asing meskipun tidak menggunakan tenses yang sempurna, cukup dengan bahasa TST (tahu sama tahu) yang mengungkapkan kata kunci dari sebuah kalimat saja maksud kita bisa dipahami oleh lawan bicara.

Anak-anak yang setengah-setengah ini dengan menyedihkan juga tidak menguasai Bahasa Indonesia, baik secara tata bahasa, maupun EYD-nya.
Ada seorang rekan kerja yang berpikir bahwa kata Bahasa Inggris Standard telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Standart. Padahal ejaan yang benar dalam Bahasa Indonesia Baku adalah Standar.
Pada akhirnya, anak-anak yang setengah-setengah ini menjadi beban bagi orang lain dalam interaksinya di dunia kerja.

Saya sendiri tidak selalu menggunakan penulisan Bahasa Indonesia Baku dan sempurna. Namun ketika hal tersebut terjadi, maka biasanya saya tetap menggunakan penulisan dalam bahasa asli dari kata tersebut, dan berusaha tidak menciptakan kata dan bahasa baru :D
Pun sesekali saya menuliskan ungkapan-ungkapan hati dalam Bahasa Inggris. Tapi hal itu tidak membuat saya berhenti untuk terus berusaha memperbaiki kemampuan saya dalam Berbahasa Indonesia, selama saya masih mampu menulis dan berbicara.

Jika masalah bahasa yang merupakan identitas bangsa ini tidak kita jadikan fokus di dunia pendidikan kita, pada akhirnya bisa jadi Bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa dalam tata negara dan perundang-undangan saja.
Tidak ada lagi esensi dari Sumpah Pemuda yang pernah diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928. 
Tidak ada lagi generasi muda yang menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Dan ketika ungkapan "Bahasa Menunjukkan Bangsa" tidak bisa lagi bisa dijadikan pegangan karena Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi identitas orang yang berbangsa Indonesia, saat itulah saya akan berpikir, 
"Apakah benar Indonesia saat itu tetap menjadi negara yang berdaulat dan merdeka?" 
Karena ketika kita dijajah Jepang bahkan Belanda di kurun waktu yang lama saja, kita tidak menggunakan bahasa mereka dalam keseharian kita.
Namun mengapa disaat kita mengaku berdaulat dan merdeka, kita justru mengganti Bahasa yang kita gunakan sehari-hari yang merupakan identitas kita bahkan disaat kita tinggal di Indonesia dengan Bahasa Negara Inggris dan Amerika?

Saya bukanlah seorang pakar bahasa. Bukan pula seorang pakar pendidikan.
Tulisan ini tercipta karena kegalauan hati saya sebagai seorang anak bangsa, sebagai seorang rekan kerja, dan sebagai seorang Ibu menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia...

Jakarta, 17 Agustus 2013
Yeni Suryasusanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar